TRIBUN WIKI
Mengenal Altitude Sickness, Penyakit Ketinggian yang Rentan Dialami Pendaki Gunung
Altitude sickness terjadi ketika tubuh tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan bertekanan rendah atau rendah oksigen.
TRIBUNBATAM.id - Mendaki gunung menjadi salah satu hobi yang digandrungi banyak orang.
Bagi sebagian orang, melakukan perjalanan panjang untuk bisa menaklukan puncak gunung merupakan kesenangan tersendiri.
Selama mendaki gunung, para pendaki tak hanya berlatih bertahan hidup, namun juga memahami alam liar hingga merekatkan solidaritas antar kawan pendaki.
Selama pandemi virus corona, hampir semua jalur pendakian ditutup.
Para pendaki mau tidak mau harus menahan keinginan menjelajahi ketinggian selama beberapa bulan terakhir.
Namun, sejak new normal mulai diterapkan, sejumlah jalur pendakian kembali dibuka.
Tentunya, ini menjadi kabar menyenangkan bagi para pecinta ketinggian yang dulu sempat menjamur sebelum adanya pandemi Covid-19.
Kembali melakukan aktivitas mendaki akan membuat kita rentan mengalami penyakit ketinggian atau yang kerap disebut dengan "altitude sickness".
Hal ini akan membuat kita merasa pusing dan lelah secara tiba-tiba.
Apa itu altitude sickness?
Menurut ahli pulmonologi dari Cleveland Clinic, Humberto Choi, altitude sickness terjadi ketika tubuh tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan bertekanan rendah atau rendah oksigen.
Biasanya, lingkungan dengan kadar oksigen rendah ini berada di ketinggian di atas 2.500 meter di atas permukaan laut.
Altitude sickness juga membuat kita berisiko mengalami masalah pernapasan hingga kematian.
Penyebab Altitude sickness terjadi karena tekanan di udara yang turun atau kadar oksigen yang rendah.
Saat kita mendaki dengan kecepatan tinggi, tubuh tifak mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang berkurang.