Dua Tahun Lagi Sudah Bisa Naik Kereta Api Cepat dari Singapura ke China

Jika tak ada aral melintang, tahun 2021 nanti, sudah ada kereta api cepat dari Singapura menuju Kunming, Provinsi Yunan, China bagian selatan.

South China Morning Post
Kereta api cepat China 

TRIBUNBATAM.ID, VIENTIANE - Di tengah perang dagang AS vs China yang menjadi sorotan dunia, Beijing tidak berhenti dengan gagasan jalur sutera barunya yang bernama Belt and Road Initiative.

Jika tak ada aral melintang, tahun 2021 nanti, sudah ada kereta api cepat dari Singapura menuju Kunming, Provinsi Yunan, China bagian selatan.

Hal ini karena China membangun proyek kereta api cepat dari Laos-Kunming sepanjang 414 kilometer yang ditargetkan selesai pada akhir 2021 nanti.

Jalur ini kemudian akan terhubung dengan jalur Thailand-Malaysia-Singapura yang sudah tersambung.

Menteri Susi ke Anambas, Ngeluh Soal Sinyal ke Rudiantara, Ini Permintaannya

Dulu Bank-bank Sibuk Buka Cabang, Sekarang Sibuk Menutupnya

Jokowi Keluhkan Pembangunan Destinasi Wisata Lambat, Rp 6,4 Triliun Akan Dikucurkan

Tak main-main, nilai proyek ini mencapai 7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 98 triliun. 

Hebatnya lagi, proyek ini dibiayai sepenuhnya oleh China sehingga Laos tidak perlu khawatir akan terjebak dalam perangkap utang.

Proyek raksasa ini merupakan bagian dari ambisi Belt and Road Initiative yang target besarnya akan menghubungkan 210 negara di Asia-Eropa hingga Afrika.

Konstruksi kereta api China–Laos sudah dimulai pada bulan Desember 2016 dan melibatkan enam kontraktor Tiongkok dari anak perusahaan China Railway Group.

Pihak kontraktor menyebuitkan bahwa separoh proyek itu sudah selesai dan sesuai jadwal, akan selesai pada Desember 2021.

Jalur kereta 414 kilometer membentang dari Boten, di perbatasan utara Laos dengan China, ke Vientiane, ibukota Laos di bagian selatan.

Selanjutnya, jalur kereta api ini akan terhubung dengan Thailand yang sudash tersambung hingga Malaysia dan Singapura.

Proyek ini memang ambisi Presiden China Xi Jinping untuk membangun kembali infrastruktur jalur sutera kuno Asia, Afrika dan Eropa.

Tentu saja proyek ini disambut oleh pemerintah Laos yang merupakan salah satu negara miskin di Asia Tenggara.

Rel kereta api cepat ini akan membuka isolasi yang sulit berkembang karena tidak memiliki daratan.

Sistem satu partai Laos, yakni Partai Revolusi Rakyat Laos, yang telah memerintah sejak 1975, membuat gagasan ini semakin mudah.

Pembangunan jalur kereta api ini juga membuka lebih dari 5000 lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat, belum lagi perkembangan ekonomi di sepanjang koridor kereta api ini, menurut Xinhua.

Membangun jalur kereta api ini memang tidak gampang. South China Morning Post mengatakan bahwa geografi yang sulit memaksa kontraktor membangun 170 jembatan dan 72 terowongan di pegunungan Laos.

Jembatan untuk rel kereta api Kunming-Laos.

Selain itu, sisa-sisa Perang Vietnam masih menyisakan ranjau-ranjau sehingga memaksa perusahaan konstruksi yang terlibat harus menunda proyek beberapa kali.

Proyek ini memang juga sedikit mengalami penolakan dari pemilik tanah, namun pemerintah Laos kemudian membuat undang-undang kompensasi dan akuisisi wajib terkait proyek infrastruktur.

Vientiane sempat menghadapi kesulitan untuk mendapatkan anggaran penunjang untuk proyek tersebut.

Pada bulan Maret 2018, Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Transportasi meminta persetujuan anggaran 510 miliar atau sekitar Rp 600 miliar untuk proyek tersebut.

Dalam jangka panjang, jalur Laos ini akan terhubung dengan kereta api kecepatan tinggi Nong Khai-Bangkok di Thailand, kemudian ke Malaysia.

Ambisi Jalur Sutera

 
Seksinya 'Jalur Sutera' China, Dalam Sehari, Puluhan Negara Teken Kerjasama Senilai Rp 928 Triliun
 
China terus mengkampanyekan ambisi besarnya untuk menyatukan Asia, Eropa dan Afrika dengan “Belt and Road Initiative”.

Meskipun China menghindari istilah “proyek” atau “program”, namun BRI ini adalah misi masa depan yang akan membangun kembali mimpi sekian abad yang lalu tentang “Jalur Sutera” atau “Marshall Plan” pasca perang Dunia II,

BRI ini –jika selesai– akan menghubungkan 210 negara di Asia, Eropa dan Afrika lewat jalur darat dan laut.

Meskipuin BRI ini adalah ambisi besar Presiden China XI Jinping, namun sebagian besar negara yantg mendapat tawaran, terkesima dengan gagasan tersebut.

Lihat saja, saat Belt and Road Initiative Forum digelar pada Jumat dan Sabtu lalu yang dihadiri oleh 37 negara, sejumlah petinggi negara yang hadir, langsung menandatangani perjanjian yang besarnya mencapai 64 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 928 triliun di akhir pertemuan.

Bahkan, jika ditambah dengan perjanjian China dengan Malaysia dan Kamboja, nilainya di atas 1.000 triliun.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di awal pemerintahannya, Mei 2018 lalu, menghentikan sejumlah proyek strategis peninggalan PM Najib Razak.

Namun, dalam kunjungan kerjanya ke Beijing, kedua negara akhirnya sepakat untuk melanjutkan proyek ECRL senilai 44 miliar Ringgit atau sekitar Rp 151,8 triliun.

Perbedaannya adalah, proyek East Coast Rail Link tersebut memang dikurangi nilainya dari sebelumnya RM65,6 miliar.

Mantan Menteri Keuangan Daim Zainuddin yang dipercaya Mahathir untuk menandatangani proyek itu menyebutkan kepada media bahwa pengurangan anggaran itu dengan mengurangi jalur kererta api 40km menjadi 648km.

Biaya pembangunan setiap kilometer jalur juga akan turun menjadi 68 juta ringgit dari 98 juta ringgit.



Jalur kereta api ini nantinya akan menghubungkan ujung utara semenanjung Malaysia yang berbatasan Thailand hingga Negeri Sembilan dan berakhir di Pelabuhan Port Klang, Selangor di bagian selatan..

Mahathir tentunya sulit menghindar dari peluang besar dari jalur sutera ini di masa depan.

Mahathir, pada tahun 1990-an, manjadi salah satu penggagas dari TransAsia Railway, namun proyek itu terhenti ketika krisis ekonomi melanda tahun 1997.

Dalam rancangannya, BRI ini akan membangun jalur kereta api sepanjang 12 ribu kilometer lebih dari Asia ke Rotterdam, Belanda hingga Madrid, Spanyol serta London.

Selain Malaysia, pekan lalu, juga sudah mulai dibangun proyek pelabuhan raksasa dan kawasan Ekonomi Khusus Sihanoukville, Kamboja,

KEK ini akan menjadi homebase bagi lusinan perusahaan China dan hanya 12 km dari satu-satunya pelabuhan laut Kamboja yang menjadi pintu masuk dan keluar 70 persen barang daari dan ke Kamboja.

Bagi Kamboja, ini adalah berkah karena salah satu negara termiskin di Asia Tenggara itu mendapat guyuran investasi sekitar 3,9 miliar dolar AS atau Rp 56,5 triliun sejak tahun lalu.

Gagasan Sejak 2015

Presiden China Xi Jinping berbicara dalam Belt and Road Initiative Forum di Beijing, Sabtu (27/4/2019).
Presiden China Xi Jinping berbicara dalam Belt and Road Initiative Forum di Beijing, Sabtu (27/4/2019). (Kyodo)

Belt and Road Initiative yang digagas China dimulai sejak tahun 2015 untuk menghubungkan Asia, Eropa dan Afrik, terutama untuk jalur laut dan darat.

Jalur sutera ini tidak hanya kereta api, tetapi juga jalan raya, koneksi antarpelabuhan laut serta pipa gas yang akan mempercepat mobilitas angkutan barang, manusia dan energi dari seluruh negara yang terlibat.

Tak heran jika gagasan ambisius ini mendapat tepuk tangan, tidak hanya bagi negara-negara Asia, tetapi juga Eropa, ditengah mencuatnya perang dagang AS-China.

'Bekerjasama atau berhenti mengkritik,” begitu pesan Menteri Luar Negeri China terhadap pihak-pihak yang mencurigai proyek raksasa ini.

Memang, tidak sedikit yang mempertanyakan ambisi global China, terutama Amerika Serikat karena gagasan ini akan memindahkan gravitasi ekonomi dari Amerika ke Asia.

Beberapa negara juga ada yang mencurigai maksud China untuk menjadi penguasa ekonomi Asia dan Eropa, seperti India, Australia serta Jepang.

Namun, berbagai kecurigaan itu tak berbunyi mengingat sebagian besar negara yang justru melihat lebih besarnya keuntungan dari konektivitas regional Eurasia dan Afrika tersebut.

Selain itu, China juga memberikan alternatif pembiayaan yang jauh berbeda dengan model konvensional selama in, yakni utang.

Banyak negara terjerat oleh utang luar negeri yang besar, bahkan ada yang sama nilainya dengan GDP negara tersebut, seperti Italia dan Portugal.

Isu utang juga menjadi isu politis yang tak berkesudahan di Indonesia dan Malaysia ketika negara membutuhkan biaya besar untuk membangun infrastruktur.

China yang terus memperkuat–kini bahkan terdepan– dalam teknologi infrastruktur, tidak memberikan utang seperti IMF atau Bank Dunia, tetapi menawarkan utang sebagai peluang.

Setiap negara diberi utang dengan janji akan dibayar oleh proyek itu sendiri, karena setiap proyek China diikuti dengan investasi yang besar.

"Bagian penting dari Belt and Road Initiative adalah memproyeksikan peremajaan China dalam 'mimpi Presiden Xi," kata Steve Tsang, direktur SOAS China Institute di Sekolah Studi Oriental dan Afrika di Universitas London, seperti dilansir Sout China Morning Post.

Apapun pandangan negatif tentang proyek ini, kata Tsang, visi dan konektivitas BRI adalah gagasan raksasa yang dirindukan oleh seluruh pemimpin negara di kawasan ini.

Gagasan Kuno Jalur Sutera

Saat Presiden Xi pertama kali meluncurkan BRI ini, enam tahun lalu, dia sebenarnya ingin mewujudkan kembali jalur perdagangan kuno berabad-abad silam yang disebut dengan Jalur Sutera.

Pada Belt and Road Forum pertama pada tahun 2017, Presiden Xi memuji rute-rute Silk Road kuno sebagai "warisan besar peradaban manusia" dan menurutnya, gagasan itu harus dilanjutkan.

SCMP

Gagasan ini muncul kembali setelah perang dunia II dengan apa yang disebut Marshall Plan dan strategi"flying geese" Jepang di Asia Tenggara pada 1990-an.

Di waktu yang sama –sebelum krisis ekonomi 1998– juga muncul Trans Asia Railway dan di tingkat yang lebih kecil, juga ada Trans-ASEAN Railway oleh beberapa negara ASEAN..

Indonesia sendiri saat itu juga mulai menghitung-hitung kemungkinan dibangunnya Trans-Sumatera Railway serta pembangunan jembatan Dumai-Melaka.

Semua mimpi itu buyar setelah tsunami krisis moneter menghantam tahun 1997.

Bahkan, hingga saat ini, Melaka masih menyiapkan lahan untuk tapak jembatan, jika suatu waktu, gagasan jembatan Dumai-Melaka muncul kembali.

Di saat Presiden Xi Jinping mengungkapkan gagasan itu pada tahun 2013, lebih dari 100 negara dan organisasi internasional menyambut baik rencana tersebut dan jumlahnya semakin bertambah hingga 210 negara yang terdaftar hingga saat ini.

Selama bertahun-tahun, berbagai gagasan ini terus berevolusi dan diperdalam menjadi lebih komprehensif.

Satu teori yang membuat gagasan ini menjadi kuat adalah mulai beralihnya istilah “competittive sum game” (yang kuat yang menang) menjadi “cooperative sum game” (yang bekerjasama yang menang).

Tahun 2017, China BRI ini kemudian menjadi undang-undang China, bersamaan dengan pemikiran politik eponymous Presiden Xi.

Menurut diplomat top Beijing Yang Jiechi yang juga menteri luar negeri China, lebih dari 120 negara di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Latin hingga Karibia, telah menandatangani rencana tersebut.

Tidak ada keraguan bahwa Cina telah muncul sebagai kekuatan Eurasia dan akan menjadi partner bisnis puluhan negara Eropa untuk ke depan.

Selain kemampuan keuangan, kemampuan para teknokrat China juga sudah semakin maju dengan berbagai teknologi terbaru yang mereka miliki.

“Tetapi, bagi banyak negara yang sedang mencari sumber-sumber keuangan untuk mendanai infrastruktur mereka, ini adalah peluang besar,” kata Gal Luft, co- direktur Institut Analisis Keamanan Global yang bermarkas di Washington.

"Banyak negara berkembang sedang kesulitan keuangan karena utang mereka yang tinggi, termasuk di Eropa sendiri, seperti Italia, Yunani, dan Portugal. China menawarkan alternatif pembiayaan yang berbeda dan ini sangat menarik,” katanya.

“Bahkan IMF dan Bank Dunia tidak lagi dipandang sebagai lembaaga yang mampu menyelamatkan mereka karena mereka menawarkan beban, bukan peluang. China adalah satu-satunya yang bersedia menawarkan sumber pembiayaan dengan skema saling menguntungkan.”

Menurut Nicolas Moes di Bruegel, sebuah think tank yang berbasis di Brussels meyakini bahwa Jalur Sutera ini sangat menggiurkan.

Pada tahun 2013, perdagangan di Eurasia mencapai US $ 1,8 triliun dan naik lebih lebih dari dua kali lipat hingga saat ini.

Menurut laporan oleh bank multinasional Belanda, ING tahun lalu, perdagangan antara Asia dan Eropa --tidak termasuk perdagangan antarnegara-negara UE– menyumbang 28 persen dari perdagangan dunia.

Beijing secara konsisten menyangkal telah menggunakan BRI sebagai kendaraan untuk mendapatkan pengaruh politik dan membuat “perangkap utang" karena seluruh negara yang akan dilalui BRI ini memiliki peluang berkembang yang sama.

“Kami tidak memberi utang, tetapi menjanjikan terjadinya transaksi perdagangan yang besar, tidak hanya dengan China, tetapi juga dengan ratusan negara lain, terutama dengan tetangga Anda sendiri” kata Menlu China.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved