Keturunan Tionghoa & India Dilarang Punya Tanah di Yogyakarta, Begini Kisah 5 Warga Ini Menyikapinya

Warga keturunan, terutama dari etnis Cina dan India, tetap tidak berhak memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X di Bangsal Kencana, Jumat (6/3/2015) mengeluarkan sabdatama. 

Siput Lokasari menyebut Sultan HB X memiliki banyak teman dari kalangan Tionghoa Jogja yang sebagian besar tak mempersoalkan larangan itu. Foto: BBC Indonesia

Ia mengaku berada di lingkaran utama pergaulan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwana (HB) X dan kerabat kraton lainnya.

Siput mengklaim terdampak larangan warga keturunan memiliki tanah, meski asetnya tersebar di beberapa wilayah di Jogja, baik yang beralaskan hak milik atau sekedar HGB.

"Saya pernah minta tolong ke Tjia Eddy Susanto. Saya minta dipertemukan dengan gubernur. Saya ingin tahu motivasinya (mempertahankan larangan itu)," tutur Siput.

Tjia Eddy Susanto adalah taipan Tionghoa, pemimpin PT Putra Mataram Mitra Sejahtera yang mengelola Plaza Ambarukmo dan PT Mataram Indah Wisata yang menaungi hotel bintang lima Royal Ambarukmo.

Pusat perbelanjaan dan hotel itu berdiri di tanah Kraton alias Sultan Ground.

Selain rekan bisnis, Siput menyebut Eddy Susanto dan Sultan HB X juga teman di lapangan golf.

Namun, Siput tak kunjung bisa bertemu HB X, meski ia juga pernah melobi sang gubernur melalui Heri Dendi, budayawan Jogja.

September 2016, Siput berinisiatif menyerahkan surat somasi untuk HB X ke kantor Gubernur DIY.

Ia datang bersama Willie Sebastian, pimpinan sebuah perguruan taekwondo di Kalasan, Sleman.

Namun mereka pulang dengan tangan hampa.

Siput hanya sempat berkomunikasi melalui aplikasi pesan singkat dengan adik-adik HB X, antara lain GPBH Prabukusuma dan KGPH Hadiwinoto.

Siput beberapa kali mengirimkan pesan bernada kritik dan sindiran soal larangan warga keturunan memiliki tanah kepada Prabu dan Hadi, walau sebagian tak mendapat tanggapan atau ditanggapi sinis.

"Saya selalu berusaha lewat jalur personal. Saya memposisikan diri sebagai warga. Kalau ada persoalan, saya wajib bertemu dan gubernur menerima saya, daripada terjadi miskomunikasi. Tapi selalu tidak pernah bertemu," kata Siput.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved