Inspirasi

The Power of Emak-emak. Hadapi 200 Pasukan Sendirian, Begini Kisah Wanita Pakistan Ini Kini

Pertempuran ini membuatnya mendapatkan julukan sebagai "wanita paling tangguh di Pakistan" dan membuat sistem hukum feodal berubah.

AFP
Nazo Dharejo 

TRIBUNBATAM.id , SINDH - Bayangkan, ketika sebuah rumah seorang wanita dikepung oleh 200 orang bersenjata.

Bukannya takut, wanita bernama Nazo Dharejo ini dengan gigih melawan.

Ia bahkan berhasil merebut senjata otomatis jenis Kalashnikov seorang tentara, kemudian naik ke atas atap dan menghadapi lawan sendirian.

Kisah ini terjadi memang sudah lama, Agustus 2005, ketika rumahnya hendak disita oleh keluarga tirinya dalam sebuah sengketa tanah yang tak adil..

Pertempuran ini membuatnya mendapatkan julukan sebagai "wanita paling tangguh di Pakistan" dan membuat pemerintah negara itu malu dan mengubah sistem hukum dan peradilan.

Kisahnya kemudian dijadikan film oleh seorang sutradara Inggris-Pakistani Sam Masud dengan judul “My Pure Land”.

Tak dinyana, film ini sangat laris juga masuk dalam nominasi Academy Awards tahun depan, bersaing memperebutkan Oscar dengan "First They Tilled My Father" Angelina Jolie dan "Thelma" Joachim Trier.

Dunia Dharejo memang jauh dari karpet merah Hollywood. Ia adalah wanita sederhana di wilayah miskin di Provinsi Sindh, Pakistan.

Kepada AFP, wanita yang kini berusia 40 tahun itu menceritakan kembali malam mengerikan tersebut.

"Saya akan membunuh mereka atau mati di sini, tapi tidak akan pernah mundur," kata Dharejo.

Malam itu, sekitar 200 orang bersenjata menyerbu rumahnya.

Ia menolak untuk meninggalkan rumah yang merupakan warisan leluhurnya dan sudah didiami secara turun-temurun itu.

Suaminya bahkan sempat memintanya untuk mundur tapi dia menolak.

Sebenarnya, perlawanan Dharejo menghadapi kerabatnya sendiri yang merasa berhak atas rumah itu setelah ayahnya meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris laki-laki.

Kakeknya punya beberapa istri, dan ahli waris laki-laki di cabang keluarga lainnya bertengkar dengannya atas warisan tersebut.

Tapi Dharejo menolak norma budaya Pakistan pedesaan yang membuat perempuan tidak berdaya itu.

Dharejo sejak kecil telah membuktikan bahwa ia sama dengan laki-laki. Ia memaksa ayahnya untuk sekolah seperti laki-laki lain, di saat para perempuan di kampungnya hanya berlajar mengaji.

Tidak heran jika Dharejo kemudian merasa bahwa ia memiliki hak yang sama dengan saudara tirinya.

Di atas atap, kegigihan Dharejo ini kemudian membuat tiga saudara perempuannya ikut bergabung.

Suami, beberapa teman dan tetangganya yang sebelumnya hanya menonton, juga akhirnya terpancing naik ke atas atap, melawan kelompok bersenjata yang mengepung rumah itu higga pagi.

Untungnya, pemerintah dan hukum setempat kemudian juga berpihak kepadanya setelah namanya menjadi ikon perlawanan perempuan di Pakistan.

Pengadilan kemudian memutuskan musuh-musuhnya membayar setengah juta rupee atau sekitar Rp 64 juta sebagai kompensasi.

Musuh yang masih kerabatnya itu juga diminta melakukan permintaan maaf secara terbuka,, sebuah hukum yang sangat memalukan di pedesaan Pakistan.

Lahir dalam keluarga feodal konservatif, Dharejo awalnya hanya boleh mempelajari Quran di rumah.

Dia kemudian membujuk ayahnya untuk mengizinkan dia dan saudara perempuannya belajar bahasa Inggris.

Diam-diam, Dharejo belajar sendiri di rumah dan hanya muncul di publik ketika ikut ujian.

Dharejo kemudian menjelma menjadi wanita yang cerdas, meraih gelar Bachelor of Arts (D3) di bidang ekonomi di Universitas Sindh.

Populernya nama Dharejo membuat pemerintah Pakistan memperbaiki sistem peradilan dan membangun peradaban baru ke pelosok-pelosok konservatif , termasuk di Sindh.

Dharejo bercerita, selama berabad-abad lamanya, masyarakat di wilayah itu didominasi oleh feodalisme yang bahkan menimbulkan korban jiwa.

"Lima, enam pembunuhan terjadi dan pada tahun 1992, saudara laki-laki saya juga dibunuh," jelasnya.

Ketika ayahnya meninggal pada tahun yang sama, ia bersama ibu dan saudara perempuannya datang ke rumah saudara tirinya untuk menyampaikan penghormatan terakhir bagi mendiang sang ayah.

Namun keluarganya itu justru mengejek mereka bahwa garis keluarga mereka telah berakhir karena tidak ada anak laki-laki dalam keluarga mereka.

Tempat tinggal mereka kemudian hendak disita karena dinilai tidak berhak atas warisan itu.

Tapi Dharejo bertekad mempertahankan rumah mereka.

Ia menyebut dirinya sebagai "Waderi", versi feminin baru dari kehormatan laki-laki "Wadera" yang berarti sesuatu yang mirip dengan "wanita" feodal.

"Dia telah menjadi pohon besar yang menebarkan warna dan melindungi orang-orang di sekitarnya," kata Zulfiqar Dharejo tentang istrinya.

Di rumah mereka, wanita itu masih tetap menggantung senjata yang berhasil direbutnya pada saat “pertempuran” dulu.

Pada tahun 2013, sutradara Inggris kelahiran Pakistan, Sarmad Masud menghubungi Dharejo, ingin membuat film tentang kisahnya yang heroik itu.

Lalu, lahirlah film My Pure Land berbahasa Urdu yang dibintangi Suhaee Abro.

Film ini masuk nominasi Oscar untuk kategori bahasa asing terbaik pada Janurai 2018 nanti.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved