TRIBUN WIKI
Sejarah Sambal Khas Nusantara, Ada Sejak Abad ke-10 hingga Digemari Orang Belanda
Pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, pembantu rumah tangga yang mahir membuat sambal akan mendapatkan tempat khusus karena membuat majikan senang
Editor: Widi Wahyuning Tyas
TRIBUNBATAM.id - Sambal menjadi salah satu hidangan pelengkap yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Indonesia.
Rasanya yang pedas dan gurih selain menggugah selera juga menambah kenikmatan lauk pauk lainnya.
Bahkan tak sedikit dari kita yang merasa tak bisa makan bila tak ada sambal.
Ada banyak jenis kreasi sambal khas Nusantara, seperti sambal terasi, sambal bawang, sambal korek, sambal domba, sambal ijo, dan masih banyak lagi.
Sejarah sambal di Indonesia ternyata sudah ada sejak abad ke-10.
Dilansir dalam buku Indonesia Poenja Tjerita (2016) karya Eka Saputra, Pendeta PJ Veth mengatakan bahwa cabai sudah ada pada masa Jawa kuno dan menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual.
Bahkan dalam teks Ramayanan menyebutkan cabai sebagai salah satu jenis makanan.
Membuat noni-noni Belanda menangis
Pada zaman penjajahan Belanda tidak sedikit noni-noni atau perempuan Belanda yang ikut datang ke Indonesia.
Bahkan ada beberapa orang Belanda yang dengan sengaja datang berkunjung ke Indonesia sebagai turis.
Dalam beberapa buku panduan turisme yang dibawa mereka, dituliskan bahwa para calon wisatawan harap berhati-hati ketika menyantap sambal karena rasanya yang pedas dan membuat perut sakit.
Saat itu di Eropa memang tidak terlalu familiar dengan jenis makanan sambal.
Rasa pedas yang orang Eropa tahu hanya sebatas lada, merica, dan cabai.
Salah satu pengusaha cerutu asal Amsterdam, Justus Maurik menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Batavia.
Pada sebuah acara, dihidangkan menu rijsttafel dan salah satu menunya adalah spaanse peper atau cabai rawit.
Di sana dirinya melihat banyak noni-noni Belanda yang menjadi tamu jamuan memiliki wajah yang memerah di pipinya dan matanya berair seperti akan menangis.
Salah satu jurnalis Belanda, Augusta Wit juga memiliki pengalaman yang sama ketika menyantap sambal pada kunjungannya di Batavia.
Bahkan dirinya mengatakan bahwa pengalamannya mencicipi sambal menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Di mana dia merasakan bibirnya gemetar kepedasan, lehernya seperti terbakar dan air mata bercucuran.
Dibawa ke Belanda
Pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, para pembantu rumah tangga yang mahir membuat sambal akan mendapatkan tempat khusus karena membuat majikan senang.
Sehingga para pembantu rumah tangga yang pintar membuat sambal akan memiliki harga pasaran yang cukup tinggi saat itu.
Karena saking sukanya, banyak orang Belanda yang akan membawa pembantu rumah tangganya ikut kembali ke Belanda.
Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan keahlian membuat sambal, banyak para pembantu itu membuka rumah makan indies di Belanda.
Tradisi makan sambal
Pernahkah kalian mengambil sambal tapi hanya ditaruh di pinggir piring dan tidak dicampur dengan nasi?
Tradisi tersebut ternyata pertama kali dilontarkan oleh Louis Couperus.
Dalam bukunya Oostwaarts (1992), dirinya mengingatkan para turis yang belum pernah mencicipi sambal ulek untuk tidak mencapurnya di nasi.
Melainkan meletakkan sambal tersebut di pinggir piring.
Kemudian untuk menikmatinya, setiap suap nasi ditenami oleh daging ayam, sapi, atau ikan untuk kemudian dicocolkan sedikit pada sambal.
Revolusi industri Eropa
Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2019), pada saat revolusi industri yang melanda Eropa pada abad ke-18, kegiatan produksi dibuat secara massal.
Warga Eropa yang ingin merasakan sensasi sambal, namun tidak bisa membuat sambal dengan cobek akhirnya memodifikasi sambal tersebut menjadi saus sambal dan tomat yang dikemas dalam botol.
Meski begitu, rasa sambal tetap berbeda.
Sambal ulek tetap memberikan sensasi dan pengalaman yang berbeda.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sambal Nusantara, Membuat Orang Eropa Menangis".