Nadiem Makarim Ubah Aturan Zonasi PPBD dan Hapus UN, Masuk Program Merdeka Belajar
Mendikbud Nadiem Makarim mengubah aturan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
TRIBUNBATAM.id - Mendikbud Nadiem Makarim mengubah aturan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Perubahan zonasi PPDB termasuk dalam program Merdeka Belajar yang dicanangkan Nadiem Makarim.
Selain ubah zonasi PPDB, Nadiem Makarim juga menghapus ujian nasional (UN) mulai tahun depan.
Penghapusan ujian nasional masuk dalam kebijakan baru Nadiem Makarim yang disebut program Merdeka Belajar.
"Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional ( UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi," ujar Nadiem di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).]
"Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia," tutur Nadiem.
Kebijakan baru yang masuk ke program Merdeka Belajar yakni :
- USBN 2020 dilakukan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah.
- Ujian nasional 2020 merupakan UN terakhir
- Pangkas Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
- Perubahan komposisi PPDB zonasi
Penjelasanya yakni:
Pertama, arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN, pada tahun 2020 akan dilakukan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah.
Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan, baik itu tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya.

"Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa," ucap Nadiem.
"Anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran," kata dia.
Kedua, mengenai UN, Nadiem menegaskan tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya.
"Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter," ujar dia.
Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11), sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemudian, hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
"Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS," kata Nadiem.
Ketiga, untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen.
Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP.
Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.
"Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup," kata Nadiem.
Keempat, dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Menurut Nadiem, Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen.
Sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah.
"Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi," ujar Mendikbud.
Kondisi ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang menyatakan 90 Persen siswa baru dari zona terdekat sekolah.
Dengan adanya empat arah kebijakan ini, Nadiem berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan.
"Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru," tuturnya.
Bandingkan dengan Sistem PPDB tahun lalu

Penerimaan siswa baru yang mengacu pada sistem zonasi saat ini banyak diperbincangkan masyarakat luas.
Sistem yang mulai diterapkan sejak Tahun Ajaran 2018//2019 ini banyak menuai pro dan kontra karena dinilai membatasi siswa dengan nilai yang tinggi untuk mendapatkan sekolah favorit.
Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) merancang kebijakan ini untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan meniadakan konsep sekolah favorit. Memasuki tahun kedua penerapan sistem zonasi, inilah ketentuan mendasar yang perlu diketahui masyarakat tentang sistem penerimaan siswa baru ini.
Ketentuan ini berdasarkan Pasal 16 Permendikbud RI No 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.
90 Persen siswa baru dari zona terdekat
Penerapan sistem zonasi menyebabkan calon siswa yang berdomisili jauh dari lokasi sebuah sekolah kehilangan kesempatan untuk bisa terdaftar menjadi salah satu siswa di sekolah tersebut. Hal itu dikarenakan sekolah di bawah pemerintah atau berstatus negeri dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) wajib menerima minimal 90 persen siswa baru yang yang berasal dari di dekat sekolah.
10 persen lainnya
Setelah 90 persen kuota siswa baru didapat dari pendaftar yang berdomisili di sekitar sekolah.
Maka 10 persen sisanya dibuka untuk pendaftar yang berasal dari luar daerah zonasi. Namun, masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi jika mengacu pada pasal 16 ayat (6) Permendikbud 14/2018 ini.
Sebanyak 10 persen siswa dari luar daerah zonasi terbagi menjadi dua kriteria, 5 persen untuk mereka yang berprestasi, 5 persen yang lain diperuntukkan untuk calon peserta didik yang memiliki alasan khusus. Alasan khusus itu misalnya perpindahan domisili orangtua/wali siswa dan terjadi bencana alam/sosial.
Keterangan domisili
Bukti domisili yang digunakan sebagai parameter zonasi nantinya didapat dari alamat yang tertera di Kartu Keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum PPDB dilaksanakan.
Jadi, pendaftar yang tidak memenuhi prasyarat ini tidak dapat digolongkan menjadi calon siswa yang berasal dari daerah zonasi.
Namun pada kenyataannya, peraturan ini membuat sebagian masyarakat berpikir pendek dan memanipulasi data kependudukannya dengan membuat KK palsu yang beralamatkan dekat dengan sekolah. Ketentuan detil zonasi Jarak zonasi yang diterapkan masing-masing sekolah berbeda tergantung pada kesepakatan yang diambil oleh pihak-pihak terkait di masing-masing daerah.
Keputusan pemerintah daerah atau musyawarah para kepala sekolah bisa ditempuh untuk menetapkan jarak zonasi.
Kesepakatan itu diambil dengan didasarkan pada banyak sedikitnya ketersediaan anak usia sekolah dan kapasitas atau daya tampung sekolah di daerah tersebut.
Sementara untuk sekolah yang berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, penetapan jarak zonasi dan persentase zonasi diambil berdasarkan kesepakatan tertulis antarpemerintah daerah yang saling berbatasan.
Jadi dalam menentukan radius zonasi, pemerintah pusat tidak terlibat secara langsung namun menyerahkannya pada masing-masing sekolah untuk dapat menentukan jarak yang dianggap paling ideal untuk kondisi sekolahnya.
Tidak heran jika angka jarak zonasi masing-masing sekolah akan berbeda antara satu dan lainnya.(*)