15 TAHUN TSUNAMI ACEH

Kisah Tsunami Aceh 2004 - Selamat dari Gelombang Tsunami, Bertemu Ular Raksasa di Atas Pohon

Saya dan ibu berpegangan di dalam air dan dibawa arus ke sana-sini. Tiba-tiba hanyut sebatang sebatang pohon besar ke dekat kami

Editor: Mairi Nandarson
SERAMBINEWS.COM/IST
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh saat bencana tsunami terjadi 26 Desember 2004 

TRIBUNBATAM.id, BANDA ACEH - Hari ini, 26 Desember 2019, 15 tahun lalu terjadi bencana tsunami di Aceh.

Ribuan orang meninggal dan kehilangan tempat tinggal karena bencana ini.

Ada banyak kisah yang terjadi saat bencana tsunami ini terjadi. Kisah-kisah itu tertuang dalam sebuah buku berjudul "Tsunami dan Kisah Mereka" yang diterbitkan Badan Arsip Provinsi Aceh tahun 2005.

3 Klub Eropa Incar Saddil Ramdani, Tunda Rencana Gabung Sabah FA di Malaysia?

Jadwal Liga Inggris Boxing Day Malam Ini, Leicester vs Liverpool, Chelsea vs Southampton Live TVRI

Link Live Streaming Gerhana Matahari Cincin Hari Ini, Siaran Langsung dari Akun Resmi BMKG

Satu di antara kisah itu adalah kisah yang dialami Dahawan. Berikut kisahnya:

"Saat gempa terjadi saya berada di rumah bersama keluarga, yaitu ibu Wansari, 45 tahun, adik, Abdul Rapu, 18 tahun, Azwar, 25 tahun, keponakan, Sahibun, 24 tahun, Saidi, 18 tahun, dan dua orang anak kos (Arraniry dan Saman).

Karena getaran gempa terasa sangat kuat kami semua turun dari rumah panggung yang kami tempati.

Saat itu saya dan ibu menuju belakang rumah dan kami berdua duduk bertasbih di atas kayu-kayu.

Di lingkungan sekitar saya melihat tetangga juga duduk duduk seperti kami.

Ekspresi mereka tampaknya semua ketakutan. Sebagian anak-anak ada yang menangis.

Saat sedang terjadi gempa suasana alam terasa sepi, tidak ada suara angin, tidak ada juga terdengar suara binatang.

Setelah gempa selesai kami berkumpul di teras rumah. Beberapa tetangga juga datang ke rumah saya.

Saat itu kami sedang membahas gempa yang baru saja kami rasakan.

Bursa Transfer Liga 1 2020 - Tiga Pemain Timnas Merapat ke Persib Bandung, Dua dari Madura United

Profil 5 Pemain yang Dikabarkan Merapat ke Persib Bandung, 4 Pemain Lokal, Satu Pemain Asing

Saat itu saya bertanya kepada ibu Cut Faridah, tetangga saya, "Bala apa yang akan terjadi" Ibu Cut Faridah mengatakan bahwa jika terjadi gempa pada hari Minggu akan banyak meninggal dunia kaum muda.

Kemudian dia juga berkata bahwa jika gempa terjadi sedahsyat ini kemungkinan air laut akan meluap ke darat.

Tidak lama setelah itu terjadi lagi gempa susulan yang skalanya lebih kecil.

Dalam waktu yang bersamaan terlihat orang-orang berlarian di jalan lingkar kampus.

Orang-orang itu berlari panik sambil meneriaki, "Air laut naik...!, air laut naik...!"

Saat itu saya belum percaya bahwa air laut naik. Beberapa saat kemudian datang adik saya dari kota, Marniah, 27 tahun.

Kebetulan hari itu dia sedang berada di tempat kursus menjahit.

Karena sudah terjadi gempa dia langsung pulang. Dengan ekspresi yang sangat serius dan takut mengabarkan kepada kami bahwa air laut sudah naik.

Kebetulan dia sudah melihat air di laut sedang menuju ke darat saat berada di atas jembatan Lamnyong.

Mendengar berita dari adik saya baru saya yakin dan percaya bahwa memang betul air laut naik.

