Atiatul Muqtadir, Ketua BEM UGM Sebut "Tunda itu Bahasa Politisi" di ILC, Begini Respon Haris Azhar

Ditengah demo mahasiswa, ILC menghadirkan perwakilan mahasiswa dari Universitas ternama. Ini ungkapan tegas M Atiatul Muqtadir yang viral.

Youtube
ILC 

Tribun Batam.id - Penolakan RKUHP yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa Indonesia memunculkan semangat dan para pejuang baru.

Bagaimana tidak, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dirumuskan oleh DPR dianggap 'memperkosa' rakyat.

Setelah tidak ada tindakan lebih lanjut dari para anggota legislatif yang katanya 'mewakili rakyat' , Mahasiswa Indonesia geram ketika aspirasinya tidak didengar, bahkan hanya dijadikan angin lalu.

Ditengah demo mahasiswa dari seluruh mahasiswa di Indonesia kemarin (25/9/2019), program ILC yang dipandu oleh Karni Ilyas, menghadirkan perwakilan mahasiswa dari sejumlah Universitas ternama yang ada di Indonesia.

Mereka adalah M Atiatul Muqtadir (Ketua BEM UGM),  Manik Marganamahendra (Ketua BEM UI),  Royyan A. Dzakiy (Ketua BEM ITB) ,  danDinno Ardiansyah (Presiden Mahasiswa Trisakti).

Presenter Karni Ilyas menanyakan kepada perwakilan mahasiswa yang meminta pembatalan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidanan (RKUHP).
Presenter Karni Ilyas menanyakan kepada perwakilan mahasiswa yang meminta pembatalan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidanan (RKUHP). (Capture YouTube Indonesia Lawyers Club)

Viral Video KPK Briefing Mahasiswa Sebelum Berunjuk Rasa, Ini Tanggapan KPK

Tampil di ILC, Ini Jawaban Ketua BEM UI soal RKUHP, Karni Ilyas Tanya: Kalian Sudah Pelajari Belum?

Sosok Ketua BEM UI yang Viral Karena Sebut Dewan Pengkhianat Rakyat di Depan Anggota DPR

 

Penampilan mereka di Indonesia Lawyers Cup pun sontak menjadi sorotan bagi khalayak.

Bahkan, pernyataan M Atiatul Muqtadir atau Fatur ini sontak jadi trending topic di Twitter sejak Selasa malam, bahkan masih bertahan hingga pagi ini (25/9/2019).

Membuka perkenalan dengan ucapan salam dari seluruh agama di Indonesia, Fatur menyampaikan aspirasi secara tenang dan lugas, begini pernyataan Ketua BEM UGM perihal demo mahasiswa.

Fatur Ketua BEM UGM
Fatur Ketua BEM UGM (Youtube)

Fatur, Ketua BEM UGM, menjelaskan keinginan mahasiswa agar DPR bukan hanya menunda pembahasan sejumlah RUU yang kontroversial, tapi juga melibatkan akademisi dan masyarakat.

"Tunda itu kan bahasa politisnya, saat paripurna itu adanya tolak atau terima, enggak ada tunda. Jadi kalau kita bicara tunda, Apalagi kalau kita baca beritanya, ditunda lalu tiba-tiba ada statement, 'Ya kan kita masih punya masa waktu paripurna sampai 30 September.' Loh, padahal mahasiswa bukan pengin ditunda, mahasiswa pengen tolak, kemudian bukan hanya tolak Bung Karni poinnya,

Tuntutan kami yang sampai hari ini tidak mau ditemui oleh DPR yang terhormat itu bukan hanya sekedar menunda, tapi dibahas ulang melibatkan akademisi, melibatkan masyarakat, sehingga kenapa kita demo lagi demo lagi, karena kami tidak ingin perjalanan demokrasi ini menghasilkan hukum yang represif, jadi hukum yang dibentuk kalau bahasanya splendid situation, padahal kan harusnya responsif" kata Fatur.

Fatur juga menambahkan bahwa poin yang termasuk dalam responsif sendiri adalah partisipatif, aspiratif , dan yang ketiga itu presisi. 

Ia juga menambahkan bahwa poin-poin dalam RKUHP seperti makar, penghinaan presiden, dan living law,  sifatnya karet karena ditafsir Pemerintah, sehingga bisa mengkriminalisasi orang-orang yang tidak suka dengan Pemerintah,rakyat yang berbeda pandangannya dengan Pemerintah.

Kejanggalan RUU yang Tergesa-gesa

Dia juga mempertanyakan alasan di balik pembahasan RUU yang terkesan tergesa-gesa ini.

"RUU yang dibahas secara tergesa-gesa, dikebut di akhir periode ini adalah sebuah kejanggalan. Dan dalam membaca kejanggalan itu, hanya ada dua alasan. Pertama ketidaktahuan atau bahasa halusnya kebodohan atau ada kepentingan. Pertanyaannya, ini apa sih kepentingan dari anggota dewan dan elit politik hari ini?"

Seringkali menyebut DPR sebagai Dewan yang terhormat, Fatur memberikan sindiran terhadap kepentingan anggota DPR secara elegan.

Walikota Merangkap Kepala BP Batam, Tugas Wakil Walikota Bakal Bertambah? Ini Kata Amsakar

 

Apa Kabar Indonesia?

Ia juga menyampaikan bahwa tindakan yang dilakukan mahasiswa Indonesia ini, harus ditindak lanjuti, jangan dianggap sebagai hal yang biasa, karena mahasiswa marah, mahasiswa geram, mahasiswa merasa negara ini sedang tidak baik-baik saja.

"Itu adalah kegelisahan publik, bahwasanya hari ini negara kita tidak baik-baik saja dan tidak dikelola dengan prinsip-prinsip yang demokratis," ujar Ketua BEM UGM tersebut.

Demo Mahasiswa Tidak Diprovokatori Oleh Pihak Manapun

Menteri Yasonna mengklaim punya bukti bahwa aksi mahasiswa di sejumlah daerah ditunggangi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. 

Ketua BEM UGM, Atiatul Muqtadir, dengan tegas membantah hal tersebut.

"Pemerintah sering sekali melihat pola-pola, gerakan, bahwasanya ketika muncul, ramai, tidak normal gerakannya. Dituduh ditunggangi dan sebagainya. Saya ingin katakan, gerakan kita independen dan kenapa sih tidak melihat gelombang-gelombang massa yang besar ini bukan gerakan yang enggak normal, tapi mungkin ini cara menjalankan pemerintahannya yang enggak normal," tegas pria yang akrab disapa Fathur tersebut.

Ketua BEM UI, Manik Marganamahendra juga menambahkan, "Saya rasa publik bisa menilai, mana gerakan massa yang organik, mana gerakan massa yang diarahkan dengan uang."

Haris Azhar Setuju Dengan Kejanggalan RKUHP

Setuju dengan ungkapan dan aspirasi para mahasiswa, Haris Azhar ungkap bahwa KUHP disampaikan dengan cara memaksa rakyat.

"KUHP diambil dari pikiran yang luar biasa, romawi kejam keras. Nah saya merasakan romawi hari ini, memaksakan KUHP dengan cara pemaksaan, mahasiswa disiram gas air mata "  ungkap Haris dalam ILC (25/9/2019)

Ia juga menanyakan soal undang-undang perlindungan masyarakat yang justru tidak diaplikasikan dalam RKUP.

"Mana pa menteri RUU pelindungan masyarakat adatnya mana?"

Haris menganggap, negara seolah menjadi penguasa yang sangat penting untuk memberi hukuman di segala sistem norma yang berlaku di masyarakat.

Padahal ada beberapa norma yang hukumannya ada di dalam hati nurani dan sistem masyarakat masing-masing.

"Bicara living law, masyarakat punya sistem sanksi sosial, punya punishment di dalam logika mereka, jadi tidak perlu menggunakan KUHP, penghukuman sudah terjadi "

Ia juga mempertanyakan soal praktik penghukuman dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut.

"Lalu kenapa negara tiba-tiba paling penting dan paling berharga untuk bisa menghukum? Praktiknya bagaimana?" Haris menegaskan

Mengutip dari World Justice Project, Haris ungkap akses keadilan di Indonesia tidak lebih dari 15 persen.

"Karena ketika orang diadili, mereka dijadikan domba di Pengadilan. Saya tanya pengacara-pengacara disini, ketika membela dibayar kan? lalu siapa yang akan membela mereka dengan pidana-pidana seperti itu?"

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved