Hingga Kamis (2/4) Siang Nilai Tukar Rupiah Rp 16.450 per Dolar AS
Dengan ini, mata uang Garuda tersebut sudah turun 0,45% dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di level Rp 16.450 per dolar AS
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Rupiah di pasar spot masih belum bergerak dari level terendahnya sejak 23 Maret lalu.
Dikutip dari kontan.co.id, melansir Bloomberg, Kamis (2/4) pukul 12.25 WIB, rupiah masih bertahan di level Rp 16.525 per dolar AS.
Dengan ini, mata uang Garuda tersebut sudah turun 0,45% dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di level Rp 16.450 per dolar AS.
• Khabib Nurmagomedov Mundur dari Pertarungan UFC 249 Lawan Tony Ferguson, Ini Alasannya
• GEMPA HARI INI, Gempa 5.5 SR Guncang Alor NTT Kamis Pagi Pukul 09.13 WIB, Berikut Info BMKG
• Lautaro Martinez Tak Peduli dengan Ketertarikan Barcelona dan Real Madrid, Agen: Tak Ada yang Serius
Alhasil, kini rupiah menjadi mata yang dengan pelemahan terdalam di kawasan.
Padahal, di awal pembukaan pagi ini, posisi tersebut ditempati oleh won Korea Selatan dan ringgit Malaysia.
Kini, ringgit Malaysia menjadi mata uang kedua dengan pelemahan terbesar setelah turun 0,37%. Di susul won Korea Selatan yang melemah 0,36%.
Posisi berikutnya adalah baht Thailand dan yen Jepang yang sama-sama melemah 0,11%.
Sementara itu, dolar Singapura berhasil menjadi mata uang dengan penguatan terbesar setelah naik 0,21%. Disusul, peso Filipina yang menguat 0,06%.
Penguatan tipis juga terjadi pada rupee India yang naik 0,01%.
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan pelemahan rupiah diakibatkan oleh sentiment kekhawatiran akan virus corona.
Kekhawatiran ini membuat pasar lebih memilih untuk tidak berinvestasi pada asset berisiko.
“Pasar masih nyaman untuk keluar dari aset berisiko karena peningkatan penyebaran wabah Covid-19. Hal ini terlihat dari harga asset berisiko yang masih negatif,” ungkap Ariston kepada Kompas.com.
Ariston juga mengatakan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan tenor 10 tahun kembali melemah ke kisaran 0,57 persen atau mendekati level terendah sepanjang masa yang terjadi tanggal 9 Maret 2020 pada level 0,36 persen.
“Ini bisa mengindikasikan permintaan terhadap obligasi tinggi sehingga harga naik dan tingkat imbal hasilnya turun,” ungkapnya.
Sejauh ini kasus positif Covid-19 di AS sudah menyentuh angka 200 ribu orang.