Perang Dagang AS vs China Masih Momok, Pelemahan Ekonomi Global Diperkirakan Berlanjut
Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters, Jumat (26/7/2019), 500 ekonom masih khawatir pada memanasnya perang dagang antara AS vs China
TRIBUNBATAM.ID, BENGALURU - Pertumbuhan ekonomi berisiko semakin melambat, meskipun ada ekspektasi pasar yang berencana menurunkan suku bunga atau melonggarkan kebijakan guna mendorong pergerakan ekonomi.
Namun, dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters, Jumat (26/7/2019), sebanyak 500 ekonom masih khawatir pada memanasnya tensi perang dagang antara AS vs China.
Hal ini tercermin dari imbal hasil obligasi negara-negara besar telah anjlok yang disebabkan data ekonomi baru-baru ini.
Sebagian besar menggarisbawahi kekhawatiran terhadap pertumbuhan, yang diperkirakan akan melambat di sebagian besar negara industri yang berkembang.
• Defisit Rp 7 Triliun, Tagihan BPJS Kesehatan Menumpuk, Bahkan Terancam Denda Puluhan Miliar
• Akhir pekan Ini IHSG melorot 1,19% ke 6.325, Ini Sentimen Pemicunya
• CATAT! Matahari Kepri Mall Gelar Morning Sale, Minggu (26/7) Beri Diskon hingga 75 Persen
Tetapi pada saat yang sama, pasar saham justru mencatatkan fluktuasi yang positif menyusul adanya perbaikan ekonomi yang disebabkan kebijakan moneter yang lebih mudah.
Pesimisme pasar juga meningkat, tercermin dari pengambilan suara Reuters terbaru yang diambil 1-24 Juli 2019.
Hasilnya, hampir 90% dari 45 sektor ekonomi yang disurvei mengalami penurunan atau flat (tidak berubah). Bukan hanya di tahun ini saja, proyeksi tersebut juga diperkirakan akan terus berlanjut hingga ke tahun 2020.
“Karena ketidakpastian seputar kebijakan perdagangan tidak terselesaikan, dampak pada prospek pertumbuhan menjadi lebih jelas. Kami memproyeksikan pertumbuhan global terus melambat, dan peningkatan yang berkelanjutan dari sisi risiko resesi,” kata Chetan Ahya, kepala ekonomi global di Morgan Stanley.
Namun, Ahya menjelaskan, pihaknya tetap optimis bahwa siklus pelonggaran kebijakan ekonomi secara makro akan kembali terjadi.
Dengan adanya pergeseran ekonomi oleh dua negara dengan ekonomi terbesar dunia dari perdagangan bebas menuju perang tarif, lebih dari 70% dari sekitar 250 ekonom yang menjawab pertanyaan tambahan mengatakan penurunan ekonomi global yang lebih dalam diperkirakan akan terjadi lebih dari yang diekspektasikan.
Sebelumnya, Presiden ECB Mario Draghi, khawatir inflasi yang berada jauh di bawah target.
Dalam artikel yang dimuat Reuters, Kamis (25/7/2019), Draghi mengatakan, prospek ekonomi saat ini semakin hari semakin memburuk dari prediksi sebelumnya. Akan ada potensi lebih banyak pelonggaran makroprudensial ke depannya.
“Tetapi perlu dipertanyakan apakah pelonggaran moneter benar-benar akan mencapai banyak manfaat. Kami kehabisan opsi moneter dan mungkin pemerintah perlu memikirkan alternatif fiskal mereka," ujar Peter Dixon, ekonom di Commerzbank.
Prediksi IMF
Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya juga mengatakan pertumbuhan ekonomi global saat ini masih lemah.
Dikutip dari laman IMF, pertumbuhan ekonomi global diharapkan mencapai 3,2% di tahun 2019 dan 3,5% di tahun 2020.
Perkiraan tersebut turun 0,1% dari perkiraan bulan April. Bahkan ini tercatat sebagai penurunan peringkat keempat sejak Oktober.
IMF memperingatkan, berlarutnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China dan pro-kontra Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) dapat semakin memperlambat pertumbuhan, melemahkan investasi, dan mengganggu rantai pasokan.
Data ekonomi tahun ini dan pelunakan inflasi menunjukkan pada aktivitas yang lebih lemah dari perkiraan. Dengan ketegangan perang dagang dan meningkatnya tekanan disinflasi menimbulkan risiko di masa depan.
IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan perdagangan global sebesar 0,9 poin persentase menjadi 2,5% pada tahun 2019.
Perdagangan harus pulih dan tumbuh sebesar 3,7% pada tahun 2020, sekitar 0,2 poin lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya.
Namun pertumbuhan volume perdagangan turun menjadi sekitar 0,5% pada kuartal pertama, paling lambat sejak 2012 dengan perlambatan terutama memukul negara-negara Asia yang sedang berkembang.
Volume perdagangan global turun 2,3% antara Oktober dan April, penurunan enam bulan paling tajam sejak 2009, ketika dunia berada di tengah-tengah Resesi Hebat, menurut perkiraan Biro Analisis Kebijakan Ekonomi Belanda (CPB).
Kepala ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan ekonomi global berada di "persimpangan yang rapuh". Negara-negara harus menahan diri untuk tidak mengenakan tarif untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan bilateral atau untuk menyelesaikan ketidaksepakatan internasional.
"Risiko penurunan utama terhadap prospek tetap eskalasi ketegangan perdagangan dan teknologi yang dapat secara signifikan mengganggu rantai pasokan global," katanya.
Risiko signifikan lainnya termasuk perlambatan kejutan di Tiongkok, kurangnya pemulihan di kawasan zona euro, Brexit yang tidak ada kesepakatan dan meningkatnya ketegangan geopolitik.
Lambat Hingga 2020
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pertumbuhan ekonomi global tahun ini jelas masih lemah. Bahkan hingga tahun depan masih dalam tren slow down.
"Memang perang dagang ini salah satu faktor yang besar. Negara jadi mengurangi perdagangan. Bukan hanya ke Amerika dan Cina, tetapi ke negara-negara lain. Mereka jadi lebih protektif. Hal itu yang menyebabkan perekonomian dunia lesu," kata Faisal pada Rabu (24/7).
Selain perang dagang, hal lain yang mempengaruhi lesunya pertumbuhan ekonomi adalah kondisi geo politik.
Faisal menyoroti perihal harga minyak. Bila harga minyak meroket, tentu ini akan menahan pertumbuhan negara-negara karena kebanyakan negara adalah net importir, bukan net eksportir.
Harga minyak tersebut dipengaruhi oleh konsolidasi politik. Ia mencontohkan embargo Amerika terhadap Iran dan juga kebijakan negara-negara OPEC untuk mengurangi produksinya.
Lesunya pertumbuhan ekonomi global ini juga dinilai berdampak besar bagi Indonesia. Apalagi saat ini ekonomi Indonesia sudah lebih terbuka.
Namun, Indonesia dinilai masih relatif aman daripada negara-negara lain yang lebih kecil. Hal ini disebabkan kekuatan ekonomi dalam negeri Indonesia lebih besar dan masih cenderung aman.
"Kalau Indonesia ingin bertahan di situasi global yang sedang memprihatinkan saat ini, Indonesia harus terus memperkuat ekonomi domestik terlebih dahulu," ujar Faisal.
Ekonomi domestik dapat diperkuat dengan menggairahkan insentif fiskal dan pelonggaran moneter, terkait penurunan suku bunga untuk menumbuhkan sektor di dalamnya.