BERITA JOGJA

13 Tahun Gempa Jogja - Kisah Sujiman Selamat dari Gempa, Lihat Semua Rumah Ambruk, Kampung Mencekam

Pedukuhan di sebelah Tenggara Bumi Projotamansari ini menjadi episentrum gempa besar mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 13 tahun silam

Editor: Mairi Nandarson
Tribunjogja.com/Ahmad Syarifuddin
Tetenger atau monumen yang menjadi episentrum gempa bumi di kampung Protobayan Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul. 

Kisah Sujiman Selamat dari Gempa Jogja 2006, Hari Ini 13 Tahun Lalu Tak Ada Kokok Ayam Pagi Hari

TRIBUNBATAM.id - Sujiman bersama istrinya, Rubinem dan keluarganya tinggal di Protobayan, Desa Srihardono, Pundong.

Pedukuhan di sebelah Tenggara Bumi Projotamansari ini menjadi episentrum gempa besar mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 13 tahun silam.

Sabtu Wage, 27 Mei 2006

Sujiman dan istirnya Rubinem, telah terbangun dari peraduannya.
Sejak pukul empat dini hari, mereka telah sibuk didapur menyiapkan aneka masakan.
Sujiman pagi itu telah selesai menanak nasi dan bubur.

Ibu Rubinem memasak sayuran.

Pasangan keluarga ini dikenal sebagai penjual nasi dan bubur serta masakan dikampung Protobayan.

Nasi, bubur dan nampan yang berisi masakan sayur telah siap. Satu persatu dibawa dari dapur menuju depan rumah Sujiman untuk dijajakan.

Kala itu, belum genap pukul enam pagi, ketika tiba-tiba Bumi di protobayan berguncang hebat.

Dalam hitungan detik.

"Rumah saya ambruk. Semua dinding dan gentengnya runtuh," kata Sujiman, menceritakan.

Beruntung, Sujiman dan istrinya, Rubinem selamat dari tragedi pagi buta itu.

"Kedua anak saya juga selamat. Cucu saya bernama Desti Novita Sari, patah pada kaki kanannya. Karena keruntuhan tembok," tuturnya.

Saat itu, Sujiman belum tahu persis apa yang terjadi.

Ia menyaksikan detik itu kampung Protobayan berubah mencekam.

Tidak ada kokok ayam pagi. Listrik padam.

Ia melihat semua rumah tetangganya ambruk.

"Sepanjang sungai opak, di kampung Protobayan ini tidak ada rumah yang berdiri. Semuanya ambruk," kenang dia.

Sujiman melihat semua anggota keluarganya selamat. Ia bersyukur.

Yang pertama ia lakukan adalah menyelamatkan cucunya, Desti--yang saat itu masih kelas dua SD--dari reruntuhan tembok.

"Ketika tubuh cucu saya angkat. Kaki kanannya kiwir-kiwir, [patah]," terang Sujiman.

Di antara rasa kalut dan panik.

Ia segera membawa cucunya itu ke pengobatan alternatif sangkal putung. Penyembuhan patah tulang.

Tetenger atau monumen yang menjadi episentrum gempa bumi di kampung Protobayan Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul.
Tetenger atau monumen yang menjadi episentrum gempa bumi di kampung Protobayan Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul. (Tribunjogja.com | Ahmad Syarifuddin)

Namun tak sanggup. Sujiman lantas melarikan ke Rumah sakit Bethesda.

"Di Rumah sakit disarankan untuk dioperasi. Akhirnya saya bawa ke PKU Bantul. Dioperasi di sana," cerita Sujiman.

Hari-hari pasca tragedi gempa, menjadi hari yang paling berat.

Sujiman beserta anggota keluarganya, dan warga terdampak lainnya tinggal di barak pengungsian.

Barak ini terletak di gudang bekas kayu di kampung Protobayan.

Sujiman masih ingat betul. pasca gempa. Sabtu malam hujan turun dengan lebatnya.

"Saya dan keluarga bernaung dibawah tenda, di barak pengungsian,"

Berkumpul bersama para korban lainnya, Sujiman mendengar informasi di kampungnya, Protobayan, ada sembilan orang meninggal dunia dan langsung dikebumikan hari itu juga secara bersamaan.

Hampir semua warga kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Perekonomian warga lumpuh.

Bahan makanan sulit didapatkan. Semua gotong-royong supaya bisa bertahan.

"Ada yang punya lembu. Terkena runtuhan rumah. Dan kelihatannya mau mati. Kita potong. Dagingnya kita masak bersama-sama,"

"Ada yang masih punya sayuran. Kita masak bersama. Kebersamaan itu yang membuat kita jadi kuat," ujar Sujiman.

Bergeser ke kampung lain.

Masih di Bantul, tepatnya di Desa Sumbermulyo Kecamatan Bambanglipuro.

27 Mei 2006.

Matahari masih belum menampakkan sinarnya dilangit timur pagi itu, ketika Masda Tanjung, terbangun dari tidurnya.

Beranjak dari tidur, murid kelas dua SMA 2 Bantul itu bergegas menuju kamar mandi yang terletak tak jauh dibelakang rumahnya.

Semua masih normal seperti biasa. Sampai Masda selesai mandi, memakai celana kemudian melangkah keluar dari sumur.

"Awalnya saya mendengar suara gemuruh. Tiba-tiba langsung besar [goncangan gempa]," ujar dia, mulai bercerita.

Bagi Masda, kenangan 13 tahun silam itu tak mungkin bisa dilupakan begitu saja.

Ia masih sangat hafal cerita bagaimana gempa tektonik dipagi itu merobohkan rumah-rumah di kampungnya.

Beruntung, saat kejadian naas itu Masda berada di area sekitar sumur. Ruang terbuka.

Ia sempat menyaksikan tembok beteng cukup tinggi, pembatas sumur, roboh didepan matanya.

"Saya berdiri mau jatuh. Dipenuhi asap putih karena guguran tembok yang roboh," tuturnya.

Tak lebih dari satu menit. Gempa berhenti. Masda melangkah melewati pintu belakang.

Ia mendapati bagian dapur sebelah kanan rumahnya roboh.

"Di bagian depan rumah saya juga habis, roboh,"

Hari itu, pagi yang cerah kemudian berubah mencekam. Masda menyaksikan rumah-rumah warga roboh. Warga tertimpa material.

Korban yang tertimpa bangunan itu kemudian dibawa ke rumah sakit ramai-ramai menggunakan truk.

Ada operasi truk dadakan yang bertugas mengangkuti para korban.

Tak berselang lama. Disaat kondisi gawat darurat. "Ada isu tsunami. Warga lari semua," kata dia.

Ia sendiri panik, ikut berlari bersama warga lainnya menuju pematang sawah.

Informasi saat itu simpang siur. Yang diketahui Masda dan warga lainnya akan datang tsunami seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 silam. Semua cemas.

Ditengah-tengah sawah itu, kabar mencekam itu kemudian dipatahkan.

Di sawah, ada pengumuman tidak akan ada tsunami. Kata Masda. Warga berduyun-duyun kembali pulang.

Evakuasi terhadap korban dan sejumlah rumah kembali dilakukan. Warga bahu-membahu bergotong-royong.

"Rumah saya dijadikan posko pengungsian sementara," ujar dia.

Gempa dahsyat selama 59 detik itu terjadi sekitar pukul 05.59 pagi, Waktu Indonesia Barat.

Kepastian waktu, didapatkan oleh Masda dari jam yang ditemukan tergeletak dari reruntuhan pasca gempa. Jarum pada jam tersebut terhenti tepat diangka itu.

Tragedi gempa menjadi duka mendalam. Laporan Kompas.com, yang bersumber dari data BPBD Bantul, jumlah korban di wilayah Bantul akibat gempa Bumi 13 tahun itu ada 4.143 korban tewas, dengan jumlah rumah rusak total ada sekitar 71.763.

Rumah rusak berat ada 71.372, rusak ringan 66.359 rumah.

Total korban meninggal gempa DIY dan Jawa Tengah bagian selatan, seperti di Klaten, tercatat mencapai 5.782 orang lebih, 26.299 lebih luka berat dan ringan, 390.077 lebih rumah roboh.

13 tahun, telah berlalu. Masyarakat Bantul kini sudah pulih. Gempa Bumi, seperti dikatakan oleh Sujiman, akan menjadi pengingat untuk generasi anak cucu selanjutnya.

"Anak cucu kulo kudu sing ngati-ati. Nggolek rezeki sing halal. Barokah. Jangan merusak bumi. Saya mengingatkan bahwa 13 tahun lalu kampung Protobayan pernah luluh-lantak karena gempa," tutur Sujiman yang juga merupakan ketua RT 01, di Padukuhan Protobayan. 

(ahmad syarifudin/tribunjogja.com)



* artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kisah Sujiman Selamat dari Gempa Jogja 2006, Hari Ini 13 Tahun Lalu Tak Ada Kokok Ayam Pagi Hari
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved