Korupsi Proyek KTP Elektronik

Gamawan Fauzi Tegaskan Tidak Bertanggung Jawab Proyek e-KTP Jadi Bancakan Korupsi

Ketuanya Menkopolhukam, saya wakilnya, Yang Mulia. Lalu kepada Mendagri diperintahkan bentuk tim teknis karena Menko tidak punya tim teknis

Tribunnews
Gamawan Fauzi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga

BATAM.TRIBUNNEWS,COM, JAKARTA - Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, dirinya tidak bertanggung jawab mengenai kerugian negara Rp 2,3 triliun dalam pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.

Dirinya luput dari tanggung jawab tersebut karena sebenarnya sudah mendelegasikan mengenai kewenangan tersebut kepada bawahannya.

Gamawan pada awalnya telah menolak proyek tersebut dikerjakan Kementerian Dalam Negeri.

Mantan Gubernur Sumbar ini mengatakan tidak tahu caranya dan baru menjabat sebagai menteri dalam negeri.

Namun, saat rapat bersama wakil presiden, disebutkan itu merupakan tugas pokok dan fungsi Kementerian Dalam Negeri.

Rapat tersebut ditindaklanjuti dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2010 untuk membentuk tim pengarah.

"Ketuanya Menkopolhukam, saya wakilnya, Yang Mulia. Lalu kepada Mendagri diperintahkan bentuk tim teknis karena Menko tidak punya tim teknis," kata Gamawan saat bersaksi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Menurut Gamawan, tim pengarah dan tim teknis tersebut bertugas untuk memperlancar pencapaian target karena KTP elektronik tersebut akan digunakan untuk Pemilu tahun 2014.

Gamawan kemudian menerbitkan SK untuk Sekretaris Direktorat Jenderla Kependudukan dan Catatan Sipil Elvius Dailami sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

"Dengan delegasikan itu saya tidak punya kewenangan lagi dalam proses itu," kata bekas gubernur Sumatera Barat itu.

Menurut Gamawan, SK yang dia keluarkan tidak berdiri sendiri karena KPA pada dasarnya terdiri dari 16 komponen karena lintas kementerian/lembaga.

Tim kemudian bekerja dan menyusun Rencana Anggaran Biaya.

Gamawan kemudian meminta Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Irman untuk meminta audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kemudian diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Lalu itulah yang saya bawa ke KPK, saya presentasikan di depan Pak Busyro (Muqoddas) dan pimpimnan lain," kata dia.

Dari pertemuan dengan KPK, Gamawan diminta agar proyek tersebut dikawal Badan Pengawas Keuangan dan Keuangan (BPKP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan tender dilakukan secara elektronik.

Menurut Gamawan, tidak ada alasan bagi dirinya untuk menghentikan proyek tersebut karena telah diaudit BPK dan mengatakan tidak kerugian negara.

"Saya minta tolong dicermati KPK kemudian dicermati Polri, BPK dan Jaksa Agung. Tolong cermati kalau ada salah," katanya.

Karena dalam pasal 83 dikatakan, jika terdapat korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses tender, proyek dapat dibatalkan.

"Tapi sepanjang tidak ada (kesalahan), bagaimana saya membatalkan," kata Gamawan.

Gamawan juga mengungkapkan mengenai adanya persekongkolan dalam pengadaan KTP elektronik.

Nyatanya, kata Gamawan, hingga disidang di Mahkamah Agung, tuduhan tersebut tidak terbukti.

Gamawan pun mengatakan, penetapan Sugiharto sebagai tersangka oleh KPK membuat dia kaget.

"Lalu Pak Sugiharto jadi tersangka, saya kaget. Berarti ada yang saya tidak tahu kalau seperti itu, Yang Mulia," ucap Gamawan.

Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Gamawan Fauzi disebutkan menerima uang 4.500.000 Dolar Amerika Serikat dan Rp 50 juta.

Irman adalah bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri.

Sementara Sugiharto adalah bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen.

Negara disebut menderita kerugian Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun anggaran penggadaan KTP elektronik.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved