Cerita Istri Penyuap Gubernur Kepri
Agar Tak Difitnah, Istri Tersangka Penyuap Gubernur Kepri Ajak Ayah ke KPK
Hampir 17 jam di Jakarta, Ria dan ayahnya hanya datang untuk menangis, bingung, dan nyaris kelaparan.
Niat ke KPK, Istri dan Mertua Nginap di Lobi Bandara
BATAM.ID, TRIBUN -- “Hampir 17 jam di Jakarta, Ria dan ayahnya hanya datang untuk menangis, bingung, dan nyaris kelaparan. Niat bertemu ayah dari dua anaknya, hingga hari ke-21 ini, tak kunjung tercapai. “
Daerah terjauh mana Anda pernah kunjungi?
Suriana binti Laama (32), istri Abubakar, —tersangka ‘penyuap’ Gubernur (non -aktif) Kepulauan Riau Dr H Nurdin Basirun Msi—, menjawab; “Batu Aji, Batam”.
Batu Aji adalah kawasan industri terpadat di Kota Batam. Sejak 10 tahun lalu, kakak iparnya, Salmiah (43), ikut suaminya yang jadi buruh pabrik.
Sejak 1990-an, Batu Aji dikenal sebagai pemukiman “buruh PT-PT”, perusahaan ship yard, galangan kapal terbesar di Indonesia.

Adik iparnya, Yuyun, sejak 4 tahun terakhir juga menetap di Batu Aji.
Di dua daerah industri itulah, Ria sering diajak suaminya ‘liburan”, meninggalkan sejenak ‘rutinitas kampung nelayan di Pulau Panjang.
Selain ke Batu Aji atau Tanjung Umah, Ria tak pernah meninggalkan pulau kelahirannnya.
• Istri Abu Bakar Tahu Suaminya Suap Gubernur Kepri Nurdin Basirun dan Ditahan KPK dari YouTube
Ria mengenang, terakhir dia diajak suaminya ke Batam, sepekan menjelang Lebaran 1440 H, akhir Mei 2019 lalu.
“Abang Abu, ngantar kami ke SP (mal) Batu Aji, beli baju Lebaran untuk anak-anak, sekaligus beli sepeda baru untuk Bilal. Setelah itu, ndak pernah lagi, sampai saya ke Jakarta, pekan lalu sama Bapak,”
Ria adalah anak nelayan. Dia menikah dengan nelayan Abu Bakar, 12 tahun lalu.
Abu adalah putra nelayan Pulau Panjang, Kasim, dan ibunya Norijah.
Hampir seluruh hidupmya dihabiskan di pulau berpenduduk 890 jiwa itu.

Pulau Panjang, berjarak sekitar 25 menit perjalanan dari Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang, di sisi tenggara Kota Batam. “98% penduduknya nelayan, hanya guru, dan bidan yang bukan nelayan.” kata Suhadah, Ketua RW 002, Pulau Panjang.
Ayah Ria. Laama , bukan warga Pulau Panjang. Dia adalah pelaut kelahiran Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Binongko itu satu dari empat pulau karang di gugusan Pulau Tukang Besi, di Laut Banda.
Bersama seorang teman dari Binongko, Laama ‘terdampar’ di Pulau Panjang, perairan Selat Malaka, sekitar tahun 1982. Mereka adalah pelaut, pembawa kayu bulat dan kayu hitan dari Buton, yang dijual ke Singapura dan Johor, dekade 1970-an.
“Dulu, setelah berlayar 1 bulan 7 hari, layar kapal kami patah, ya sudah tinggal di sini saja. 7 tahun lalu, teman saya sudah meninggal, sekarang tinggal saya yang hidup.” kata La Ama.
La Ama lalu menikahi wanita pulau Panjang, yang masih bibi dari Abu Bakar.
“Bapaknya Ria itu, kawin sama adik saya, kakak ibunya Si Abu,” ujar Awang (73 tahun), paman Abu Bakar, kepada Tribun, Minggu (28/7/2019).
Ditemani ayahnya, tanggal 24 Juli 2019 lalu, Ria nekat naik pesawat ke Jakarta.
Dua hari setelah menerima surat berlogo KPK, 22 Juli 2019, Ria nekat terbang ke Jakarta.
Tujuannya menemui suaminya, yang sudah hampir dua pekan, diterungku KPK di Tahanan Guntur, Gedung ‘Merah Putih’ Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Berbekal selembar surat beramplop kuning, Ria dan ayahnya terbang ke Jakarta, kota yang hanya dia tonton di TV, dalam 3 dekade terakhir.

“Saya tak pernah naik pesawat, paling jauh ke Batu Aji, naik (perahu mesin tempel) Pompong lalu naik mobil. Di pesawat saya muntahlah, mencret, menangsis, dan berkeringat..” kata Ria.
Untuk terbang ke Jakarta, Ria menguras uang tabungan di bawa kasurnya. Dia juga meminjam uang arisan mingguan, tetangganya.
Belum cukup, dia lalu mendapat bantuan dari dua saudara, dua adik ipar, dan tetangga. “Urun-urunanlah Pak, tiga hari akhirnya cukup untuk tiket PP,”
Guna menghindari fitnah, Ria mengajak sang ayah.
Alasannya, tahun 2007 lalu, ayahnya pernah pulang ke tanah kelahirannya di Binongko, dengan kapal Pelni dari Pelabuhan Punggur, ke Buton.
“Saya lupa pakai pesawat apa, tapi warnanya merah, ada gambar singa, seperti di Singapura itu,” jawab La Ama, perihal maskapai yang membawanya dari Bandara Hang Nadim ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Bermodal alamat KPK di surat “Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: B/401/ DIK.00/23/07/2019, dan uang pas-pasan, Nurdin dan anaknya, ternyata tak berani ke Kuningan.
“Sampai siang, kami lihat bis banyak, ada taksi, tapi tak tahu mau kemana. Kami juga takut, bertanya ke polisi, karena bawa surat KPK, nanti ditangkap pula,” ujar Laama, menceritakan kebingungannya di terminal I Bandara Soetta.

Menjelang magrib, keberanian tak kunjung datang. Uang di tas anaknaya sisa, empat lembar uang merah.
“Saya menangis terus di kursi bandara. mau makan, harganya mahal. Bapak peluk saya terus.. sampai tidur di dekat pintu masuk itu.” ujar Ria.
Keesokan harinya, mereka memutuskan kembali ke Pulau Panjang.
Hampir 17 jam di Jakarta, Ria dan ayahnya hanya datang untuk menangis, bingung, dan nyaris kelaparan.
Niat bertemu ayah dari dua anaknya, hingga hari ke-21 ini, tak kunjung tercapai. (zabur anjasfianto/zil)