Dishub Batam Kembali Ajak Perwakilan Taksi Online dan Konvensional Duduk Bersama

Kepala Bidang Angkutan Dishub Kota Batam, Safrul Bahri menyebut, duduk bersama taksi online dan konvensional dilakukan agar Batam tetap kondusif.

tribun_batam_dipanusantara
Pertikaian antara taksi konvensional dan taksi online seolah tak pernah ada habisnya. Terbaru, Jumat (15/11/2019). Dishub Kota Batam berencana mendudukkan kembali antara perwakilan taksi online dan taksi konvensional. 

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Batam mengajak kedua belah pihak, perwakilan taksi online dan taksi konvensional untuk kembali duduk bersama.

Kepala Bidang Angkutan Dishub Kota Batam, Safrul Bahri mengatakan, langkah ini dilakukan untuk menjaga situas kondusif di Batam. 

Pihaknya tidak mempermasalahkan bila nantinya taksi online dapat menjemput penumpang di kawasan mal atau sektor lainnya.

Menurutnya, kemajuan teknologi dan perkembangan zaman tidak bisa ditolak.

"Kami dari pemerintah melihat ini (kisruh taksi Batam) agar jangan mengganggu situasi di Batam. Semuanya ingin kota ini kondusif. Ada juga yang mungkin tidak menerima. Tapi kami tidak memaksa, ini wewenang provinsi. Kalau sudah begitu serba salah jadinya," ujarnya, Minggu (12/1/2020).

Safrul mengakui jika pihaknya telah beberapa kali duduk bersama pihak taksi konvensional dan menganjurkan untuk berpindah ke taksi berbasis aplikasi.

"Wacana itu sejak awal mulai dari aturan menteri lama hingga sekarang sudah digaungkan. Namun, selalu terkendala," ucapnya lagi.

Dia menjelaskan dua keuntungan jika taksi konvensional beralih ke aplikasi. Pertama, pihak taksi konvensional mendapat nomor antrean di tempat biasa pangkalan mereka. Selain itu, pihak taksi juga dapat menjemput atau mendapatkan penumpang secara aplikasi.

"Kalau aplikasi itu biasanya akan masuk ke handphone kita jika sesuai jarak terdekat. Ini sudah kami anjurkan, namun tetap tidak ada paksaan dan tidak ada keberpihakan," tambahnya.

Terkait polemik titik jemput penumpang di sebuah mal di Batam Centre, pihak penyedia jasa aplikasi telah mengupayakan untuk taksi konvensional beralih ke taksi berbasis aplikasi.

Termasuk mengenai titik penjemputan (red zone).  Menurut Safrul bukan lahir dari kebijakan pemerintah. Melainkan berdasarkan konvensi antara kedua belah pihak, baik taksi online dan taksi konvensional.

"Urusan itu (titik jemput) Batam ini berbeda dari daerah lain. Dishub Provinsi Kepri harus tegas, karena jika mengacu ke PM 118 Tahun 2018 red zone memang tidak ada," sebutnya.

Namun, titik itu lahir lebih dikarenakan pemerintah ingin mengakomodir kepentingan taksi konvensional selaku perintis usaha transportasi di Kota Batam.

Safrul juga mengakui jika taksi online telah mendapatkan Surat Pemindahan Jenis Kendaraan (SPJK) dan izin KIR dari Dishub Batam sebelum akhirnya izin operasional dari Dishub Kepri diterbitkan.

Pemprov Kepri Harus Tegas

Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) I Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Medan, Ramli Simanjuntak berkomentar soal polemik titik jemput penumpang (red zone) taksi online di Kota Batam yang tak kunjung usai.

Menurutnya, permasalahan ini hanya membutuhkan ketegasan dari pemerintah setempat, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Kepri.

Ramli menjelaskan, jika Peraturan Menteri (PM) Nomor 118 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus (ASK) atau taksi online resmi diberlakukan , artinya taksi online berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan taksi konvensional untuk menjalankan praktik usaha di Kota Batam.

"Setiap pelaku usaha (taksi online) yang telah memiliki izin harus dilindungi dan mendapat kesempatan yang sama. Mereka (taksi online) juga wajib mendapat kepastian hukum," katanya, Minggu (12/1/2020).

Aturan mengenai red zone menurutnya tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

"Begini, izin operasional taksi online sudah keluar. Sekarang, masalahnya dimana? Terkait red zone itu ada tidak regulasinya dari pemerintah. Seharusnya Pemerintah Daerah membuatkan itu dan dijelaskan tujuannya apa," tegasnya.

Ramli menyebut, permasalahan ini dulunya juga pernah mendapat sanksi atau hukuman dari KPPU Batam karena adanya unsur praktik monopoli usaha.

Ia sangat menyayangkan jika Pemerintah Provinsi Kepri tak segera mengambil sikap atas kisruh ini.

Sementara itu, salah satu perwakilan badan usaha angkutan sewa khusus (ASK), Sawir menyayangkan jika sampai saat ini permasalahan terkait titik jemput penumpang (red zone) taksi online di Batam seolah digantung.

Dia menyebut, para pengemudi taksi online juga butuh kepastian.

"Kemarin kami (taksi online) disebut ilegal karena tak ada izin. Sekarang izin sudah ada, masih juga seperti kendaraan ilegal. Yang mengeluarkan izin itu Dishub Kepri loh, dan ada rekomendasi Dishub Batam juga," ucapnya kepada TribunBatam.id

Kami Tak Mau Ambil Pusing

Badan Usaha Angkutan Sewa Khusus (ASK) di Batam tak mau ambil pusing soal kebijakan pengelola sebuah mal di Batam Centre. 

Pengelola mal menarik keputusannya untuk memperbolehkan taksi online beraktivitas di kawasan miliknya, Kamis (2/1/2020) lalu.

Perubahan kebijakan itu diakibatkan adanya desakan dari pihak taksi konvensional kepada manajemen agar tetap mempertimbangkan kearifan lokal yang telah lama digaungkan terhadap aturan titik jemput penumpang. 

Wisman melihat keributan antara sopir taksi online dan konvensional di Pelabuhan Internasional Batam Center, Selasa (3/12/2019)
Wisman melihat keributan antara sopir taksi online dan konvensional di Pelabuhan Internasional Batam Center, Selasa (3/12/2019) (TRIBUNBATAM.ID/BERES LUMBANTOBING)
"Mau itu ditunda atau dibatalkan tidak jadi masalah. Seharusnya izin operasional milik kami itu menjadi pertimbangan mereka. Jelas disebutkan dalam izin itu wilayah operasi kami di Batam, lagi pula pengelola mal tidak bisa membatasi keinginan pelanggannya," ucap seorang perwakilan Badan Usaha ASK, Sawir kepada TribunBatam.id, Minggu (5/1/2020) siang.

Dia mengatakan, polemik ini tidak akan meluas dan menimbulkan konflik jika Pemerintah Provinsi Kepri dalam hal ini Dinas Perhubungan memiliki ketegasan.

Sawir tak ingin keributan antara taksi online dan taksi konvensional di Batam terus terjadi dan membuat 'pihak ketiga' mengambil keuntungan dari situasi ini.

"Kearifan lokal itu jangan dipolitisasi. Perda belum ada, Perwako belum ada kok sudah ada kearifan lokal. Kalau memang sebagian orang meminta kearifan lokal, saya sebagai pengelola ASK tempat taksi onlinebernaung juga ingin memintanya. Memang kalau kami memanfaatkan teknologi tak boleh bicara kearifan lokal," sesalnya.

Seharusnya, lanjut Sawir, Dishub Kepri dapat memberikan sosialisasi terkait izin operasional taksi online di Batam kepada seluruh pengelola kawasan.

Tugas ini menurutnya lagi menjadi kewajiban Dishub Kepri sebagai pemberi izin.

"Izin yang terbit itu sudah mendapat rekomendasi dari Dishub Batam. Sudah uji KIR, dan sudah Surat Penetuan Jenis Kendaraan (SPJK). Kenapa masih dipersoalkan keberadaannya. Taksi online ini sudah sama dengan angkutan umum loh," ucapnya.

Dia juga meminta pihak aplikator ikut turun tangan untuk menyikapi persoalan ini.

Sawir tak ingin pihak aplikator hanya berdiam diri dan membiarkan 'bola panas' ini semakin membesar.

Ratusan pengemudi taksi konvensional menyelenggarakan aksi solidaritas di sekitar kawasan mal di Batam Centre, Kamis (2/1/2020) lalu.

Aksi ini adalah bentuk kekecewaan mereka atas keputusan pengelola mal yang berlokasi dekat pelabuhan dan kantor pemerintahan itu memperbolehkan taksi online menjemput penumpang di dalam kawasan mal.

Komisi III DPRD Batam Angkat Bicara

Pro kontra taksi online di Kota Batam, Provinsi Kepri mendapat tanggapan dari anggota Komisi III DPRD Batam, Thomas Arihta Sembiring. 

Dia menyayangkan keputusan manajemen sebuah mal di Batam Centre yang mencabut izin taksi online yang diperbolehkan menjemput penumpang di kawasan mal. 

"Apapun itu, seharusnya tunduk pada aturan yang diterbitkan pemerintah melalui PM 118 tahun 2018. Kalau izin operasional telah diterbitkan, artinya mereka legal secara hukum," jelasnya kepada TribunBatam.id, Minggu (5/1/2020).

Menurutnya, keputusan pengelola mal seharusnya mengacu pada kepentingan orang banyak, khususnya pengunjung. 

Meski mal memiliki wilayahnya, hal itu harus sejalan dengan aturan milik pemerintah.

"Aturan menteri itu sifatnya nasional, jadi tak ada pembatasan hak pelanggan untuk memilih moda transportasi apa yang akan digunakan. Toh mereka juga berhak memilih," ucapnya.

Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mempertanyakan terkait aturan titik jemput penumpang atau kerap disebut sebagai red zone.

Baginya tak ada payung hukum terkait pengaturan itu.

"Mana perdanya? Jadi tak ada acuan," tegasnya. 

Tak hanya itu, jika memang ada sebuah kearifan lokal, maka seharusnya dibentuk ke dalam aturan hukum agar tak menjadikan keributan antara kedua belah pihak baik taksi online dan konvensional semakin larut.

Dia juga meminta agar Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Kepri segera menuntaskan polemik ini.

"Kearifan lokal itu dalam bentuk undang-undangkah atau hanya konvensi? Kalau dalam bentuk konvensi, siapa yang menetapkan itu? Tidak ada perdanya terkait kearifan lokal itu. Kalau bicara kearifan lokal dalam bentuk konvensi, itu hanya sepihak dan tidak menyeluruh," pungkasnya.

Perwakilan Badan Usaha Angkutan Sewa Khusus (ASK) juga meminta Dishub Kepri beserta Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kepri muncul sebagai penyelesai masalah (problem solver) yang independen dalam masalah ini.

"Pemerintah dan Organda itu sebagai konstituen yang independen. Jangan nanti polemik ini ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan," kata pengelola Badan Usaha ASK, Sawir.(tribunbatam.id/ichwannurfadillah)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved