DPR Sudah Mengesahkan, Bagaimana Cara Membatalkan UU Cipta Kerja? Ini Kata Pakar Hukum
Pengesahan UU Cipta Kerja pun memicu aksi demonstrasi di berbagai kota. Lantas, bagaimana membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja?
Editor Danang Setiawan
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengesahkan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi Undang-undang pada Rapat paripurna DPR RI pada Senin (5/10/2020).
Dalam Rapat paripurna DPR RI, sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-undang.
Tujuh partai yakni, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan, dua partai menyatakan menolak pengesahan UU Cipta Kerja yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Lantas, bagaimana membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja?
• Polisi Tangkap 10 Orang Pemicu Kericuhan Demo Tolak UU Cipta Kerja di Bandung, Bukan Buruh?
• UU Cipta Kerja Disahkan, Akun Instagram Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Diserbu Netizen
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan tidak ada cara untuk membatalkan UU Cipta Kerja.
"Intinya ya kalau sudah diketok seperti ini, tidak ada lagi. Tidak ada lagi sama sekali cara untuk membatalkan," kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/10/2020).
Namun, lanjut dia, kalau di atas kertas, terdapat cara dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan Permerintah Pengganti Undang-Undang).
"Perppu juga bukan membatalkan, tapi membuat materi muatan UU baru dalam bentuk Perppu menggunakan kekuasaan Presiden untuk mengeluarkan Perppu, 'bila ada hal ihwal kegentingan memaksa'," ujar Bivitri.
Sehingga, Perppu juga bukan prosedur biasa, harus abnormal dengan alasan kegentingan memaksa.
"Jadi sebenarnya enggak ada mekanisme (pembatalan) itu," tuturnya.
Bivitri melanjutkan, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menuliskan proses pembentukan Perppu mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Ia menjelaskan, Perppu merupakan wewenang khusus Presiden berdasarkan Pasal 22 Konstitusi dan dalam hal ihwal kegentingan memaksa, dan tidak termasuk "prosedur tambahan".
Sementara, dalam hal mengajukan permohonan uji materi atau judicial review terhadap UU ke Mahkamah Konstitusi (MK), ia mengatakan juga bukan bersifat "membatalkan".
"Kalau MK itu menguji inskonstitusionalitas, dan belum tentu juga hakim setuju," ujarnya.