Antrean Maut Menuju Puncak Everest Telah Memakan Korban 11 Orang Musim Ini
Jumlah pendaki yang tewas oleh kebekuan Gunung Everest sudah 11 orang pada musim pendakian tahun ini akibat antrean panjang yang menyiksa di puncak.
TRIBUNBATAM.id, KATHMANDU - Jumlah pendaki yang tewas oleh kebekuan Gunung Everest sudah 11 orang pada musim pendakian tahun ini akibat antrean panjang yang menyiksa di puncak.
Korban Gunung everest terakhir adalah seorang pendaki asal Amerika Serikat bernama John Kulish (62), Senin (27/5/2019).
Pria yang berprofesi sebagai opengacara ini menghembuskan napas terakhirnya setelah mencapai puncak Everest di bagian Nepal pada pagi hari.
• Tubuh Aktor Ahn Jae Hyun Terlihat Berubah Lebih Macho, Suami Goo Hye Sun Sukses Bikin Penggemar Syok
• Setelah Video Selingkuh dalam Mobil, Aktris Cantik Jacqueline Wong di Ambang Bangkrut
• Nyaris Miliki Rumah Termewah Shah Rukh Khan, Ini Alasan Salman Khan Tak Jadi Membeli Mannat
Ketika menuruni puncak, Kulish masih kuat dan mencapai South Col --titik di ketinggian 7.900 meter-- dengan aman.
Namun setelah itu, dia meninggal secara mendadak.
"Chris, yang genap berusia 62 tahun pada April lalu, mendaki dengan kelompok kecil dalam cuaca yang hampir ideal setelah kepadatan berkurang," demikian pernyataan keluarga, seperti dikutip dari CNN.
Laporan ABC News menyebutkan, Kulish merupakan anggota 7 Summit Club dalam misi pendakian gunung tertinggi di dunia.
"Dia melihat matahari terbit terakhirnya di puncak tertinggi di Bumi," kata keluarganya.
Pada hari yang sama, sebuah keluarga di Austria mengonfirmasi kematian salah satu kerabat mereka. Ernst Landgraf yang berusia 64 tahun meninggal pada Kamis lalu.
Dia tak lagi bernapas setelah menggapai mimpinya naik ke puncak Everest.
Landgraf begitu mencintai keluarga dan hobinya mendaki.
Dalam obituari yang dibagikan keluarganya, pria itu disebut mati untuk mewujudkan mimpi.
Sebelumnya, seorang pendaki asal Inggris, Robin Haynes Fisher, pernah memperingatkan soal kepadatan di puncak Everest pada unggahan terakhirnya di media sosial.
Namun dia meninggal dunia akibat penyakit ketinggian atau altitude sickness ketika berada pada ketinggian 8.600 meter, setelah turun dari puncak.
"Saya berharap untuk menghindari keramaian pada hari puncak dan sepertinya sejumlah tim mendorong ke puncak pada tanggal 21," tulisnya di Instagram pada 13 Mei lalu.
"Dengan rute tunggal menuju puncak, penundaan yang disebabkan kepadatan terbukti fatal," lanjutnya.
Tingginya angka kematian kadena selama pekan yang dimulai pada 20 Mei 2019, kerumunan pendaki terjebak dalam antrean menuju puncak, di kamp dengan ketinggian 8.000 meter.
Puncak Gunung Everest berada di ketinggian 8.848 meter.
Kebanyakan pendaki hanya dapat menghabiskan waktu beberapa menit di puncak tanpa suplai oksigen tambahan.
Terbatasnya waktu pendakian akibat cuaca buruk memicu antrean panjang sejumlah orang yang ingin mencapai gunung tertinggi di dunia.
Pendaki asal Iggris, Robin Haynes Fisher, menjadi salah satu yang tak mampu bertahan.
Sebelum meninggal pada Sabtu (25/5/2019), dia memperingatkan soal kepadatan di puncak Everest pada unggahan terakhirnya di media sosial.
Fisher diyakini meninggal dunia akibat penyakit ketinggian atau altitude sickness ketika berada pada ketinggian 8.600 meter, setelah turun dari puncak.
"Saya berharap untuk menghindari keramaian pada hari puncak dan sepertinya sejumlah tim mendorong ke puncak pada tanggal 21," tulisnya di Instagram pada 13 Mei lalu.
"Dengan rute tunggal menuju puncak, penundaan yang disebabkan kepadatan terbukti fatal," lanjutnya.
Pada pekan yang dimulai pada 20 Mei, kerumunan pendaki terjebak dalam antrean menuju puncak pada ketinggian 8.000 meter.
Selain itu ada satu orang Nepal, empat warga India, seorang warga Austria dan Amerika Serikat juga meninggal dunia atau hilang.
Seorang petugas jasa perjalanan setempat mengatakan kepada AFP, seorang warga India bernama Nihal Ashpak Bhagwan tutup usia karena kelelahan setelah terjebak antrean selama lebih dari 12 jam.
Sebelumnya, Nepal mengeluarkan 381 izin yang masing-masing seharga 11.000 dollar AS atau sekitar Rp 158 juta untuk musim pendakian musim semi kali ini.
Setiap pendaki yang berizin dibantu setidaknya satu sherpa atau pemandu. Namun, dengan pendeknya waktu pendakian akibat cuaca buruk, antrean sejumlah pendaki yang ingin mencapai puncak selalu meningkat setiap hari.