Hangout

Menyusuri Makam Hang Tuah di Kaki Gunung Bintan

Nama Laksamana Hang Tuah memang sudah sangat tersohor dan menjadi bagian dari cerita sejarah Nusantara.

TRIBUNBATAM/SRI MURNI

NAMA Laksamana Hang Tuah memang sudah sangat tersohor dan menjadi bagian dari cerita sejarah Nusantara. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga Malaysia dan Singapura. Sejumlah sejarawan Indonesia menyebutnya sebagai Kesatria Melayu.

Namun, sejarawan Malaka mengklaim dan menamainya sebagai Laksamana Malaka Hang Tuah. Dari beberapa literatur yang telah mengupas cerita tentang Laksamana Hang Tuah, memang terdapat beberapa versi cerita Laksamana Hang Tuah, termasuk dimana dia lahir dan dimana dia wafat. Keberadaan makamnya pun ada beberapa versi.

Di Bintan, ada pula versi warna tempatan tentang makam Laksamana Hang Tuah dan keluarganya, yang ada di bawah kaki Gunung Bintan. Tempat bersejarah ini sudah menjadi satu di antara destinasi wisata Kabupaten Bintan.

Saya berkesempatan menyusuri makam tersebut ditemani oleh Datun Asyim Sofyan yang mengaku sebagai keturunan ke-12 dari Laksamana Hang Tuah. Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Warisan Adat Melayu Bentan. Turut pula menemani kami Kepala Desa (Kades) Bintan Buyu Daeng Ibrahim.

Makan tersebut berada di Kampung Duyung. Untuk mencapai makam, pengunjung harus naik kendaraan sendiri, mobil atau motor, melewati Kampoug Bintan Enau sampai ke ujung jalan dan menemui jalan setapak menuju makam.

Di sinilah batas akhir kendaraan roga empat karena jalan selanjutnya menuju makam hanya setapak dan hanya bisa dilalui dengan jalan khaki.

Begitu turun, pemandangan kanan-kiri hanyalah pepohonan seperti pohon durian, petai, jengkol, enau, gaharu, dan lainnya. Di pangkal jalan menuju jalan setapak itu, ada sebuah peringatan di papan yang berdiri agak miring.

Isinya: “Kendaraan Roda 4 Dilarang Masuk. Jika Dilanggar akan Ditindak Lanjuti!”. Kalimatnya memang terdengar janggal (ditindak lanjuti) tetapi itu sebagai pertanda batas roda empat.

Jalan setapak itu, kondisinya bisa dikatakan baik. Jalannya sudah dilapisi dengan paving block dengan lebar kurang lebih satu meter. Hanya saja, kanan dan kirinya rimbun ditumbuhi rumput sehingga paving block yang tampak hanyalah di bagian tengahnya.

Makam Anak Hang Tuah

Tidak jauh dari pangkal jalan setapak ber-paving block, tepatnya sekitar 300 meter, kami menemukan satu komplek makam berpagar berwarna kuning di sisi kanan jalan.

Di dalam komplek itu ada dua nisan. Menurut Asyim, salah satu makam itu adalah milik Tun Juan alias Raja Megat Kudu. Komplek makamnya sudah dipagar beton setinggi kurang lebih 50 cm dan dicat warna kuning tanpa atap.

Tidak jauh dari makam pertama tadi, di sisi kiri jalan ada jejeran makam lama yang dipercaya sebagai makam para menteri dan hulubalang kerajaan Bentan.

Makam Laksamana Hang Tuah

Setelah berjalan sekitar satu jam menyusuri hutan, akhirnya sampai juga di dokasi makam Hang Tuah memang tidak mudah ditemukan dan jika ke sana tidak bersama orang lokal yang mengerti letak pastinya, agak sulit menemukannya.

Sebab, di makam ini belum ada petunjuk jalan dan jalan masuknya memang jalan tikus yang bisa membuat orang baru seperti saya tersesat.

Di sekitar lokasi makam terdapat satu gubuk reot yang biasanya dipakai warga untuk menjaga kebun mereka ketika musim buah. Makam Laksamana Hang Tuah sendiri, berada sekitar 50 meter dari gubuk ini.

Makam itu memiliki dua batu nisan pertanda kepala dan kakinya. Baik nisan kepala dan kaki dibalut dengan kain kuning, kain kebesaran masyarakat Melayu. Panjang makam sekitar dua meter. Makamnya berada tepat di bawah pohon Nam-Nam yang memang sudah berusia tua.

Di sekitar makam juga terdapat beberapa bunga puring sebagai penghias kuburan dan semak belukar. Makam Hang Tuah ini memang belum dipagar dan hanya diberi tanda kain kuning di batu nisan.

Asyim bercerita, banyak warga sekitar kaki Gubung Bentan mempercayai bahwa makam ini memang makam Hang Tuah berdasarkan Hikayat Hang Tuah yang ditulis oleh Tun Kola.

Dalam hikayat itu dikatakan bahwa Hang Tuah wafat di usia tua dikebumikan di kaki Gunung Bentan, di Kampung Duyung, di atas Bukit Duyung, membelakangi Sungai Duyung, dan di bawah pohon Nam-Nam.

Asyim menceritakan, keberadaan makam ini sudah sangat lama diketahui secara turun temurun oleh warga Kampung Duyung.

Lokasi makam Hang Tuah yang saat ini berubah menjadi hutan, sebenarnya dahulunya adalah sebuah kampung. Asyim sendiri masa kecilnya tinggal di kampung ini. Dahulu, kampung ini terbentuk karena memang sangat dekat dengan aliran sungai Duyung yang sejak zaman dahulu menjadi nadi dan sumber air warga Desa Duyung.

Namun, karena perkembangan zaman dan jalan raya di Kampung Bintan Enou dibangun, warga yang sebelumnya tinggal di Kampung Duyung perlahan pindah dan membangun rumah di dekat jalan raya Bintan Enou. Akhirnya Kampung Duyung kosong ditinggalkan warga dan kini menjadi kebun dan hutan.

“Sebelumnya, makam Hang Tuah ini berada di dalam perkampungan, tetapi karena warga kampung sudah hijrah, maka makam tersebut menjadi hutan belantara,”begitu kata Asyim.

Keberadaan makam Laksamana Hang Tuah di Bintan, menurut Asyim, karena setelah mengapdi ke Kerajaan Malaka, Hang Tuah kembali ke Bintan. Dia dipercaya menghabiskan hari tua hingga meninggal di Kampung Duyung ini. (*)

Tulisan ini juga bisa dibaca di blog menixnews

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved