HARI INI DALAM SEJARAH 7 Maret: 13 Tahun Lalu Pesawat Garuda Jatuh Terbakar di Jogja
Sejarah Hari Ini, 7 Maret tepatnya 13 tahun lalu, pesawat Garuda Indonesia celaka di Jogja, 21 orang tewas.
TRIBUNBATAM.id - Sejarah Hari Ini, 7 Maret tepatnya 13 tahun lalu, pesawat Garuda Indonesia celaka di Jogja, 21 orang tewas.
Tepatnya 7 Maret 2007, pesawat B737-400 Garuda Indonesia tergelincir dan terbakar di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta.
Kecelakaan pesawat Garuda Indonesia tersebut merenggut nyawa 21 penumpang.
Boeing 737-400 itu mendarat dengan keras di tengah landas pacu (runway), terpental, dan keluar dari runway 27 di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Setelahnya, pesawat Garuda Indonesia itu terbakar.
Hasil penyelidikan yang dipublikasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut, B737 Garuda Indonesia melakukan approach yang terlalu tajam.
Approach adalah fase dalam pendaratan saat pesawat mengarah mendekat dan turun mendarat di runway.
Normalnya, approach yang stabil adalah dalam batas toleransi ketinggian dan kecepatan, serta batas jalur luncur (glideslope).
Jalur luncur yang aman adalah dengan sudut kemiringan 3 derajat ke arah runway.
Di atas atau di bawah 3 derajat, approach dianggap tidak stabil.
Dalam kasus GA200, B737 tersebut mendarat dengan lintasan di atas glideslope karena posisinya masih terlalu tinggi sementara jarak ke landasan sudah dekat.
Pilot pesawat mencoba mengejar jalur luncur yang normal.
Tetapi, akibat vertical speed terlalu tinggi, pesawat menjadi sulit dikontrol saat roda hendak menyentuh landasan.
Akhirnya benturan keras terjadi dan pesawat terpental ke luar landasan.
Din Syamsuddin nyaris tewas
Beberapa tokoh Indonesia juga ikut dalam penerbangan nahas ini, antara lain:
- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin (luka ringan)
- Kriminolog, Adrianus Meliala (luka)
- Mantan Rektor UGM Yogyakarta, Prof Dr Kusnadi Hardjosumantri (meninggal dunia).
"Saya merasa diselamatkan oleh Allah," kata Din Syamsuddin, seperti dilansir Antara, 7 Maret 2007.
"Banyak penumpang yang cedera dan pingsan. Alhamdulillah saya di antara orang-orang yang selamat," kata Din Syamsuddin kala itu.
Pesawat tersebut juga membawa 19 warga negara asing antara lain dari Jepang, Brunei Darussalam dan 8 orang warga Australia yang merupakan rombongan jurnalis yang akan meliput kunjungan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer di Yogyakarta.
Saksi mata mengatakan api dipicu dari runtuhnya landing gear depan saat mendarat.
Dilaporkan pula bahwa badan pesawat terbelah memanjang dari bagian kabin hingga ekor pesawat, sementara salah satu sayap pesawat pecah dan terbelah.
Pesawat yang nahas tersebut dibuat pada 19 Oktober 1992 dan telah memiliki total jam terbang 34.112 jam per 31 Oktober 2006.
Sebelum dipakai Garuda Indonesia pada 7 Oktober 2002, pesawat tersebut sudah dipakai oleh sejumlah maskapai penerbangan.
Insiden yang merugikan
Insiden pesawat yang keluar landasan (disebut runway excursion) ini menurut Australian Transportation Safety Bureau (ATSB) menjadi kecelakaan yang paling sering terjadi.
Insiden seperti ini menyumbang 96 persen dari semua kecelakaan yang terjadi di runway.
Hingga tahun 2012 lalu, terdapat lebih dari 650 kecelakaan yang termasuk kategori runway excursion.
Sebanyak 65 orang di antaranya adalah kecelakaan fatal yang merenggut banyak korban jiwa, sekitar 1.121 orang dalam kurun 1995 hingga 2010.
Federal Aviation Administration (FAA) sendiri mengestimasi kerugian industri penerbangan dari kejadian runway excursion mencapai 1 miliar dollar AS per tahun.
Solusi teknologi
Teknologi untuk mencegah agar kejadian seperti yang dialami GA200 sebetulnya sudah banyak diciptakan.
Salah satunya adalah Runway Overrun Alerting and Awareness System (ROAAS) yang dikembangkan Honeywell.
Teknologi ini menggabungkan berbagai sensor dalam pesawat dengan database semua bandara di dunia.
Data tersebut bisa membantu menjaga pesawat agar dapat mendarat sesuai dengan batas toleransi amannya, dalam hal kecepatan dan glideslope.
ROASS menggunakan sensor data-data seperti posisi GPS pesawat, posisi landing gear, posisi flaps (sirip tambahan di sayap), kecepatan vertikal pesawat saat turun atau approach, profil gerakan pesawat saat mendarat, serta digabungkan dengan database runway yang dimiliki Honeywell untuk memberikan peringatan suara di kokpit jika pendaratan dirasa tidak aman.
Peringatan teks warna merah di layar primary flight display (PFD) kokpit akan muncul dibarengi dengan peringatan suara, memperingatkan jika pesawat mendarat di runway yang pendek, pesawat terlalu tinggi untuk mendarat, atau bahkan pesawat hendak mendarat di taxiway (jalur penghubung runway dengan apron) alih-alih runway, dan sebagainya.
Dipadukan dengan teknlogi synthetic vision di layar PFD, maka pilot dan kopilot di dalam kokpit bisa menjadi lebih awas dengan kondisi sekitar bandara, walau jarak pandang di luar kokpit terbatas.
Jika pesawat mendarat dengan stabil dan normal, maka tidak akan ada peringatan yang muncul.
Honeywell mengklaim software-nya itu sudah terbukti bisa diandalkan setelah menjalani uji penerbangan selama lebih dari 800 jam. (*)