Perang Dagang AS vs China Makin Meruncing, Gaya Trump untuk Tekan Pesaing di Pilpres 2020
Perang dagang AS vs China belum ada tanda-tanda akan berakhir, bahkan disinyalir makin meruncing.
TRIBUNBATAM.id - Perang dagang AS vs China belum ada tanda-tanda akan berakhir, bahkan disinyalir makin meruncing.
Terbaru, China mulai mengurangi pembicaraan tingkat tinggi di Washington untuk mengatasi perang dagang AS vs China, Kamis (10/10/2019).
Wakil Perdana Menteri Liu He sekali lagi memimpin delegasi China ke Washington untuk pembicaraan pada hari Kamis dan Jumat sepertinya sudah patah arang dengan tidak jelasnya komitmen Washington dalam menyelesaikan perang dagang AS vs China yang sudah berlangsung 15 bulan.
Apalagi, dua hari menjelang pertemuan, tiba-tiba Donald Trump mengeluarkan jurus yang seakan menekan China, memblack-list delapan perusahaan startup China dan 20 lembaga publik dengan alasan yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah perdagangan, yakni pelanggaran HAM terhadap muslim Uygur di Provinsi Xinjiang.
Spekulasi berkembang bahwa Trump sebenarnya ingin menekan China untuk menyelidiki bisnis lawan politiknya pada Pilpres 2020 nanti, yakni Joe Biden.
Sebelumnya, Trump diselidiki untuk kemungkinan impeachment karena berusaha meminta bantuan Ukraina untuk menyelidiki bisnis migas putra Joe Biden, Hunter.
Trump pekan lalu secara terus terang mengakui percakapannya dengan Presiden Ukraina terkait Joe Biden dan berharap China juga melakukan hal yang sama.
Caranya pun hampir mirip. Sehari sebelum pembicaraan telepon Trump dengan Presiden terpilih Ukraina Volodymyr Zelensky, AS menghentikan bantuan militer senilai US$ 500 miliar.
Untuk semakin memperumit situasi, Trump telah secara terbuka meminta Beijing menyelidiki bisnis mantan wakil presiden Barack Obama tersebut.
"Khusus untuk pihak AS, politik dalam negeri mempersulit pembicaraan perdagangan untuk benar-benar kebal dari masalah lain, yakni politik," kata Louis Kuijs, kepala Ekonomi Asia di Oxford Economics.
Alhasil, pertemuan Kamis dan Jumat nanti sepertinya bakal rumit, bahkan South China Morning Post, mengutip sumber dari delegasi China mengatakan bahwa Beijing tidak membawa optimisme dalam membawa penyelesaian perang dagan AS vs China.
“Rencana awal, delegasi China meninggalkan Washington pada tanggal 12 Oktober, tetapi kemungkinan mereka akan pulang pada tanggal 11," kata sumber tersebut.
Pada Mei lalu, AS menyalahkan China karena mengingkari janji-janjinya pada menit terakhir, sementara Beijing menuduh Washington berusaha melanggar kedaulatan ekonomi Tiongkok.
Taoran Notes, akun media sosial yang berafiliasi dengan Economic Daily yang digunakan Beijing untuk mengelola ekspektasi publik awal pekan ini masih mengungkapkan optimisme tentang pembicaraan perdagangan.
Tetapi pada hari Selasa, ia menulis bahwa kemungkinan hasil dari pembicaraan itu adalah kelanjutan dari "berbicara sambil bertempur".
Taoran Notes mengisyaratkan bahwa China siap untuk membalas jika AS melanjutkan kenaikan tarif yang direncanakan mulai berlaku minggu depan.
AS dijadwalkan akan meningkatkan tarif produk-produk China senilai US $ 250 miliar dari 25 persen menjadi 30 persen pada Selasa, setelah menunda implementasi dari pekan lalu untuk menghindari bentrok dengan peringatan 70 tahun Republik Rakyat China pada 1 Oktober.
Selain itu, AS mengancam akan mengenakan tarif 15 persen pada barang-barang konsumsi buatan China senilai 160 miliar dolar AS pada 15 Desember, setelah 15 persen retribusi barang-barang senilai US $ 115 miliar mulai berlaku pada 1 September.
Kuijs mengatakan bahwa AS mungkin akan melanjutkan rencana tarif pada 15 Oktober, yang akan memicu "beberapa pembalasan" dari China, meskipun ia masih mengharapkan kedua negara untuk mencapai kesepakatan kecil untuk membatalkan tarif Desember.
China sendiri secara resmi menuntut agar AS menarik semua tarif tersebut yang sekarang mencakup hampir semua ekspor dari China.
China terus menempatkan pesanan baru untuk produk pertanian AS seperti kedelai dan babi sebelum perundingan untuk membuka jalan bagi kemungkinan Washington melunak.
Tetapi, langkah Trump memang selalu sulit diduga. Di awal Oktober, Trump sama sekali tidak menyentil masalah Hong Kong, namun pada Senin kemarin menyebutkan bahwa kerusuhan Hong Kong akan menjadi penghalang untuk pembicaraan kedua negara.
"Kami sudah sejauh ini. Kami baik-baik saja. Saya lebih suka masalah besar dan saya pikir itulah tujuan kami, "kata Trump, Senin.
Shen Jianguang, seorang pengamat ekonomi Tiongkok dan sekarang kepala ekonom di JD Digit mengatakan masih ada peluang di Washington untuk menghasilkan gencatan senjata.
Namun masalahnya, semua menjadi rumit ketika ada hukuman baru dari Departemen Perdagangan AS terhadap 28 lembaga yang di-black list.
Delapan perusahaan yang masuk daftar hitam itu itu dilarang membeli komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah AS.
Hal ini berpotensi melumpuhkan produksi mereka.
Hikvision, perusahaan China dengan nilai kapitalisasi sekitar US$ 42 miliar, mengklaim sebagai produsen peralatan video pengawas (CCTV) terbesar di dunia.
SenseTime adalah salah satu unicorn AI paling berharga di dunia.
Sementara Megvii, didukung oleh raksasa e-commerce Alibaba, bernilai sekitar US$ 4 miliar dan sedang mempersiapkan IPO untuk menghimpun dana segar US$ 500 juta di Hong Kong.
Perusahaan-perusahaan lain yang masuk dalam daftar hitam antara lain perusahaan pengenalan suara iFlytek Co, Zhejiang Dahua Technology, Xiamen Meiya Pico Information Co dan Yixin Science and Technology Co.
Sebelumnya, AS juga memboikot Huawei Technologies Co Ltd dengan alasan keamanan nasional menjelang pertemuan Presiden Xi Jinping dengan Donald Trump di KTT Osaka, Juni lalu.
Kini, cara yang mirip digunakan lagi untuk menekan China.
Karenanya, tidak heran jika Wakil PM Liu He selaku pemimpin delegasi China tidak mendapat mandat sebagai "utusan khusus" Presiden Xi dalam pertemuan besok.
Hal ini sebagai pertanda bahwa ia tidak mendapat instruksi dari Presiden Xi untuk membuat kesepakatan.
Sepak Terjang Hunter Biden
Hunter Biden, putra Joe Bi9den memang salah satu pemain bisnis utama di China, menddirikan perusahaan ekuitas swasta di negara Tirai Bambu itu.
Jonathan Li Xiangsheng, kepala eksekutif Perusahaan Manajemen Dana Investasi Ekuitas BHR menolak menjelaskan sepak terjang Hunter di China.
Namun yang jelas, ayah dan anak itu memang pernah datang ke China pada tahun 2013 lalu.
Sistem Publisitas Informasi Kredit Perusahaan Nasional, sebuah database perusahaan yang dikelola pemerintah China menunjukkan bahwa Hunter adalah direktur perusahaan, tetapi situs web perusahaan, ketika masih dapat diakses minggu lalu tidak lagi memuat nama Biden.
Hubungan antara Hunter Biden dan BHR sekarang menjadi pusat kontroversi setelah Presiden AS Donald Trump secara terbuka menyerukan Beijing untuk menyelidiki Hunter Biden.
Ia menuduh bahwa keluarga Biden menggunakan pengaruh ayahnya untuk mendapatkan 1,5 miliar dolar AS dalam pendanaan bisnis di China.
“Ketika putra Biden keluar dari Tiongkok dengan dana US $ 1,5 miliar, dan dana terbesar di dunia tidak dapat memperoleh uang dari China, dan dia ada di sana untuk satu pertemuan singkat dan dia terbang dengan Air Force Two, saya pikir itu hal yang mengerikan, ”kata Trump.
Tidak ada bukti untuk mendukung klaim Trump dan Joe Biden yang sekarang menjadi kandidat presiden Demokrat dalam Pilpres 2020, telah mencemooh tuduhan Trump.
Saran Trump bahwa pemerintah Ukraina harus menyelidiki kegiatan bisnis Hunter Biden di bekas republik Soviet telah memicu penyelidikan impeachment Kongres terhadap Trump.
Pembicaraan telepon pada 25 Juli lalu bocor dan kemudian menjadi amunisi bagi kongres untuk menggulingkan Trump.
Kementerian luar negeri China belum membuat komentar publik tentang permintaan Trump, tetapi analis mengatakan Beijing tidak mungkin menanggapi karena bertentangan dengan kebijakan China yang menyatakan tidak ikut campur dalam urusan internal negara lain.
Tuduhan Trump, bagaimanapun, menyentuh pada isu sensitif dari kesepakatan bisnis antara elit politik AS dan China yang lucunya juga dilakukan oleh keluarga Trump sendiri, keluarga Bush, dan kerabat Sekretaris Transportasi AS Elaine Chao.
Menurut profil New Yorker tentang Hunter yang diterbitkan pada bulan Juli, pada 2012 Li membahas pembentukan dana yang berfokus pada peningkatan investasi China di luar negeri, Hunter Biden dan Devon Archer termasuk di antaranya.
Hingga saat ini memang belum jelas benar apakah Hunter memanfaatkan ayahnya untuk kepentingan bisnisnya.
Namun, tuduhan Trump ini bisa memukul dirinya sendiri, kata pengamat.
Pasalnya, Ivanka juga membangun bisnis fashion di China sementara suaminya, Jared Kushner, juga melakukan hal yang sama di sejumlah negara.(*)