TRIBUN WIKI

Kisah 6 Polwan Pertama di Indonesia, Dipilih karena Desakan Perang di Bukittinggi

Pembentukan polisi wanita (polwan) tak lepas dari kota Bukittinggi. Di kota ini lah, enam anggota polisi wanita pertama dipilih.

Kompas.com
Pembentukan Polwan bermula dari 6 Polwan pertama yang terpilih untuk belajar di SPN Bukittinggi. Foto: Peringatan Hari Bhayangkara ke-48 yang dipusatkan di Lapangan Mabes Polri Jakarta Selatan Jumat (1/7/1994) antara lain diisi dengan peragaan bela diri Korps Polisi Wanita. Terkait foto dan berita dimuat Sabtu, Kompas 02-07-1994(KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA (KSP)) 

Editor: Widi Wahyuning Tyas

TRIBUNBATAM.id - Pembentukan polisi wanita (polwan) tak lepas dari kota Bukittinggi.

Di kota ini lah, enam anggota polisi wanita pertama dipilih untuk belajar di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi.

Dikutip dari buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau (1945-1950) yang disusun Ahmad Hosen dan kawan-kawan, bulan Juni 1948 Sekolah Pendidikan Polisi di Bukittinggi memberi peluang kepada gadis-gadis di kota itu menjadi siswa.

Dari sejumlah pelamar ternyata hanya enam orang yang diterima.

Mereka adalah Nelly Pauna, Mariana, Djasmaniar, Rosmalina, Rosnalia, dan Dahniar.

Putri-putri itu adalah tamatan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat sekolah menengah pertama, bahkan ada yang sudah bekerja di berbagai instansi, jadi guru atau perawat.

Cerita masuknya enam prajurit wanita ini ke sekolah polisi tidak lepas dari kebutuhan zaman perang saat itu.

Dikutip dari harian Kompas 7 Mei 1993, kota Bukittinggi pasca Agustus 1945, menjadi salah satu kota yang dibanjiri para pengungsi dari Medan, Pematang Siantar, Pekanbaru, bahkan Singapura.

Meski Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya saat itu, Belanda masih berusaha kembali menjajah.

Muncullah dua kali agresi militer dan perang gerilya.

Pertempuran terjadi di berbagai kota.

Bukittinggi masih dikuasai. Namun, kota ini harus waspada akan masuknya mata-mata musuh lewat para pengungsi.

Maka dari itu, setiap laki-laki dan perempuan yang dicurigai diperiksa secara ketat.

Barang yang mempunyai tiga warna, merah-putih-biru, walau ketiga warna tersebut terpisah satu sama lain, yang bersangkutan bisa dituduh sebagai mata-mata Belanda atau NICA (Nederlands Indies Civil Administration).

Apalagi jika ada cap tato ditemukan di bagian-bagian tubuh, bisa dijadikan indikasi.

Di masa-masa inilah terasa ada kejanggalan ketika polisi pria memeriksa tubuh wanita yang bukan muhrimnya.

Apalagi, mungkin saja ada ada cap sebagai tanda kaki tangan musuh tersuruk pada bagian-bagian yang sangat terlarang.

Maka dibukalah peluang bagi wanita Sumbar untuk menjadi Polisi Wanita.

Di sanalah awalnya sekolah polisi di Bukittinggi kemudian membuka murid khusus prajurit wanita pertama.

Tepat tanggal 1 September 1948, yang kini dijadikan hari jadi Polisi Wanita.

Lulus sekolah polisi, putri-putri itu diberi pangkat Pembantu Inspektur Polisi Tingkat II, setingkat bintara tinggi.

Mereka berpakaian seragam khaki drill kuning dengan atribut yang sama dengan polisi pria.

Keberadaan mereka cepat diterima masyarakat, sehingga akhirnya tidak terasa lagi kejanggalan itu.

Mereka itulah pelopor Polwan pertama di Sumatera.

Polwan-polwan yang awalnya diperuntukan untuk razia para pengungsi kini semakin menunjukkan jati dirinya.

Polwan saat ini juga mampu melakukan penyamaran hingga membongkar jaringan narkoba, ada pula yang mengatur lalu lintas dengan mengendarai motor besar, hingga polwan yang ahli menembak.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Enam Prajurit Wanita Bukittinggi, Polwan Pertama di Indonesia".

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved