Bersatu Melawan Teroris
Doktrin 'Ke Surga Bareng Keluarga' Hingga Tangisan Anak Dita di Musala Sebelum Aksi Bom Bunuh Diri
Berikut 5 hal seputar aksi terorisme yang dilakukan satu keluarga hingga kisah sedih tiga pelaku teroris yang melibatkan anak-anaknya
TRIBUNBATAM.id - Fenomena aksi bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga masih menjadi perbincangan banyak pihak.
Orang-orang tak habis pikir, bagaimana bisa orangtua mengajak anak kandungnya untuk melakukan aksi bunuh diri.
Seperti yang dilakukan Dita Oepriyanto dan Puji Kuswati yang mengajak empat anaknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri di 3 gereja Surabaya pada Minggu (13/5/2018).
Begitu juga keluarga Tri Murtono, pelaku peledakan di gerbang Mapolrestabes Surabaya.
Ia tewas bersama istrinya, Tri Ernawati, Muhammad Daffa Amin Murdana, Muhammad Dary Satria Murdana saat meledakkan bom mengggunakan dua sepeda motor.
Namun, putrinya yang masihg berusia 7 tahun selamat dalam peledakan satu keluarga itu.
Ada doktrin yang dinilai ekstrem yang membuat aksi teror ini melibatkan satu keluarga.
Yakni adanya janji masuk surga oleh orangtuanya.
Berikut 5 hal seputar aksi terorisme yang dilakukan satu keluarga hingga kisah sedih di balik keluarga Dita, Tri Murtono dan Anton Febrianto yang melibatkan anak-anaknya dalam aksi teror.
1. Doktrin Keluarga

Dikutip dari Grid.ID, Mantan teroris Al Qaeda, Sofyan Tsauri yang juga mantan anggota Brimob Polri mengungkapkan pendapatnya mengenai hal ini.
Dalam acara "Pagi-Pagi Pasti Happy: edisi 18 Mei 2018, Sofyan yang sempat membelot menjadi teroris, menjelaskan bahwa anak-anak itu kemungkinan tidak sadar telah didoktrin oleh orangtuanya.
Ia contohkan seperti ini, "Saya yakin mereka tak kuasa menolak hal ini. Misalnya begini: 'Nak, mau nggak kamu ikut Abi dan Umi ke surga? Nggak sakit kok. Cuma tinggal pencet tombol ini, maka kita sudah terbang dan kita ke surga," kata Sofyan.
Sofyan menjelaskan bahwa anak-anak itu sangat yakin mereka akan masuk surga bersama orang tuanya.
Sedangkan untuk caranya sendiri, Sofyan mengatakan bahwa pemahaman atau doktrin itu awalnya berasal dari ayah lalu disalurkan ke istri.
"Pertama seseorang terpapar biasanya melalui ayahnya. Lewat pergaulan ayahnya, lalu dia mengajar kepada istrinya baru anak-anaknya," jelasnya.
2. Diajak Nonton Film Jihad
Sang ayah akan mengajak anak-anaknya untuk melihat film-film jihad sampai mendengar petasan agar sang anak terbiasa dengan suara ledakan.
Semua cara itu dulunya dilakukan Sofyan demi mendoktrin anak-anaknya.
Namun ia akhirnya tidak mau melanjutkannya dan menarik semua film jihad setelah merenungkan perilakunya selama di penjara.
"Kita pertama tidak mau menyinggung itu semua. Video jihad saya singkirkan dulu karena memang anak-anak ini belum pantas untuk mencerna hal-hal seperti itu", ujar Sofyan.
3. Menangis di Musala

Sehari sebelum aksi bom bunuh diri di gereja Surabaya, anak-anak dari Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya, Dita Oepriarto, sempat terlihat menangis.
Hal ini diungkapkan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto.
Berdasarkan keterangan RT tempat tinggal mereka, Setyo mengatakan anak-anak itu saling menangis saat salat di Musala, sehari sebelum kejadian yakni pada Sabtu, 12 Mei 2018.
"Ada keterangan Pak RT yang mengatakan satu hari sebelum kejadian, malam minggu, dua anak itu salat di musala dan saling tangis-tangisan," ujar Setyo, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (18/5/2018) dikutip dari Tribunnews.com.
Ia pun menduga bahwa anak-anak itu mengetahui akan mengakhiri hidupnya dengan aksi bom bunuh diri keesokannya.
Sehingga, jenderal bintang dua itu menilai para anak-anak Dita telah sadar akan melakukan amaliyah.
"Ada apa itu? Kemungkinan besar mereka sadar akan melakukan amaliyah," imbuh Setyo.
4. Bom Bunuh Diri Sekeluarga

Ketua JAD Surabaya Dita Oepriarto melakukan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Minggu (13/5).
Pada hari yang sama, istrinya, Puji Kuswati, bersama anaknya, FS dan FR, meledakkan bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro.
Sedangkan anak Dita yang lain, YF dan FH, melakukan pengeboman di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel.
Peristiwa pengeboman di tiga gereja itu menyebabkan 18 orang tewas dan 43 orang mengalami luka-luka.
Sehari setelah itu, keluarga Tri Murtono yang melakukan hal sama bersama istrinya Tri Ernawati, serta dua anaknya, Muhammad Daffa Amin Murdana dan Muhammad Dary Satria Murdana (anak kedua).
Di antara satu keluarga itu, hanya Ais yang selamat setelah terlempar akibat guncangan bom.
5. Sering Diajak Ayah

Tak hanya Ais (7) yang kini tinggal sebatang kara setelah ayah, ibu dan dua abang tewas, hal yang sama juga dirasakan oleh Ain (15).
Ain menjadi yatim piatu setelah kedua orangtuanya Anton Febrianto (47) dan Puspita Sari (47) serta kakak tertuanya Haliyah (17) tewas akibat ledakan bom.
Korban yang juga terduga teroris tewas setelah bom rakitan meledak di tempat tinggalnya di lantai 5 Blok B, Rusunawa, Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Ain dan dua adiknya kini dirawat di RS Bhayangkara, Surabaya, Jawa Timur.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sempat mengunjungi ketiga anak pelaku.
Kamar tersebut ditinggali enam anggota keluarga, dua orangtua dan empat anak.
Akibat peristiwa tersebut, tiga orang tewas terdiri dari kedua orangtua dan seorang anak.
Sementara Ain (anak kedua) beserta adiknya Fai (11) serta Hud mengalami luka.
Ain dibantu oleh warga sekitar menyelamatkan kedua adiknya dari ledakan dan membawanya ke RS Siti Khodijah dan saat ini sudah di rujuk ke RS Bhayangkara Polda Jawa Timur.
Menurut keterangan Ain, ayahnya sehari-hari menjadi penjual jam tangan online dan seringkali mendengarkan ceramah melalui internet.
Ain mengatakan, ayahnya seringkali mengajaknya berjihad.
"Saya sering diajak untuk berjihad," ujar Ain kepada kapolri.
Penulis: Yudhi Maulana Aditama
Artikel ini telah tayang di tribunnewsbogor.com dengan judul Doktrin 'Ke Surga Bareng Keluarga' Hingga Anak Dita Menangis di Musala Sebelum Aksi Bom Bunuh Diri"