14 TAHUN TSUNAMI ACEH

Kisah Tsunami Aceh 2004 - Kisah Romi Menolong Gadis 20 Tahun; Bawa Saya Bang, Kemana pun Abang Pergi

Hari ini, 14 Tahun lalu, atau tepat 26 Desember 2004, bumi Aceh berguncang hebat, yang tidak lama kemudian diikuti tsunami

Editor: Mairi Nandarson
SERAMBINEWS.COM/BEDU SAINI
Suasana Simpang Lima Banda Aceh saat diterjang tsunami Minggu 26 Desember 2004. 

TRIBUNBATAM.id, ACEH - Hari ini, 14 Tahun lalu, atau tepat 26 Desember 2004, bumi Aceh berguncang hebat, yang tidak lama kemudian diikuti  tsunami.

Bencana tsunami itu telah meluluh lantakkan kota Banda Aceh saat itu dan menimbulkan ratusan ribu korban jiwa.

Kisah tentang tsunami Aceh itu tetap dikenang.

Baca: Kisah Tsunami Aceh 2004- Tragedi Minggu Kelabu, Manusia Tak Berdaya Diguncang Gempa Digulung Tsunami

Baca: Kisah Tsunami Aceh 2004 - Selamat dari Gulungan Tsunami, Bertemu Ular Raksasa di Atas Pohon

Baca: Buaya Naik ke Darat hingga Gulungan Ombak Tinggi, Simak Kesaksian Warga Sejam Sebelum Tsunami Banten

Baca: Terus Erupsi Sejak Juni 2018, Ini Peringatan PVMBG Bagi Warga di Sekitar Gunung Anak Krakatau

Satu di antaranya kisah Romi Saputra, 19 tahun saat itu, pelajar yang tinggal di Desa Lamjamee, Kecamatan Jaya Baru, Aceh Besar.

Kisahnya dimuat dalam buku Tsunami dan Kisah Mereka, yang diterbitkan Badan Arsip Provinsi Aceh tahun 2005.

Begini kisahnya:

SAAT terjadi gempa saya sedang tertidur di rumah.

Tiba-tiba saya terhentak dan terjaga karena ada teriakan-teriakan orang ribut-ribut di luar.

Saya mendengar seruan, "Romi, bangun...! bangun...! Ada gempa."

Saya sangat terkejut, langsung beranjak dari tempat tidur berlari ke luar rumah.

Waktu itu saya duduk bersimpuh di tanah halaman rumah, pinggir kolam ikan hias yang terdapat di perkarangan sambil mengucap, Lailahaillallah..., subhanallah, astaqfirullah".

Saya melihat dengan jelas rumah bergoyang dan berguncang kuat ke arah timur dan barat, sesekali terpental ke atas.

Di sekitar rumah saya melihat orang-orang tiarap, bersimpuh di lorong-lorong dan halaman-halaman rumah sambil bertakbir, bertahmid dan bertasbih.

Terlihat ekspresi ketakutan di wajah mereka. Gempa dahsyat itu berlangsung sekitar lebih kurang tujuh menit.

Kira-kira dua puluh menit kemudian, datang seorang laki-laki, teman saya, dari arah Uleelheuee (daerah pinggir pantai) dengan hanya mengenakan celana pendek dan baju kaus singlet.

Baca: VIDEO - Ternyata Juga Anggota TNI, Pelaku Penembak Perwira TNI di Jatinegara Sudah Ditangkap

Saya bertanya kepada teman saya itu, yang ketika itu sedang berlari ke arah timur, mendekati saya, "Ada apa, ada apa?".

Dia mengatakan, "Air laut naik..."

Saya belum percaya juga ketika itu karena sampai sebesar ini, seumur hidup, saya belum pernah mendengar dan melihat atau mengetahui bahwa air laut naik meluap ke daratan setelah terjadi gempa dahsyat.

Ketika itu saya buru-buru masuk kedalam mengambil segelas air putih dan sedikit makanan sambil membereskan barang-barang yang berserakan.

Kemudian terasa lagi di luar getaran gempa susulan. 

Orang-orang berteriak lagi, "Romi..., keluar..., gempa lagi".

Mendengar teriakan itu saya cepat keluar untuk menyelamatkan diri sambil tak henti-hentinya mengucap "Lailahaillallah, lailahaillallah".

Sejenak saya berdiri di luar, melihat ke arah utara, barat dan selatan, masyaallah, gelombang besar berwarna hitam pekat sedang bergerak menuju ke arah saya, saya langsung lari.

Sejauh sepuluh meter saya lari, ketika itu saya sudah pasrah kepada Allah swt. Jika pun saya berlari saya tidak mungkin selamat karena tiga buah gelombang yang cukup besar dari tiga penjuru siap-siap menghantam saya Ketika itu dalam hati saya terus berucap, "Lailahaillallah..., astagfirullah...".

Dalam sekejap mata saya sudah dihantam gelombang itu.

Saya terhempas sejauh kira-kira sepuluh meter.

Kemudian saya tenggelam dan digulung-gulung dalam air hitam itu.

Saya sempat tersangkut di bawah badan mobil sedan yang saat itu juga sedang dibawa arus gelombang.

Kira-kira selama lima menit saya terbawa arus bersama mobil itu di bawah permukaan air.

Dalam kondisi kritis seperti itu dalam hati saya cuma bisa mengucapkan, "Lailahaillallah..., lailahaillalah."

Lebih kurang lima menit digulung-gulung dan diputar gelombang tiba-tiba saya dimunculkan ke permukaan air.

Ketika digulung-gulung ombak saya masih sadar dan tidak ada usaha menyelamatkan diri.

Dalam posisi terapung saya melihat ada spring bed berwarna putih di dekat saya.

Entah bagaimana prosesnya saya tiba-tiba sudah tertelungkup di atas spring bed itu.

Posisi saya pada waktu itu berada di sekitar kompleks kantor Kehutanan.

Ketinggian air saat itu lebih kurang enam meter di atas permukaan tanah.

Di atas spring bed saya terus dibawa arus gelombang ke sana ke mari.

Saya hanya berusaha menghindar dari benturan tiang-tiang listrik atau seng-seng dan puing-puing yang cukup banyak berseleweran waktu itu.

Sampai di daerah jalan raya Banda Aceh-Meulaboh, sekitar Ajun Jeumpet, springbed yang saya tumpangi dari tadi tiba-tiba menghilang ditelan arus, terlepas dari pegangan.

Saya kembali jatuh ke dalam air dihempas gelombang berikutnya, lalu kembali tenggelam untuk ke sekian kalinya.

Beberapa saat kemudian saya mengapung lagi ke permukaan air.

Dengan berenang sedikit saya pun bisa meraih pagar salah satu rumah warga sekitar itu. Dengan cepat saya memanjat tembok pagar tersebut.

Anehnya, ketika melihat ke belakang terlihat air sudah surut dengan cepat.

Dari atas pagar itu saya melihat di dalam perkarangan rumah warga itu ada dua orang perempuan, masing-masing berumur kira-kira dua puluh dan dua puluh lima tahun.

Mereka memohon pertolongan kepada saya.

Saya langsung menolong salah satu dari perempuan itu, yaitu yang berumur dua puluh tahun, sementara itu perempuan yang satu lagi, yang lebih tua pergi sendiri entah ke mana.

Perempuan yang satu ini kondisinya sangat lemah, seluruh tubuhnya terselubung lumpur hitam.

Saat itu pakaian yang melekat di badannya hanya celana dalam.

Gadis itu berkata kepada saya, "Bang, bawa saya mana pun abang pergi."

Saat itu saya berkata, "Iya, Dek".

Saya segera membawa gadis ke sumur seorang warga di sekitar.

Sampai di sumur saya memandikan gadis tersebut, membersihkannya dari lumpur.

Setelah bersih memandikannya saya minta selembar kain kepada pemilik rumah itu untuk memberi kepada gadis itu.

Alhamdulillah, saya diberikan selembar kain sarung, dan saya berikan kepada gadis itu untuk menutup tubuhnya.

Sementara itu, baju kaos yang saya kenakan sudah saya berikan kepadanya sebelumnya.

Setelah siap membersihkan dan berpakaian seadanya, gadis itu berkata, "Kemana lagi kita sekarang, Bang?".

Saya mengatakan, "Ke mana Allah menakdirkan kita, Dek".

Saya bawa gadis itu sampai ke Lambaro Kaphe, Aceh Besar dengan berjalan kaki sejauh kira-kira enam kilometer.

Sambil berjalan menuju Lambaro gadis itu memegang erat di leher saya. Sampai di Lambaro gadis itu minta minum.

Saya berkata waktu itu, "Saya tidak ada uang, Dek".

Dia terus berkata, "Haus..haus".

Saya sangat iba melihat rengekannya itu.

Dia memang betul-betul sangat kehausan.

Melihat keadaan seperti itu, tiba-tiba datang seorang bapak memberikan satu gelas air mineral kemasan.

Jam sudah pukul 15.00 WIB. Setelah minum sedikit saya menitipkan gadis tersebut kepada seorang yang ada di tempat itu.

Saat saya hendak meninggalkannya, gadis itu berkata, "Mau ke mana, Bang" Saya jawab, "Saya hendak balik ke Lamjame sebentar".

Dia bertanya lagi, "Untuk apa ke sana, Bang".

"Mau melihat abang saya keluarga lain di sana," jawab saya.

Dia berkata, "Jangan lama-lama Bang, saya tungg di sini."

