HEADLINE TRIBUN BATAM

Debt Collector Tak Laku Lagi, Sita Jaminan Kredit Harus Lewat Pengadilan

MK membuat keputusan penting untuk melindungi debitur dari ancaman debt collector atau penagih utang perusahaan leasing.

TRIBUNBATAM.ID/MADI DWINANDO
Headline Tribun Batam 

Debt Collector Tak Laku Lagi, Sita Jaminan Kredit Harus Lewat Pengadilan

TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan penting untuk melindungi debitur dari ancaman debt collector atau penagih utang perusahaan leasing yang sering terlibat bentrok dengan para debitur.

MK memutuskan, perusahaan kreditur atau leasing tidak bisa menyita atau mengeksekusi obyek jaminan fidusia seperti kendaraan atau rumah secara sepihak karena sertifikat jaminan fidusia tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

Perusahaan kreditur harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri terlebih dahulu untuk menyita objek atau jaminan kredit tersebut.

"Penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri," demikian bunyi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020.

MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang diajukan oleh pasangan suami istri asal Bekasi, Suri Agung Prabowo dan Apriliani Dewi.

Suri dan Dewi mengajukan gugatan karena menilai kendaraan yang masih dicicilnya diambil-alih secara sepihak oleh perusahaan leasing tanpa melalui prosedur hukum yang benar.

MK Putuskan Debt Collector Tak Boleh Rampas Kendaraan Sepihak, Harus Lewat Pengadilan

Perusahaan tersebut melibatkan debt collector saat menyita kendaraan mereka.

Putusan MK ini memang tidak melarang sepenuhnya kreditur untuk menyita objek atau jaminan kredit, namun akan meminimalisir peran debt collector atau penagih utang yang sering dipekerjakan perusahaan kreditur untuk menyita jaminan kredit.

Debt collector memang menjadi momok tersendiri bagi kreditur karena sering melakukan penyitaan secara paksa.

Perusahaan leasing, menurut MK, tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat, pihak debitur mengakui adanya wanpretasi.

Jika pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya ‘cidera janji’, (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka penerima fidusia bisa melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Kepastian Hukum

Keputusan MK tersebut mendapat sambutan luas dari berbagai pihak.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, misalnya, meminta agar pemilik kendaraan maupun rumah, memiliki kekuatan hukum untuk melapor ke polisi jika obyeknya dirampas secara semena-mena tanpa melalui pengadilan.

Menurut Yusri, pihak leasing atau kreditur melanggar hukum jika melakukan perampasan jaminan fidusia.

Mereka dapat dikenakan pasal berlapis, yakni KUHP Pasal 368 tentang perampasan dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara atau Pasal 365 tentang pencurian dengan kekerasan dan Pasal 378 tentang penipuan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat bahwa kasus-kasus penyitaan jaminan fidusia ini terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam keterangannya yang dilansir hukumonline.com, Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa pihak debitur sering terjebak dalam perjanjian awal dengan perusahaan.

“Dalam perjanjian itu sering muncul klausa yang menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang ditetapkan di kemudian hari. Ini yang sering ‘menelikung’ konsumen,” kata Tulus.

Keputusan MK tersebut juga membuat lega warga, terutama kreditur kendaraan bermotor yang sering mendapat teror dari debt collector.

Berbagai kejadian sita paksa kendaraan maupun barang akibat utang sering terjadi, termasuk di Kota Batam. Misalnya, adanya kasus penyitaan barang yang dilakukan pihak koperasi, perusahaan peminjaman uang, hingga leasing.

Seorang warga bernama Mimi yang beralamat di Seraya, Batam, mengaku punya pengalaman berhadapan dengan debt collector yang melakukan berbagai ancaman kepadanya.

Mimi pernah merenovasi tempat jualannya dan meminjam uang dengan menjaminkan kendaraan.

"Ngeri juga berhadapan dengan mereka. Soalnya kadang kita kan jualan ini pasang-surut, telat bayar sehari dua hari kan biasa. Namun mereka main ancam saja mau sita kendaraan. Kita debat mereka pasti kalah,” katanya.

Mimi menganggap keputusan MK ini akan menjadi bentuk perlindungan kepada masyarakat sehingga tidak lagi eksekusi yang semena-mena.

"Kita taat hukum saja. Kalau memang sudah sesuai hukum dan kita salah, ya, pasti diikuti,” katanya.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada perusahaan leasing yang bersedia memberikan keterangan resmi. Sebuah sumber dari perusahaan leasing mengatakan, mereka menunggu arahan dari kantor pusat terkait hal ini.

Meski demikian, sumber tersebut mengatakan bahwa keputusan MK ini bisa digunakan oleh para debitur nakal yang enggan membayar cicilan kredit mereka.

“Di lapangan, yang kita hadapi, tidak sesederhana itu. Debitur itu tak semuanya baik. Ada juga yang nakal. Saat ditagih, mereka menghindar. Dipanggil ke kantor, tak datang,” katanya.

Tetapi, pihaknya juga menilai keputusan MK ini ada baiknya jika pengajuan penyitaan dilakukan melalui keputusan pengadilan. “Daripada ribut terus, kan lebih baik lewat pengadilan,” katanya. (kdk/yan/Kompas)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved