Penyebab Awan Topi di Gunung Rinjani, Terlihat Indah Tapi Bahaya bagi Pendaki Gunung

Fenomena awan topi di Gunung Rinjani sedang viral di media sosial, Rabu (17/7/2019), simak penjelasan ahli astronomi.

Facebook Lilik Sukmana
Fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok , Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019) 

TRIBUNBATAM.id - Fenomena awan topi di Gunung Rinjani sedang viral di media sosial, Rabu (17/7/2019), simak penjelasan ahli astronomi.

Fenomena awan topi melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Sebuah video dan foto juga terlihat dibagikan di media sosial dan menjadi viral.

Dikutip dari sebuah akun Facebook bernama Lilik Sukmana membagikan video dan foto fenomena tersebut.
Ia sembari menulis keterangan bahwa awan tersebut memiliki bentuk yang berubah-ubah dan semakin melebar.

Disebutkannya juga ia mengambil foto dari depan rumahnya.

 "Penomena awan menutupi gunung rinjani pagi ini.. bentuknya berubah2 semakin besar
Langsung di foto dr depan rumah.

Sungguh indah ciptaan Tuhan," tulis Lilik Sukmana

Berikut foto yang ia bagikan.

Sebuah fenomena awan berbentuk topi terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebuah fenomena awan berbentuk topi terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Faceloob Lilik Sukmana)
Sebuah fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019)
Sebuah fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019) (Facebook Lilik Sukmana)
Sebuah fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019)
Sebuah fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019) (Facebook Lilik Sukmana)

Unggahan ini jug atelah dibagikan oleh pengguna lainnya sebanyak 3 ribu kali.

Banyak pula yang memberikan komentarnya terkait fenomena ini.

Ada yang menyangkut pautkan dengan indikasi pertanda fenomena alam lain.

Namun ada juga yang memberikan penjelasan.

"Itu namanya cap cloud, lumrah kok ga ada kaitannya bencana. Mikir positif aja, cr d google buat yg ga paham cap cloud," tulis Ayuw Adhe.

Dikutip dari Tribunnews.com, sebelumnya, Gunung Semeru yang berada di Jawa Timur pada Selasa (11/12/2018), juga pernah mengalami fenomena yang sama.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho lalu juga pernah mengunggah potret keindahan gunung tertinggi di Pulau Jawa itu pada Selasa (11/12/2018).

Dari caption yang ditulis Sutopo diketahui bahwa puncak Semeru tengah diselimuti awan altocumulus lenticularis.

Foto Gunung Semeru, Kabupaten Luamajang, Jawa Timur yang terlihat seperti bertopi yang diunggah akun Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo.
Foto Gunung Semeru, Kabupaten Luamajang, Jawa Timur yang terlihat seperti bertopi yang diunggah akun Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo. (Twitter Sutopo)

 

Awan topi atau Cap Cloud ini merupakan jenis stratus (tumbuhnya menyamping), yang melayang di atas atau puncak gunung dan terpisah.

Pembentukan awan ini terjadi akibat pendinginan dan kondensasi udara lembab yang dipaksakan naik ke atas karena orografi atau ada gunung dan di atas puncak gunung.

Bentuk lenticular (cekung-cembung) nya dibentuk oleh angin lapisan atas pada arah horizontal.

Meski indah, namun fenomena alam ini justru berbahaya bagi para pendaki gunung.

Turbulensi atau pusaran angin yang membentuk awan tersebut menyebabkan suhu di puncak gunung menjadi sangat dingin.

Hal ini berbahaya bagi para pendaki karena dapat menyebabkan hypothermia, yang mana ini adalah mekanisme tubuh kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin.

Gejala hypothermia ringan ditandai dengan penderita berbicara melantur, detak jantung melemah, tekanan darah menurun, dan terjadi kontraksi otot sebagai usaha tubuh untuk menghasilkan panas.

Pada penderita hypothermia moderat, detak jantung dan respirasi melemah hingga hanya 3-4 kali bernapas dalam satu menit.

Sementara itu, jika telah parah, penderita tidak sadar diri, badan menjadi sangat kaku, pernapasan sangat lambat hingga kehilangan panas tubuh.

Tak hanya di Gunung Semeru, netizen juga sempat dihebohkan dengan penampakan awan tersebut di atas Gunung Lawu Magetan,  Jawa Timur, Jumat (8/3/2019).

Beberapa netizen pun mengunggah foto kondisi awan di puncak Gunung Lawu, Magetan di media sosial.

Tampak dalam foto itu, awan tersebut seperti melingkar dan membentuk topi di Puncak Gunung lawu.

Berikut foto-foto yang diunggah netizen :

Penjelasan ahli

Dalam dunia astronomi, fenomena seperti ini disebut awan lentikular.

"Itu awan lentikular, awan berbentuk lensa. Awan lentikular terbentuk akibat aliran naik udara hangat yang membawa uap air mengalami pusaran. Itu sering terjadi di puncak gunung," ungkap Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (17/7/2019).

Marufin Sudibyo, astronom amatir Indonesia menambahkan, awan yang muncul sekitar pukul 7.00-9.00 WITA ini bersifat statis alias tak bergerak atau selalu menetap di satu tempat.

"Awan ini terbentuk saat aliran udara lembab menubruk suatu penghalang besar sehingga membentuk putaran stasioner," ungkap Marufin, Rabu (17/7/2019).

Ketika putaran stasioner terjadi, awan lentikular dapat bertahan selama beberapa jam hingga berhari-hari.

Fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok , Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019)
Fenomena alam 'cap cloud' terlihat melingkari puncak Gunung Rinjani di Lombok , Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019) (Facebook Lilik Sukmana)

 Meski indah, Marufin berkata awan lentikular sesungguhnnya berbahaya.

"Awan lentikular yang terbentuk di puncak gunung menandakan sedang terjadi pusaran angin laksana badai di sana," ungkap dia.

Hal ini pun memiliki dampak bagi pendaki maupun pesawat yang melintas di atasnya.

Bagi pendaki gunung, hembusan angin saat terjadi awan lentikular bisa mendatangkan momok hipotermia. Sedang untuk pesawat, awan dan pusaran angin bersifat turbulen yang membuat pesawat terguncang hingga bisa kehilangan altitudenya dengan cepat.

Marufin menegaskan awan lentikular tak ada hubungannya dengan aktivitas gunung berapi atau potensi bencana gempa, apalagi tsunami.

"Tak perlu ditafsirkan macam-macam," imbau Marufin.

(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved