Imam Nahrawi Bersumpah Ingin Jadi JC: Demi Rasulullah! Akan Saya Bongkar Perkara Duit Rp 11 Miliar
Imam Nahrawi dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Kasus suap dana hibah KONI yang menyeret bekas menteri Imam Nahrawi sudah memasuki babak penuntutan.
Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara oleh oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
Pada Jumat (19/6/2020), terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi mengajuk pleidoi atas tuntutan jaksa tersebut.
Di situ, Imam Nahrawi mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator (JC).
"Demi Allah demi Rasulullah, saya akan membantu majelis hakim yang mulia, jaksa penuntut umum dan KPK untuk mengungkap perkara duit Rp 11 miliar itu, kabulkanlah saya sebagai JC," kata Imam saat membacakan pledoi, seperti dikutip dari Antara, Jumat (19/6/2020).
Menurut Imam, mantan asisten pribadinya Miftahul Ulum sudah membuka ke mana arah uang Rp11 miliar itu mengalir tapi tidak dijadikan dasar mengungkap fakta yang jujur dan sebenarnya.

"Saya sudah bersumpah di atas Al Quran bahwa saya tidak tahu menahu, tidak meminta, tidak memerintahkan,
tidak menerima bahkan demi Allah saya tidak terlibat dalam persekongkolan jahat ke mana duit Rp11 miliar itu," ujar Imam.
Melalui pledoinya tersebut, Imam mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang sudah memercayainya sebagai Menpora pada Kabinet Kerja periode 2014-2019.
Imam juga membeberkan berbagai prestasi yang diperoleh atlet-atlet Indonesia semasa ia menjabat sebagai Menpora dalam pledoi yang ia bacakan.
"Selama saya menjabat saya tidak pernah mendapat teguran secara lisan maupun tulisan dari Bapak Jokowi.
Saya juga bersemangat hingga Indonesia berhasil mendapat perhatian dunia dengan status bergengsi dan disegani tidak hanya di Asia tapi juga di level internasional," ungkap Imam.

Imam pun memohon kepada majelis hakim untuk dibebaskan dari semua tuntutan JPU KPK.
Dalam kasus ini, Imam dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara oleh JPU KPK.
Imam bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, dianggap terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar.
dari mantan Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.
Suap tersebut dimaksudkan agar Imam dan Ulum mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora RI untuk tahun kegiatan 2018.
Sebut Nama Taufik Hidayat
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menetapkan mantan atlet bulu tangkis Taufik Hidayat sebagai tersangka.
Menurut Imam Nahrawi, Taufik Hidayat semestinya juga dijadikan tersangka lantaran menjadi perantara.
Hal itu diungkapkan Imam Nahrawi dalam salinan pledoi.
Ia mengungkapkan pembelaannya dalam kasus ini.
Imam mengatakan Taufik Hidayat seharusnya dijadikan tersangka meski dia tidak mengerti uang yang dititipkan padanya itu harus diapakan dan dikemanakan.

Menurut Imam, Taufik Hidayat merupakan perantara.
"Seharusnya bila ini dipaksakan menjadi perkara suap, secara logika Taufik Hidayat juga menjadi tersangka suap sebagai perantara,
tidak pandang beliau mengerti atau tidak uang itu harus diapakan dan dikemanakan," kata Imam, sebagaimana tertulis dalam salinan pledoi yang didapat Kompas.com.
Seperti diketahui, dalam persidangan sebelumnya Taufik mengakui pernah menyerahkan uang Rp 1 miliar kepada asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum.
Imam mengklaim tidak pernah mengetahui adanya penerimaan tersebut serta penerimaan dari pihak-pihak lain.
• Surat Cinta Imam Nahrawi dari Penjara Diekspos Sang Istri, Tulis Pesan Khusus untuk Buah Hati

Ia menyebut, uang tersebut dialokasikan sendiri tanpa perjanjian tertulis dan baru ia ketahui setelah ia ditetapkan sebagai tersangka.
"Apakah ketidaktahuan saya ini menjadi tanggung jawab saya secara pidana juga?
Mengingat mereka yang telah bermain api dan mengatasnamakan saya?" ujar Imam.
Imam melanjutkan, dalam persidangan, Ulum pun tak pernah mengakui penerimaan tersebut.
Ia pun menyebut tak ada bukti dan petunjuk yang menegaskan hal itu.
"Lantas dengan cara pandang seperti apa yang dipakai ketika di antara pemberi dan penerima suap belum terbukti jelas sehingga saya sudah dinyatakan dan bertanggungjawab secara pidana?" kata Imam.
Oleh karena itulah, Imam menilai Taufik semestinya ditetapkan sebagai tersangka suap atas perannya sebagai perantara.
Dalam kasus ini, Imam dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara oleh JPU KPK.
Imam bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, dianggap terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.
Suap tersebut dimaksudkan agar Imam dan Ulum mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora RI untuk tahun kegiatan 2018.
Imam juga dianggap terbukti menerima gratifikasi senilai total Rp 8.648.435.682 dari sejumlah pihak.
Atas perbuatannya, Imam dinilai melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 12B Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Sejumlah Gratifikasi yang Diterima Imam Nahrawi
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa Imam Nahrawi menerima grafitasi dengan jumlah yang banyak.
Hal itu diungkapkannya dalam sidang kasus korupsi yang menjerat mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Jumat, 14 Februari 2020.
Dalam sidang tersebut, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa Imam menerima grafitasi dengan jumlah yang banyak.
Tak sendiri, Imam menerima gratifikasi tersebut bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum.
Berdasarkan keterangan sang jaksa, Imam dan Ulum menerima Rp 8,6 M dari sejumlah pihak.
Gratifikasi Rp 2 miliar
"Sejumlah Rp 2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah (mantan Bendahara Pengeluaran Pembantu Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas Kemenpora) yang bersumber dari uang anggaran Satlak Prima," papar jaksa dalam dakwaan.
Jaksa dalam dakwaannya menjelaskan, saat itu pihak konsultan mempresentasikan rencana pembuatan desain rumah milik Imam di wilayah Cipayung, Jakarta Timur.
Istri Imam, Shohibah Rohmah pun menyetujui untuk menggunakan jasa desain rumah pihak konsultan tersebut.
Selanjutnya, dijalin kontrak antara pihak konsultan dan Shohibah dengan nilai Rp 700 juta. Pembayaran dilakukan sebanyak 4 termin sesuai tahapan pekerjaan.
Seiring beberapa waktu, Ulum, Imam, Shohibah melakukan pertemuan dengan pihak konsultan yang sama di rumah dinas Imam.
Dalam pertemuan itu, Shohibah minta dibuatkan desain untuk renovasi interior butik dan kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Menurut jaksa, rencana anggaran yang dibutuhkan untuk renovasi butik dan kafe itu sebesar Rp 300 juta. Sedangkan biaya jasa desain interior sebesar Rp 90 juta.
Pada sekitar bulan Oktober 2016, Miftahul Ulum menghubungi Lina Nurhasanah.
Dalam pembicaraan tersebut, Ulum meminta uang Rp 2 miliar untuk membayar 'Omah Bapak'. Maksudnya, rumah milik Imam Nahrawi.
Atas permintaan itu, Lina Nurhasanah menyiapkan uang tersebut yang bersumber dari dana akomodasi atlet pada anggaran Satlak Prima.
Uang tersebut diserahkan oleh Lina kepada stafnya bernama Alverino Kurnia untuk dibawa ke kantor pihak konsultan tersebut.
Selanjutnya pihak konsultan menyerahkan tanda bukti penerimaan uang itu sebagai pembayaran jasa desain rumah milik Imam.
Dengan uang Rp 2 miliar itu, Shohibah juga memesan desain bangunan di kawasan Jagakarsa dengan luas tanah sekitar 3.022 meter persegi.
Rencananya tanah itu akan dibangun asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis.
Gratifikasi Rp 4,94 miliar
Selain Rp 2 miliar, Imam melalui Miftahul Ulum juga menerima gratifikasi sebesar Rp 4,948 miliar dari Lina Nurhasanah. Uang itu juga diambil dari anggaran Satlak Prima.
Mengacu pada surat dakwaan, Ulum menerima uang tersebut sebanyak 38 tahap terhitung sejak tahun 2015 hingga tahun 2016.
Uang itu digunakan untuk berbagai macam keperluan. Beberapa diantaranya membayar acara buka puasa bersama di rumah dinas Imam sebesar Rp 200 juta dan membayar pembelian pakaian Imam ke Aneva JG sebesar Rp 106,4 juta.
Selain itu, membayar tiket masuk F1 untuk rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016 sebesar Rp 75 juta; hingga membayar tagihan kartu kredit atas nama Ulum sendiri sebesar Rp 25,75 juta.
Gratifikasi Rp 400 juta
Selanjutnya, Imam melalui Ulum disebut jaksa menerima gratifikasi sebesar Rp 400 juta dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017 sampai tahun 2018.
"Terdakwa meminta uang honor untuk kegiatan Satlak Prima kepada Mulyana (mantan Deputi IV Kemenpora), padahal Satlak Prima telah resmi dibubarkan pada bulan Oktober 2017," ungkap jaksa dalam dakwaan.
Atas permintaan itu, Mulyana bertemu PPK Satlak Prima Tahun 2017 Chandra Bakti dan Supriyono. Dalam pembahasan tersebut disepakati memberikan uang Rp 400 juta kepada Imam.
Selanjutnya, uang tersebut diserahkan Supriyono ke Ulum di dekat masjid yang terletak di sekitar areal parkir Kemenpora.
"Tanpa adanya tanda terima yang sah dengan disaksikan oleh Mulyana. Beberapa hari kemudian Mulyana menyampaikan kepada Imam Nahrawi bahwa uang untuknya telah diserahkan melalui Terdakwa, selanjutnya Imam Nahrawi mengatakan 'terima kasih'," beber jaksa.
Gratifikasi Rp 300 juta
Menurut jaksa, Imam melalui Ulum juga menerima gratifikasi Rp 300 juta dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy.
Pada tahun 2015, atas sepengetahuan Imam, Ulum menemui mantan Sekretaris Kemenpora Alfitra Salam. Ulum meminta Alfitra menyiapkan uang Rp 5 miliar untuk Imam.
Kepada Alfitra, Ulum mengatakan, 'Pak Ses mau lanjut enggak? Kalau mau, siapkan uang 5 M (Rp 5 miliar) secepatnya'. Atas permintaan tersebut, Alfitra Salam belum memenuhinya.
Pada awal bulan Agustus tahun 2015, Ulum kembali menemui Alfitra di ruang kerjanya.
Dalam kesempatan itu Ulum menyampaikan bahwa Imam akan ada kegiatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang.
"Kemudian karena ada permintaan lagi dari terdakwa melalui Miftahul Ulum tersebut, lalu Alfitra Salam menghubungi Ending Fuad Hamidy selaku Sekjen KONI terkait permintaan itu dan Ending Fuad Hamidy sepakat memberikan uang Rp 300 juta untuk Imam Nahrawi," beber jaksa.
Uang tersebut sempat dititipkan ke Lina Nurhasanah di kantor Kemenpora. Tanggal 6 Agustus 2015, Alfitra dan Ending berangkat ke Surabaya.
Sesampainya di sana, keduanya bertemu Lina Nurhasanah bersama stafnya Alverino Kurnia di sebuah restoran di Bandara Juanda, Surabaya.
Dalam pertemuan itu, Lina Nurhasanah menyerahkan tas jinjing yang berisi uang sejumlah Rp 300 juta kepada Ending Fuad Hamidy dan Alfitra Salam.
Selanjutnya, Ending dan Alfitra berangkat ke sebuah rumah di Jombang yang sedang ditempati oleh Imam, beberapa ajudannya dan Ulum.
Alfitra Salam kemudian menyerahkan tas jinjing yang berisi uang sejumlah Rp 300 juta tersebut kepada Ulum di hadapan Imam Nahrawi.
Gratifikasi Rp 1 miliar
Jaksa juga menyebutkan dalam dakwaan Imam soal adanya gratifikasi senilai Rp 1 miliar yang diberikan melalui Ulum dari pejabat pembuat komitmen (PPK) program Satlak Prima tahun anggaran 2016-2017, Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok.
Ucok merupakan orang yang bekerja di bawah Tommy Suhartanto yang menjabat sebagai Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima.
Sekitar bulan Januari 2018, Tommy menyampaikan ke Ucok soal adanya permintaan uang dari Imam Nahrawi.
Tommy meminta Ucok menyiapkan uang sebesar Rp 1 miliar untuk diserahkan ke Imam melalui Ulum.
Selanjutnya, Tommy Suhartanto meminta Asisten Direktur Keuangan Satlak Prima Reiki Mamesah untuk mengambil uang sejumlah Rp 1 miliar yang berasal dari anggaran Program Satlak Prima kepada Ucok.
Selanjutnya, Reiki menyerahkan uang itu ke eks atlet bulutangkis sekaligus Wakil Ketua Program Satlak Prima Taufik Hidayat di rumahnya yang terletak di kawasan Kebayoran Baru.
"Kemudian uang sejumlah Rp 1 miliar tersebut diberikan oleh Taufik Hidayat kepada terdakwa melalui Miftahul Ulum di rumah Taufik Hidayat," kata jaksa. (TribunNewsmaker.com/*)
Sebagian artikel ini juga telah tayang di Kompas.com dengan judul "Imam Nahrawi Minta KPK Tetapkan Taufik Hidayat sebagai Tersangka" dan "Gratifikasi Imam Nahrawi: Untuk Desain Rumah hingga Beli Tiket F1".