Dengan menumpang mobil polisi yang sedang mengevakuasi mayat pada waktu itu, saya tiba di Lamteumen Timur.

Saya bertanya kepada beberapa kawan yang ada di sana "Ada lihat abang dan kakak saya?".

Mereka menjawab, Tidak tahu" Lalu saya bergegas melihat posisi rumah dari arah Lamteumen Timur.

Ternyata rumah yang saya tempati selama ini bersama kakak, abang ipar, dan tiga keponakan itu sudah rata dengan tanah.

Saya pasrahkan semuanya kepada Allah swt.

Setelah asar, kira-kira pukul 16.00 WIB, tersiar isu bahwa air laut naik lagi. Saya dengan cepat lari ke Lambaro lagi bersama ribuan masyarakat lainnya.

Setelah berlari selama 1 jam lebih saya tiba di Lambaro lagi.

Sampai di Lambaro juga masih ada teriakan-teriakan air laut naik.

Orang-orang berlarian ke arah Sibreh.

Saat berlarian tersebut banyak orang terinjak mayat yang ada di situ.

Saya melihat gadis itu masih tetap berada di tempat yang saya titipkan tadi.

Saya segera menghampiri, memegang tangannya, dan membawanya lari bersama.

Sampai di pinggir jalan kebetulan ada sebuah labi-labi (sejenis mobil angkutan kota) yang lewat di antara rombongan orang panik yang sedang berlarian menuju ke arah Sibreh.

Saya langsung mengangkat dan melemparkan gadis itu terlebih dahulu ke dalam mobil labi-labi yang sedang melaju pelan tersebut biar tidak tertinggal.

Setelah dia aman, saya pun naik. Malam itu saya tidur bersama gadis itu di Rumah Sakit Sibreh bersama orang-orang terluka lainnya.

Di rumah sakit tersebut saya melihat cukup banyak darah berceceran, mengotori lantai rumah sakit tersebut.

Cukup banyak juga orang-orang terluka yang dibawa atau dievakuasi ke rumah sakit itu.

Sekitar pukul 02.00 WIB ada dua orang nenek yang meninggal dunia.

Malam ini juga dibawa ke Lambaro. Bersamaan pengantaran dua jenazah tersebut saya minta petugas agar kami juga diberikan tumpangan ke Lambaro Kaphe.

Bersama gadis itu saya meninggalkan rumah sakit tersebut malam itu.

Kami tidak lagi di L ambaro. Sambil menunggu, saya dan gadis itu duduk di pingir berada di jalan, tanpa banyak bicara.

Ketika pagi tiba kami tetap berada di tempat itu sampai tiba-tiba datang seorang perempuan yang ternyata ibu gadis itu.

Dalam keadaan haru ibu dan anak ini saling berpelukan.

Ibu gadis itu minta terima kasih kepada saya atas bantuan yang telah saya lakukan terhadap putrinya.

Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 09.00 WIB, mereka mohon pamit kepada saya.

Ketika itu gadis itu sempat berkata kepada saya, "Kalau kita ada jodoh, kita pasti bertemu lagi, Bang".

Setelah mengikhlaskan kepergian gadis itu bersama ibundanya, saat itu juga saya bergegas meninggalkan Kota Banda Aceh menuju ke Bireuen (daerah asal saya) dengan menumpang truk yang ketika itu hanya berjalan sampai ke Sigli.

Dari Sigli saya melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus sampai ke Ulee Gle.

Dari Ulee Gle saya kembali harus menumpang labi-labi sampai akhirnya, sekitar pukul 17.00 WIB saya tiba di Bireuen.

Ternyata kampung saya di Bireuen, Reum Baroh, juga terkena amukan gelombang tsunami.

Selama sebulan saya berada di kampung. Itu pun menumpang di rumah orang orang yang luput dari hantaman tsunami di sana.

Setelah itu saya kembali ke Banda Aceh karena saya sedang sekolah.

Setelah sebulan mengungsi di posko pengungsian Keutapang, Darul Imarah, saya pindah dan tinggal di kantor DPP I Golkar.

Di tempat itu saya membantu mengerjakan apa saja yang bisa saya lakukan sambil menunggu keluarnya ijazah SMA.

Dalam kejadian itu saya kehilangan kakak, abang ipar, dan tiga keponakan, yaitu keluarga tempat saya menumpang selama ini.

Selama bersama gadis itu saya tidak merasakan perasaan khusus terhadapnya. Semua berjalan biasa saja.(*)

(Dituturkan Romi Saputra, 19 tahun, pelajar tinggal di Desa Lamjamee, Kecamatan Jaya Baru, Aceh Besar seperti termuat dalam buku "Tsunami dan Kisah Mereka", diterbitkan Badan Arsip Provinsi Aceh tahun 2005) 
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Dua Sejoli Dihumbalang Tsunami: "Bang, Bawa Saya Kemana pun Abang Pergi"
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved