Kisah Putri Jenderal Ahmad Yani, Korban G30S/PKI, Dari Trauma Kini Berdamai dengan Keluarga PKI
Dengan air mata meleleh, saya berteriak, 'Papi..., Papi.... Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada
Sejak DI/TII, PRI/Permesta, merebut Irian Barat, TNI itu betul-betul melakukan perang dan perang, enggak pernah selesai, lalu Dwikora, dan situasi menjadi sangat tidak menentu.
Anda menulis buku tentang ayah Anda dan peristiwa G30S PKI mulai 1988 dan, pada era media sosial kini, juga menulis di Facebook. Tujuan Anda?
Saya ingin generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, sehingga mereka tahu bahwa negara ini dibentuk dari sebuah revolusi, dari sebuah kebersamaan, dengan landasan Pancasila.
Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu.
Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri.
Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu.
Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, "Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"
Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban. Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis. Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro.
Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh. Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?
Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air. Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda. "Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot. Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada.
Menulis sekaligus menjadi cara Anda mengatasi trauma yang Anda alami karena peristiwa kelam itu?
Saya menulis buku itu, bercucuran air mata saya.
Sepertinya ayah saya datang, sepertinya beliau dekat sekali dengan saya, seolah-olah saya dibimbing untuk menulis.
Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa.
Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ.
Meski (ketika itu) saya belum sembuh (dari trauma), lalu saya bekerja, saya belum sembuh. Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, Dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik.
Ibu saya menangis waktu itu. Saya mencari jawaban bagi diri saya sendiri.
Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Itu hilang. Di desa, itu hilang.
Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan Dimas (anak tunggal Amelia) hingga SMA hingga ke Australia.
Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah.
Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang. Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa.
Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu. Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana.
Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta.
Di situ mulai satu jalan yang lain lagi. Partai politik (parpol), semua mulai masuk.
Mau jadi bupati (Purworejo, Jawa Tengah), ndak berhasil. Sudah menang, tapi dikalahkan dengan drastis.
Uang habis. Pokoknya, mengalami semuanya, yang membuat saya menjadi matang, mungkin. Lalu, menulis lagi, menulis lagi.
Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi.
Sekarang Anda sudah sembuh dari trauma. Menurut Anda, para keturunan dari "pihak yang berseberangan" juga mengalami trauma?

Keluarga saya delapan bersaudara. Adik saya, Mas Untung, Mas Edi, mungkin belum bisa menerima (sang ayah gugur).
Saya terbawa situasi di mana tiba-tiba ada teman-teman datang ngajakin saya ketemu anak (Brigadir Jenderal) Soepardjo (Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia), anak (DN) Aidit, anak (Marsekal Madya) Omar Dhani, yang dalam Gerakan 30 September ada di seberang sana. Kami di sebelah sini. In a way, dalam hal tertentu, saya diuntungkan. Kan saya anak pahlawan revolusi.
(Di lain pihak) mereka mengatakan, "Kami anak pengkhianat...(Selalu disebut), 'Kamu PKI, kamu PKI'.
Mereka menceritakan kepada saya bagaimana sulitnya menjadi anak yang orangtuanya pengkhianat. Di situ saya mulai bisa mengerti, karena mereka (anak pelaku) bukan pelaku.
Lalu saya pergi ke Pulau Buru (Maluku, tempat tahanan politik eks PKI), saya melihat seberapa kehidupan di sana. Pulau Buru sudah menjadi lumbung padi di Maluku. Kan orang Jawa banyak dipindah ke sana. Di Pulau Buru sebenarnya dulu memang sulit.

Siapa sih yang enggak sulit? Semua mengalami kesulitan.
Bayangkan, inflasi sampai 600 persen. Kita miskin dan miskin.
Tapi, kita miskin lagi kemudian, tahun 1998.
Jadi, saya ingin bangsa ini belajar dari semua kejadian yang pernah kita alami. Kalau mereka (generasi sesudah itu) tidak mengalami, kita tulis, supaya mereka tahu dalam sejarah.
Di situ saya mulai mengenal mereka. Memang, sebetulnya, kalau bertemu (dengan para keturunan dari pihak yang berseberangan), ketawa-ketawa ya.
Tapi, kalau (ada dari) mereka bilang, 'Lubang Buaya itu enggak ada, sejarah itu bohong semua', itu kami marah. Jadi, kapan kita mau damai?
Kalau yang di Pulau Buru, (mula-mula) mereka takut melihat saya. Saya datang, (mereka) takut.
Orangtua mereka juga melihat. Tapi, ketika saya bilang, "Saya datang ke sini kan saya juga anak korban," langsung mereka keluar (rumah) semua. (Suguhan) teh keluar, tadinya mereka enggak mau keluar.
Terus, saya lihat, anak-anak itu tidak berbuat apa-apa. Ada Karang Taruna, enggak punya apa-apa.
Lalu, saya belikan organ (keyboard) dan mereka mulai ngamen (main musik dan menyanyi), punya uang, terus cerita sama saya. Itu membuat saya senang.
Itu yang harus dibuat secara nasional, bahwa rekonsiliasi bisa terwujud antarmanusia, antarindividu. Kami siap (untuk) rekonsiliasi, tapi tidak dengan campur tangan pemerintah. Kalau ada campur tangan pemeritah, malah ora dadi (tak jadi).
Saya bisa menerima itu. Entah orang lain berpendapat seperti apa. Kalau saya, bisa. Mereka mengalami lebih parah.
Jadi, waktu kami (Amelia dengan salah seorang anak tokoh Dewan Revolusi Indonesia) bertemu untuk pertama kali, lain ya sorot matanya.
Terus dia bilang, "Saya kepingin ketemu sama Mbak Amelia." Saya dengerin ceritanya. Saya pikir, kasihan juga. Tapi, saya mengalami (sebagai anak yang ayahnya menjadi korban).
Tapi, bapak kamu (tokoh Dewan Revolusi Indonesia itu) yang melakukan. Itulah yang terjadi.
Dan, dia menangis, bisa bercerita kepada saya. Waktu ayahnya tertangkap, dua jam sebelum ditembak mati, boleh ketemu keluarganya. Terus, dikubur di sebuah tempat, di hutan, hanya dikasih kotak semen (makamnya disemen berbentuk segi empat) dan tanpa nama.
Jadi, anak-anaknya terus mencari, kira-kira di sebelah mana (makam ayah mereka).
Apa pun, darah itu kan darah orangtuanya ya.
Di situ saya merasa bahwa sebagai anak pahlawan, orang di mana pun, parpol, menyambut saya seperti kedatangan Pak Yani gitu. (Padahal) saya cuma anaknya. Tapi, seperti itulah keadaan kita.
Putri Ahmad Yani dan anak DN Aidit berteman

Era Reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden RI, Soeharto pada Mei 1998, membawa angin segar bagi iklim politik di Indonesia.
Hawa sejuknya berhembus juga di kalangan anak-anak korban konflik masa lalu.
Sebagai anak manusia yang sudah merasakan pahitnya menjadi korban konflik, timbul keinginan untuk berkumpul dan melupakan masa lalu yang kelam.
Awalnya beberapa anak korban konflik seperti Sarjono Kartosoewirjo (anak tokoh DI/TII Kartosoewirjo), Nani Nurachman, dan Agus Widjojo (anak Letjen Sutojo), dan Sugiarto, mulai saling kontak dan menggagas suatu wadah silaturahmi.
Belakangan disepakati namanya Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).
Perkumpulan ini merangkul keturunan dari pihak yang terlibat konflik-konflik lain seperti DI/TII Aceh dan PRRI/Permesta yang berasal dari keluarga militer, serta keturunan dari tokoh sipil seperti Syarifuddin Prawiranegara, HOS Tjokroaminoto, H Agus Salim, dan Yap Thiam Hien.
Dilansir dari Tribun Timur, dalam ikrar perdamaian di Hotel Hilton Jakarta, 5 Maret 2004, FSAB antara lain menyatakan menghargai kesetaraan di antara mereka dan terhadap segenap bangsa Indonesia.
Sebuah kesetaraan tanpa diskriminasi diharapkan menjadi upaya awal menuju rekonsiliasi di antara semua pihak yang pernah bertikai.
Rekonsiliasi seperti apa, bentuknya memang masih terus dibicarakan.
FSAB ternyata membawa hikmah tersendiri bagi anak-anak korban konflik pada tahun 1965 hingga 1966.
Pertemuan-pertemuan rutin forum ini memecahkan kebekuan antara anak-anak Pahlawan Revolusi, antara lain Amelia Yani (putri Jenderaal Ahmad Yani) dengan anak-anak tokoh yang berseberangan, seperti Sugiarto, Ferry Umar Dhani (putra Marsekal Umar Dhani), dan belakangan Ilham Aidit (anak DN Aidit).
Mereka mampu duduk semeja, tertawa bersama, berpelukan, dan saling menyemangati.
Suatu keadaan yang sungguh sulit dibayangkan terjadi di masa lalu.
Memaafkan dengan tulus memang gampang diucapkan, tapi sungguh bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan.
Namun, Amelia Yani merasa perlu melakukannya karena tidak ingin mewariskan dendam kepada anak cucunya sehingga mereka tumbuh menjadi pembenci.
“Tapi mereka tidak tahu yang dibenci itu apa. Marah tapi tidak tahu marah pada siapa,” tutur ibu dari seorang putra, Dimas Tjahyono Dradjat ini.
Amelia mengakui belum seluruh anggota keluarganya sanggup melakukan itu.
Seorang adiknya hingga sekarang masih bergetar dan menangis jika berbicara masalah pembunuhan ayahnya.
“Semua tergantung kepekaan masing-masing. Saya menghormati sikap adik saya,” katanya.
Sugiarto yang juga sempat mendapat pertanyaan dari keluarga soal keterlibatannya di FSAB, mengakui memang tidak mudah untuk melupakan kepedihan masa lalu.
Tapi karena menyadari bahwa semua ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, ia dengan ikhlas bisa menerimanya.
“Saya tidak benci militer. Saya juga tidak ingin hidup ini tersiksa hanya karena dendam,” demikian prinsipnya.
Ia mengaku cukup bahagia jika FSAB bisa menjadi gerakan moral yang mampu mengajak semua berdamai, dan tidak perlu menuntut terlalu jauh.
Hingga hampir 40 tahun sejak peristiwa itu terjadi, tak satu pun anak-anak korban konflik 1965-1966 mengetahui latar belakang peristiwa hingga mereka harus kehilangan ayah tercinta.
Baik itu keluarga eks-PKI, tak terkecuali anak-anak Pahlawan Revolusi. Yang mereka tahu hanyalah bentuk-bentuk kekerasan --sebagian disaksikan dengan mata kepala sendiri.
Sungguh, suatu luka batin yang tak mudah dilupakan, namun dapat disembuhkan dengan kebesaran jiwa.
Dan Amelia masih terus melakukan itu hingga kini, meskipun sangat tidak mudah...
Ditulis Kembali oleh Januar Adi Sagita, Tribun Timur