RAMADHAN 2021
Warga Kampung Budus Lingga Meriahkan Tradisi Malam Tujuh Likur atau 27 Ramadhan
Salah satunya yakni tradisi malam tujuh likur. Tradisi malam tujur likur merupakan tradisi yang berlaku ketika memasuki 10 terakhir bulan Ramadhan.
LINGGA, TRIBUNBATAM.id - Meski dihadang dengan pandemi Covid-19, tak menyurutkan semangat masyarakat Lingga, Provinsi Kepri untuk memeriahkan tradisi yang sudah ada sejak dulu.
Salah satunya yakni tradisi malam tujuh Likur. Tradisi malam tujur likur merupakan tradisi yang berlaku ketika memasuki 10 terakhir bulan Ramadhan.
Adapun tradisi tersebut ditandai dengan pemasangan lampu penerangan dari bahan bakar minyak tanah atau pelita yang dipasang di depan rumah maupun dihiasi sepanjang jalan.
Dimulai dari malam 21 Ramadhan yang berati Satu Likur sampai kepada malam puncak 27 Ramadhan, yakni tujuh likur.
Sesuai namanya, pemasangan pelita dilakukan sesuai jumlah likur, yang berati satu pelita merupakan satu likur di malam 21 Ramadhan, hingga seterusnya.
Semangat masyarakat Lingga untuk melestarikan tradisi ini tidak tergoyahkan dalam situasi apapun.
Salah satunya yakni, semangat para pemuda di Kampung Budus, Desa Merawang, Kecamatan Lingga yang memeriahkan tradisi tujuh likur ini dengan membangun gerbang yang dihiasi lampu penerangan.
Tepat di samping Masjid Al-Muttaqin, dengan gerbang yang menyerupai kubah masjid itu dikerjakan oleh belasan hingga puluhan pemuda Kampung Budus.
Dari pantauan TRIBUNBATAM.id, sekelompok pemuda yang tergabung dalam kepanitiaan kecil itu, antusias menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk menyempurnakan pembuatan pintu gerbang itu.
Mewakili Pemuda Kampung Budus, Rangga selaku Ketua Panitia pintu gerbang mengatakan bahwa mereka telah mempersiapkan gerbang tersebut selama lebih kurang 23 hari.
"Kami sebenarnya mengalami keterlambatan persiapan, ya mungkin terkendala cuaca yang sering hujan," kata Rangga, Sabtu (8/5/2021).
Rangga menuturkan, tujuan dibuatnya gerbang yang menghiasi jalan Kampung Budus itu agar bisa merasakan kemeriahan di malam 27 Ramadhan dan bisa dipandang indah oleh masyarakat.
Ia melanjutkan, bahwa diharapkan nantinya hal tersebut bisa menjadi tradisi yang tak lekang oleh waktu, dan bisa dibuat atau dimeriahkan lagi untuk tahun-tahun berikutnya.
"Semoga tradisi ini tetap terjaga, karena memang saat kami kecil dulu, tradisi ini sangat ditunggu-tunggu oleh kami, apalagi dengan adanya pintu gerbang, nampak megah lampu penerangan Tujuh Liko ni," ucapnya.
Ia juga berterima kasih kepada pemuda setempat maupun masyarakat, yang telah membantu bertisipasi dan tetap kompak dalam mempersiapkan malam tujuh likur itu.
"Semoga dengan ini kita menjadi contoh bagi adik-adik kita, agar tetap menjaga kelestarian malam Tujuh Liko ini," harapnya.
Sementara itu, Andira yang merupakan pemuda yang baru pulang dari Tanjungpinang mengatakan, bahwa suasana Tujuh Likur merupakan suasana yang paling ingin dilihat oleh anak rantauan Lingga di luar sana.
Salah satu alasannya pulang ke Kampung Budos, umumnya Lingga itu selain untuk merayakan lebaran, ia juga mengaku sangat menanti-nanti keindahan malam tujuh likur di kampungnya itu.
"Inilah yangg dinanti nanti anak perantau sewaktu pulang kampung, karena kemeriahan malam 7 liko ini, selain merayakan dengan adanya pintu gerbang dan seribu pelite pada malam 7 liko, juga dapat berkumpul sama sanak saudara," ucapnya.
Lazuardy selaku pemerhati sejarah Lingga mengatakan, bahwa tradisi malam tujuh likur ini sudah berkembang setelah era kemerdekaan.
Pria yang juga bekerja di Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga juga mengatakan, bahwa tradisi malam Tujuh Likur dan pintu gerbang sudah masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Lingga sejak 2019 lalu.
"Malam Tujuh Liko yang terdapat pada malam 27 Ramadhan ini selalu dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar yang terdapat pada malam ganjil, yang dimana malam itu lebih baik dari seribu bulan. Makanya dari awal malam 21 Ramadhan masyarakat Lingga sudah memasangkan lampu penerangan," kata Lazuardy.
Lazuardy juga menyampaikan, bahwa peringatan malam tujuh likur ini juga mengingatkan, bahwa sebelumnya umat Islam berada pada zaman kegelapan atau malam kebodohan hingga sampai kepada zaman yang terang benderang yang penuh dengan kemajuan.
"Tujuh Likur ini juga yang dimulai pada tahun 80-an, mereka mempererat silaturahim, berkunjung, berbagi rezeki, hingga merayakan berbuka bersama," ucapnya.
Sejarawan Lingga ini juga mengungkapkan, bahwa sering berkembangnya zaman, tradisi Tujuh Likur sudah mengalami perubahan ke hal yang lebih canggih.
"Dulu pada masa 70-an, masyarakat Melayu Lingga khususnya memanfaatkan bahah-bahan bekas atau seadanya untuk membuat pintu gerbang. Namun sekarang, sudah ada pakai triplek, terpal, maupun lampu penerangan dari listrik yang biasanya hanya dibuat dengan lampu minyak tanah atau pelita," ungkapnya.
Lazuardy berharap, meski berjalannya waktu, namun tradisi kemeriahan malam Tujuh Likur ini harus tetap dijaga sampai kapanpun, khususnya di Kabupaten Lingga, Negeri Bunda Tanah Melayu.(TribunBatam.id/Febriyuanda)