Saya bergegas mengenakan pakaian mengunci pintu rumah, dan tergesa-gesa meninggalkan rumah karena melihat orang orang sudah pergi meninggalkan rumah.

Tujuan saya waktu itu tidak jelas ke arah mana.

Pokoknya kami harus segera pergi. Saat berjalan dari rumah saya memegang ibu dan sebuah tas berisi ijazah dan dokumen dokumen penting lainnya.

Adik-adik dan anak-anak kos serta keponakan sudah pergi duluan, masing-masing menyelamatkan diri.

Saat dalam keadaan panik tersebut, datang Azwar yang sebelumnya keluar dengan sepeda motor untuk melihat-lihat keadaan, balik dan mengatakan kepada kami agar segera naik ke sepeda motornya.

Ibu dan Marniah dibonceng oleh Azwar, sedangkan saya berlari di belakang mereka.

Baru sekitar lima puluh meter kami beranjak, air yang berwarna sangat hitam sudah tampak dari arah barat, utara, dan timur.

Waktu itu posisi saya dengan air masih sekitar seratus meter. Ketinggian air saat itu masih sekitar satu meter di atas permukaan tanah.

Saya sempat melihat bangunan-bangunan roboh diterjang air itu.

Transfer Liga Inggris - MU Akan Jual 2 Pemain Senior, Marcos Rojo dan Nemanja Matic, Ini Sebabnya

Transfer Liga Inggris - Jose Mourinho Ingin Kembalikan Gareth Bale ke Spurs, Eriksen ke Madrid?

Begitu juga pohon-pohon. Saya mendengar suara air memamah apa saja yang ada di depannya saat mengalir.

Tampaknya, meskipun setinggi 1 meter air tersebut cukup bertenaga. Saat panik itu saya berpikir dunia kiamat.

Saya intruksikan kepada Azwar agar segera memberhentikan sepeda motor, menurunkan ibu dan Marniah.

Setelah Azwar memakirkan adik Marniah berpegangan hendak berlari ke Asrama PGSD.

Berhubung kondisi adik dan ibu sudah sangat lemah, ketakutan, dan trauma, mereka tidak sanggup berlari lagi.

Mereka segera saya angkat ke atas beton setinggi satu setengah meter yang ada di samping lapangan bola dekat Asrama PGSD.

Sementara Azwar saya lihat sudah berada di ujung tiang listrik yang ada di pinggir jalan lingkar kampus. Dia sekitar lima meter dengan tembok.

Saya terus mengawasi posisi air. Sudah sangat dekat, dan semakin dekat, tinggal sekitar sepuluh meter di belakang kami.

Pada saat yang paling kritis itu, ibu berucap, "Bertasbih Nak, dan serahkan diri kepada Allah swt, kita ini lemah, Lahaula walakuata illabillah. Saat kami bertasbih air sudah menghantam kami dari depan dan belakang. Tembok tempat kami berdiri pecah dan roboh. Kami bertiga terangkat ke atas, lalu jatuh ke dalam air, lantas kami terpisah ditelan gelombang.

Saya merasakan langsung digulung-gulung air hitam itu. Saat digulung-gulung air saya sempat menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan.

Sementara tas dokumen tidak terlepas di tangan kiri.

Saat itu saya pasrah kepada Allah swt. Saya berpikir bagaimana sakitnya ditarik nyawa.

Dalam hati terus berzikir kepada Yang Maha Kuasa. Secara fisik saya merasakan kesakitan yang luar biasa oleh hantaman-hantaman kayu, seng, beton, dan sebagainya.

Dalam air itu saya sempat berpikir ke mana ibu dan adik-adik saya yang tadinya bersama saya.

Saya terus berusaha menggapai-menggapai permukaan air yang sangat deras itu. Tiba-tiba saya terpental ke permukaan air.

Saya langsung terlihat ibu di sebelah kanan saya, kira-kira empat meter jaraknya.

Saya dengan cepat meraih tangan ibu, dan berhasil saya pegang ibu. Saat itu ibu juga tidak berpegangan pada apa pun.

Dia sempat mengatakan lagi, "Jangan lupa berzikir kepada Allah swt. Manusia lemah, tidak bisa membantu kita. Hanya Allah swt yang bisa membantu kita".

Posisi saya saat itu di sekitar lapangan bola, kira-kira tujuh puluh lima meter dari tembok tempat saya berdiri semula. 

Berarti saya sudah digulung air sejauh tujuh puluh lima meter dalam waktu kira-kira empat menit bergelut di dalam gulungan air.

Saya dan ibu berpegangan di dalam air dan dibawa arus ke sana-sini. Tiba-tiba hanyut sebatang sebatang pohon besar ke dekat kami.

Pohon itu menabrak kami sehingga kami terpisah. Saya hanyut ke arah timur, sedangkan ibu terbawa arus ke arah barat.

Saya sempat melihat ibu tenggelam di telan arus.

Baru tiga meter saya dibawa arus ke arah timur, terlihat Marniah yang baru muncul dari dalam air Saya raih dan saya pegang erat dia.

Saya dan adik ini terbawa arus ke arah timur.

Kira-kira lima meter sempat berpegangan tiba-tiba kami terganjal dan tersangkut di pagar lapangan bola.

Saat itu datang lagi sebuah gelombang besar. Adik terangkat oleh gelombang tersebut dan terhempas ke sebelah pagar.

Sementara saya tersangkut di sebelahnya. Tidak lama kemudian saya pun terpental ke sebelah pagar itu oleh hempasan gelombang yang datang berikutnya.

Saat saya tersangkut di pagar, datang sebatang pohon menabrak lagi saya.

Saat itu saya terjepit. Agar bisa menolak balok, tas yang berisi dokumern penting terpaksa saya lepaskan. Jam tangan pun saya lepaskan karena tangan terjepit.

Saya dan adik diputar-putar oleh arus yang sangat kencang. Adik diputar dan diseret arus kencang ke arah barat sementara saya diseret arus ke arah timur, ke dekat Masjid Pancasila, Kompleks Asrama Mahasiswa Unsyiah.

Ketinggian air di sekitar itu mencapai dua setengah meter. Saya sempat memegang sebuah balok besar dan dibawa arus ke arah timur melalui arah selatan Masjid Amal Muslim Pancasila.

Saat itu saya melihat ke arah laut. Terlihat rumah, pohon, binatang ternak, mobil, dan anak-anak yang menangis minta tolong di atas permukaan air.

Ada yang hanyut bersama kasur, bersama pohon, dan sebagainya.

Saat itu tidak ada yang bisa membantu. Ada niat untuk membantu orang-orang, tetapi karena air cukup deras tidak ada yang bisa saya bantu.

Dari tempat itu saya terus dibawa arus ke arah selatan.

Sekitar lebih-kurang seratus meter kemudian, saya sudah berada di dekat pohon besar yang terdapat di sekitar gedung peternakan lama atau di belakang Meunasah Dusun Sederhana.

Di tempat itu saya terdesak dan terjepit oleh puing-puing yang sudah cukup banyak berkumpul.

Saat itu, sekitar dua meter di depan saya, terlihat seekor ular, kira-kira besarnya sebesar pohon pinang, dan ular itu sudah membuka lebar mulutnya sedang menuju ke arah saya.

Saat itu saya berkata, "Hai ular, kamu makhluk Allah, saya juga makhluk Allah, kita sama-sama yang ingin menyelamatkan diri".

Akhirnya ular itu berpaling dan menuju ke arah lain.

Beberapa saat berada di tempat itu saya melihat Azwar sedang mendekati saya dengan cara mengapungkan diri bersama balok-balok.

Ketika sudah dekat dengan posisi saya dia melemparkan seutas tali kepada saya. Saya tangkap segera tali itu.

Dia menarik saya sampai ke pohon besar tersebut. Sampai di bawah pohon besar saya melihat ke atas pohon hendak naik melalui cabang-cabang yang menjuntai ke bawah.

Kami tidak bisa naik melalui batang karena terlalu besar.

Saat hendak naik saya melihat di atas pohon besar itu juga ada seekor ular sebesar botol sirop yang sedang berhadapan dengan saya.

Ular tersebut seolah-olah hendak menerkam saya. Tampaknya ular tersebut lebih ganas.

Saat itu saya berkata kepada ular tersebut seperti yang saya katakan kepada ular sebelumnya. Ular itu pun berpaling dan naik menuju ke cabang yang paling atas.

Akhirnya saya dan Azwar naik ke atas pohon itu. Beberapa saat berada di atas pohon itu terasa gempa susulan mengguncang lagi, tetapi tidak sekuat gempa pertama.

Saat itu Azwar sudah turun untuk mencari ibu dan Marniah. Di pohon itu saya hanya sendiri saat itu.

Di bawah pohon itu saya melihat orang orang yang terapung-apung di atas puing puing.

Mereka semua mohon pertolongan. Ketinggian air belum berkurang.

Setelah terjadi gempa susulan, muncul gelombang berikutnya, tingginya kira-kira enam meter.

Saya melihat orang-orang yang tampak terapung tadi tenggelam lagi bersama gelombang tersebut.

Perasaan saya pohon tersebut berjalan ke arah laut. Saat itu prediksi saya waktu kira-kira pukul 10.30 WIB.

Setelah gempa susulan dan hempasan gelombang terakhir saya mendengar azan, entah dari masjid mana saya tidak tahu pasti. Setelah azan itu saya melihat berangsur air surut.

Setelah kira-kira 30 menit, saya turun dari pohon itu melalui cabang-cabang yang menjuntai ke bawah. Ketika saya sampai di bawah air masih tersisa sebatas dada saya.

Saya terus berenang ke sana ke sini untuk mencari ibu, dan adik-adik yang belum jelas nasibnya. Posisi saya masih di sekitar Kompleks Peternakan.

Cukup banyak saya temukan mayat dan orang terluka dalam kondisi yang sangat mengenaskan. 

Mereka tersangkut di antara puing-puing, terjepit di antara balok-balok, terdampar di atas kasur-kasur, dan sebagainya. 

Setengah jam kemudian, saya melihat Azwar sedang menarik sebuah sampan.

Dalam sampan ada ibu dan di belakang sampan ada adik perempuan, Marniah, yang bergantungan di ujung sampan. Ketinggian air saat itu masih sebatas dada.

Saya sangat bahagia ketika mengetahui Azwar berhasil menemukan ibu dan adik perempuan dalam keadaan selamat. Saya terus mendekati mereka.

Posisi mereka juga di Kompleks Peternakan, mendekati Jalan Lingkar Utara Kampus. Azwar sedang menarik perahu itu ke arah perkarangan rumah kami.

Saya berhasil mendekati mereka. Dalam perasaan yang sangat terharu saya memeluk ibu dan adik-adik. 

Ibu saya dadanya sudah patah. Saya berhasil membawa ibu dan adik ke dekat posisi rumah kami, tepatnya ke rumah Cut Faridah, tetangga kami. Kami sekeluarga berkumpul
di atas tingkat dua rumah tersebut.

Pukul 14.00 WIB saya sudah berkumpul dengan semua keluarga di tempat itu.

Pukul 18.00 WIB kami turun dari rumah ibu Cut Faridah menuju ke Sektor Selatan Kopelma Darussalam untuk mengungsi ke rumah almarhum Pak Gazali, dosen Fakultas Hukum Unsyiah. 

Kami mengungsi selama dua malam di rumah tersebut. Karena ibu sakit parah kami sekeluarga mengungsi ke rumah famili di Peukan Bilui, Darul Imarah, Aceh Besar, sekaligus untuk berobat selama lebih kurang satu bulan.

Setelah itu, bulan Februari 2005, saya sekeluarga pindah tinggal ke rumah kos di Desa Tanjung Selamat, Darussalam, Aceh Besar.

Dalam peristiwa tsunami, kecuali keluarga inti, saya banyak kehilangan keluaraga dari pihak ibu dan bapak.(*)

(Dituturkan Dahawan, 30 tahun, Wiraswasta, Desa Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh seperti termuat dalam buku "Tsunami dan Kisah Mereka", diterbitkan Badan Arsip Provinsi Aceh tahun 2005)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Selamat dari Gulungan Gelombang, Bertemu Ular Raksasa di Atas Pohon
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved