Tiga Hari Lagi Tak Berlaku, Ini Deretan Uang Lama yang Harus Segera Ditukar Sebelum 1 Januari 2019
BI menambahkan, bagi yang masih memiliki uang pecahan rupiah yang dimaksud, diharap segera menukarkan di Bank Indonesia.
TRIBUNBATAM.id - Bank Indonesia (BI) meminta masyarakat untuk menukarkan pecahan uang kertas rupiah yang telah habis masa berlakunya.
Dilansir dari akun Instagram Bank Indonesia, @bank_indonesia, BI menyatakan bahwa beberapa uang rupiah emisi lama akan ditarik dan dicabut dari peredaran.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/33/PBI/2008 uang kertas rupiah tersebut ditarik dari peredaran dengan pertimbangan masa edar uang, dan adanya uang emisi baru dengan adanya perkembangan teknologi pada unsur pengaman uang kertas.
BI menambahkan, bagi yang masih memiliki uang pecahan rupiah yang dimaksud, diharap segera menukarkan di Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Desember 2018.
Uang pecahan rupiah yang dimaksud tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah setelah tanggal tersebut.
Baca: WARNING BMKG - Termasuk di Kepri, Ini Daftar Perairan yang Terancam Gelombang Hingga 4 Meter
Baca: Bangun Pelabuhan di Batu Ampar, BP Batam Gandeng PT Bintang 99 Persada
Baca: VIDEO Ombak Besar Menerjang hingga ke Jalan Raya di Manado. BMKG Warning Warga Sulawesi dan Maluku
Baca: Masih Dikelilingi Awan Hitam Pekat, Awan Panas Gunung Anak Krakatau Mengarah ke Selatan

Uang pecahan rupiah yang tidak lagi berlaku pada Januari 2019 adalah pecahan Rp 10.000 tahun emisi (TE) 1998 dengan gambar muka Pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien.
Pecahan Rp 20.000 tahun emisi (TE) 1998 dengan gambar muka Pahlawan Nasional Ki hajar Dewantara.
Pecahan Rp 50.000 tahun emisi (TE) 1999 dengan gambar muka Pahlawan Nasional WR. Soepratman.
Dan pecahan Rp 100.000 tahun emisi (TE) 1999 dengan gambar muka Pahlawan Proklamator Dr. Ir. Soekarno dan Dr. H. Mohammad Hatta berbahan polymer.

Belanja Tak Pakai Rupiah
Jika Anda sedang berjalan-jalan di Kabupaten Magelang, tidak ada salahnya untuk dapat berkunjung ke Pasar Kebon Watu Gede di Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang.
Pasar ini menawarkan nuansa wisata yang berbeda dengan memadukan wisata kuliner, wisata alam, wisata seni dan kebudayaan tradisional.
Sesaat memasuki Pasar Kebon Watu Gede, pengunjung disambut hawa sejuk pegunungan.
Lokasi pasar memang tak jauh dari salah satu gunung tertinggi di Jawa Tengah, yakni Gunung Sumbing.
Suasana di sana begitu asri, rumpun bambu dan rimbun pepohonan merindangi segenap penjuru pasar yang terletak di jantung desa yang terhimpit di lahan persawahan yang hijau membentang.
Seperti kembali kepada masa lalu saat masuk ke dalam pasar ini.
Pertama di pintu masuk, pengunjung disambut oleh para 'pegawai' pasar yang mengenakan pakaian tradisional jawa kuno.
Dalam bahasa jawa, mereka memberikan ucapan selamat datang kepada pengunjung dan menawarkan ' Benggol', mata uang khusus.
Di pasar ini memang rupiah kesannya tak laku, karena mereka menggunakan Benggol sebagai ganti alat pembayaran.
Seperti pasar-pasar kuno dahulu yang menggunakan mata uang kuno untuk melakukan jual-beli, sama halnya di Pasar Kebon Watu Gede ini.
Blongkeng ini ditukar dengan beberapa rupiah. Jika tak habis dibelanjakan dapat disimpan untuk digunakan saat pasar selanjutnya.
Pantauan Tribunjogja.com, beragam kuliner jadul dijual di pasar ini, mulai dari makanan tradisional seperti Clorot, Sengkulun, Kluban, Buntil, Sego Jagung, sampai berbagai macam olahan ketela Gethuk dan kawan-kawannya.
Minuman tradisional juga ada di sini.
Ada wedang uwuh, wedang jahe, selendang mayang, dawet ayu dan makanan lain yang mulai jarang ditemui di masyarakat.
Dekorasi pasar pun kental nuansa tradisional.
Lapak pedagang menggunakan gubuk, bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu.
Mejanya terbuat dari bilahan bambu yang ditatah dan direntangkan.
Atapnya menggunakan rumbia dari daun kelapa yang dianyam.
Para penjualnya pun berdandan ala-ala masyarakat jawa jaman jadul.
Pria memakai blangkon di kepala, dan pakaian tradisional seperti peranakan.
Penjual yang wanita mengenakan batik dan sanggul di kepala.
Para pedagang akan menyambut ramah pengunjung, Masyarakat dapat membeli makanan menggunakan blongkeng dan duduk menikmatinya di bangku-bangku bambu atau tethekan di dalam pasar.
Ari Fianto, Pengelola Pasar Kebon Watu Gede, menceritakan, awal mula pasar ini dibangun dari ide dan gagasan para pemuda Karangtaruna Desa Jetak.
Mereka ingin membuat suatu pasar tradisional yang khas dan berbeda dari pasar yang lain.
Pasar ini berkonsep seperti pasar jadul yang akan menarik minat wisatawan untuk datang.
"Awalnya dari karangtaruna Desa Jetak, biar ada kegiatan mencari kegiatan yang orientasinya mensejahterakan masyarakat sekitar. Lalu kami mencari ide, dan ketemulah pasar kebon watu gede ini," ujar Ari.
Dikatakannya, di pasar ini pengunjung ditawarkan beragam makanan dan minuman tradisional.
Ada juga produk kerajinan dan mainan anak jaman dulu.
Semuanya dibuat oleh masyarakat lokal di Desa Jetak, termasuk besek atau wadah dari bambu, juga dibuat oleh masyarakat di sini, sebagai wadah pengganti plastik.
"Besek ini dipakai untuk mengganti bungkus plastik. Kami ingin membuat pasar yang juga ramah lingkungan."
"Kita ingin berkampanye pengurangan penggunaan plastik, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap kelestarian lingkungan," kata Ari.
Pasar yang berdiri sejak Februari 2018 ini, hanya diadakan saat hari Minggu Legi atau Pahing.
Hal ini bertujuan sebagai kearifan lokal dengan menggunakan pasaran Jawa sebagai jadwal pasar.
Selain itu untuk menghormati kegiatan masyarakat di sekitar pasar, seperti pengajian ataupun kerja bakti warga desa.
Selama sembilan bulan Pasar ini berjalan, dampaknya begitu terasa, baik dari segi pariwisata yang semakin berkembang, dan ekonomi warga sekitar yang juga meningkat.
Kurang lebih ada 60 pedagang yang ada di Pasar Kebon Watu Gede, dan semuanya berasal dari masyarakat lokal.
Belum lagi, dampak ke warung-warung di sekitar pasar, dan pendapatan desa dari parkir kendaraan.
Promosi wisata dilakukan menggunakan sosial media.
Pengelola pasar berjejaring dengan para penggiat wisata yang aktif di media sosial untuk mempromosikan pasar Kebon Watu Gede.
Promosi pun cukup berhasil, sampai pasar ini dijuluki pasar digital karena sangat dikenal di dunia maya.
Pengembangan pariwisata pun akan terus dilakukan di Pasar Kebon Watu Gede.
Pengelola bahkan tengah menyiapkan konsep wisata yang baru, dengan memanfaatkan potensi alam yang masih indah dan asri di sekitar pasar Kebon Watu Gede.
"Kami ingin lebih mengembangkan potensi wisata yang ada di sini. Potensi alam akan dikembangkan."
"Keberadaan pasar, ini juga sedikit banyak turut mempromosikan pariwisata yang ada di Kabupaten Magelang, sehingga wisatawan akan berdatangan di sini. Pariwisata akan terus maju dan berkembang," kata Ari.
Kepala Bidang Pemasaran dan Kelembagaan Pariwisata Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Magelang, Zumrotun Rini Sulistyowati, mengatakan, konsep dari pasar ini sangat unik dengan menyematkan nuansa pasar tradisional sehingga wisatawan tertarik untuk berkunjung ke Pasar Kebon Watu Gede.
"Konsep ini sangat unik, dan berbeda dengan pasar lain."
"Pengelola membuat pasar bernuansa kuno, sekaligus sebagai spot wisata. Adanya gubuk-gubuk tradisional, makanan tradisional, minuman tradisional, pernak-pernik hasil dari masyarakat, semua membuat pasar ini menjadi destinasi wisata yang menarik di kunjungi," kata Zumrotun.
Keberadaan dari pasar Kebon Watu Gede ini juga menambah destinasi wisata pilihan yang ada di Kabupaten Magelang, khususnya di daerah utara yang saat ini memang tengah dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Hal ini akan mendorong destinasi wisata lain yang ada di sana dapat tumbuh dan bermunculan.
"Keberadaan pasar ini dapat meningkatkan promosi wisata di sekitar lereng Sumbing, dimulai dari Pasar Kebon Watu Gede, Bandongan, merambah ke destinasi wisata yang lain di sekitar sumbing," katanya.
Kegiatan malam hari juga diadakan untuk meningkatkan lama tinggal wisatawan.
Seperti event Kebon Wengi Watu Gede yang diadakan pada Sabtu (22/12) dan Minggu (23/12), menyuguhkan pertunjukkan kesenian seperti Sendratari Manohara dan obar-abir, kemudian konser musik, dan atraksi wisata pelepasan lampion.
"Kita membuat kegiatan di malam hari, ini agar lama tinggal wisatawan dapat meningkat. Secara keseluruhan kami ingin event ini terus berkembang dengan pesat, pasar digitalnya lebih luas lagi dan banyak dikenal, dan banyak yang datang kesini, dan untuk kita meningkatkan perekonomian masyarakat," katanya. (TribunWow.com/Qurrota Ayun)
*Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Daftar Uang Kertas Rupiah Ini Tak Berlaku Mulai 1 Januari 2019, Segera Tukarkan di Bank Indonesia!