WAWANCARA EKSKLUSIF
Juru Bicara KPK Febri Diansyah: Saya Belum Cukup Umur Ikut Capim KPK
Juru Bicara KPK Febri Diansyah ternyata punya alasan untuk tidak ikut daftar sebagai calon pimpinan KPK, simak wawancara eksklusifnya di sini.
Febri mengatakan, dirinya tidak pernah bosan menjadi bagian dari upaya untuk melibas para koruptor di Indonesia
SEMANGAT pemberantasan korupsi di Indonesia terus dibangun dan dipekuat di semua lapisan elemen masyarakat.
Dalam perjalanan bangsa ini, tiga Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diterbitkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi.
Pertama Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Kedua Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disahkan di Jakarta 16 Agustus 1999 oleh Presiden RI Prof Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie).
Dua tahun kemudian tepat pada 21 Nopember 2001, Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yang disahkan Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada masa itu. Sampai saat ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 yang digunakan untuk menjerat para koruptor.
• KPK Kembali Periksa Juniarto Ajudan Gubernur Kepri Nurdin Basirun, Punya Rumah Mewah Rp 2 Miliar
• Giliran Bobby Jayanto yang Diperiksa KPK Terkait Kasus Reklamasi Gubernur Kepri Nurdin Basirun
Kemudian, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di mata dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yang banyak kasus korupsinya.
Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) RI mencatat, sejak KPK dibentuk sebanyak 112 kepala daerah di Indonesia masuk ke penjara karena terbukti korupsi.
Termasuk dari Kepri. Semua anak bangsa kini bersatu untuk memerangi korupsi ini. Termasuk pria asal Sumatra Barat Febri Diansyah.
Yang sekarang menjabat sebagai Juru bicara atau Jubir KPK.
Febri mengatakan, dirinya tidak pernah bosan menjadi bagian dari upaya untuk melibas para koruptor.
Kendati, pada penjaringan calon pimpinan (capim) KPK yang sedang berlangsung nama Febri tidak ada.
Apa alasan Febri tidak ikut daftar sebagai calon pimpinan KPK? Berikut kutipan wawancara eksklusif dengan Febri Diansyah.
Selamat siang pak, apa kabar? Bagaimana kesehatan bapak saat ini apakah masih tegar menjadi bagian dari melibas para koruptor?
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat siang dan salam sejahtera. Kesehatan tetap sehat. Kesehatan adalah nomor satu. Kalau orang sehat berarti berpikirnya juga sehat. Tentu semangat ini (melibas koruptor) sudah sejak dahulu. Juga dulunya saya sebelum ke KPK, saya dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Yang tentu konsen terhadap isu korupsi.
Sejak 6 Desember 2016 lalu, bapak terpilih menjadi Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Biro Humas) Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang lebih dikenal sebagai Juru Bicara. Apa suka duka dalam menjalani pekerjaan ini?
Suka duka dalam sebuah pekerjaan pasti. Bukan dijadikan sebagai penghalang menurut kami. Justru menguatkan kita semakin konsen pada apa yang kita kerjakan.
Menjadi bagian dari KPK apakah tidak terlalu beresiko? Seperti kita ketahui yang sedang terjadi saat ini adalah teror kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan. Berupa penyiraman air keras di muka dan Novel terluka pada saat itu.
Ya, semua tugas pasti ada resikonya . Apakah mau jadi penyidik, mau jadi sebagai juru bicara, sebagai pimpinan, sebagai jurnalis, bahkan masyarakat sipil yang melaporkan korupsi juga ada. Menurut kami adalah, resiko-resiko ya, itu bagian saja yang kita jalanani dalam pelaksanaan tangggung jawab ini
Selama bertugas, apakah pernah ada terror kepada bapak?
Agak kurang apa ya kalau membicarakan soal teror-teror itu. di Negara hukum yang berjalan saat ini. Jadi, kalau pun ada misalnya dalam kondisi tertentu, itu lebih kami bahas secara internal saja resiko-resikonya. Tidak untuk di luar.
Seperti yang kita ketahui saat ini, KPK sedang melakukan penjaringan capim. Sosok Febri Diansyah banyak yang mengatakan cocok bagian dari itu. Soal kapabilitas, dan pengetahuan tentang melawan korupsi sudah sejak dulu ada basic-nya. Lalu kenapa tidak mendaftar menjadi capim?
Belum cukup umur, hehehehe, kan syarat salah satunya adalah, capim minimal berumur 40 tahun.
Berarti Anda saat ini belum genap umur 40 tahun? Atau kami konfirmasi kembali anda lahir pada 8 Februari 1983 atau masih 36 tahun?
Ya kira-kira begitu. Uban di kepala ini kan hanya sebagai warna-warni, hehehehe….
Baik, menurut Anda apa kasus korupsi yang menyita perhatian publik selama KPK ada?
Sebenarnya banyak. Salah satunya adalah kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Makanya KPK juga konsen, kerugian negara juga sangat besar. Tapi kita juga perlu ingat kasus-kasus korupsi di daerah itu. Meski pun dilihat dari Jakarta nilainya tidak begitu signifikan. Tapi kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah itu efeknya jauh lebih berbahaya untuk masyarakat setempat di sana.
Bagaimana perluasan penanganan korupsi di Kepri saat ini? Atau strategi apa yang dilakukan sehingga terjadi pencegahaan sebelum penindakan kepada pelaku?
Perluasan penanganan korupsi, kalau penanganan korupsi itu sebenarnya tidak melihat wilayah. Tapi dari laporan masyarak. Lalu dari laporan ini ada bukti-bukti yang cukup tentu kami tangani. Apakah di Aceh, di Papua, sumatrea, Kalimantan, Sulawesi,atau dimana pun.
Sampai saat ini berapa jumlah koruptor kepala daerah yang ditangkap KPK RI?
Ada 112 kepala daerah. Ya sejak KPK ada. Ya termasuk dari Kepri. Tapi belum lagi pejabat lain, dan swasta. Jumlah nya banyak.
Baru-baru ini, Gubernur Kepri (non aktif) Nurdin Basirun bersama tiga lainnya tangkap KPK dalam operasi tangka tangan (OTT). Apakah dalam kasus ini, selain suap reklamsi apakah ada indikasi jual beli jabatan?
Tepatnya kami menelusuri sumber uang gratifikasinya. Karena dari identifikasi awal itu, ada yang terkait dengan perizinan ada yang terkait dengan setoran dari OPD (organisasi perangkat daerah). Kami sedang mendalami apakah setoran itu terkait dengan jabatan atau hal lain. Tentu ini kami dalami. Yang agak berbahaya adalah, kalau setoran itu berasal dari pungutan liar pelayanan publik dari masyarakat. (tribunbatam.id/leo halawa)