Siap-siap, Pemerintah Bakal Naikan PPN Jadi 12 Persen
Tarif PPN sebesar 12 persen itu dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5 persen hingga paling tinggi sebesar 15 persen.

TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari 10 persen yang berlaku saat ini.
Ketentuan tarif sebesar 12 persen itu tertuang dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang bakal dibahas bersama DPR.
"Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 12 persen," tulis Pasal 7 draf RUU KUP. Senin (7/6/2021).
Kendati demikian, tarif PPN sebesar 12 persen itu dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5 persen hingga paling tinggi sebesar 15 persen.
Pengenaan tarif pajak paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen diatur pada pasal tambahan, yakni Pasal 7A. Pasal tersebut menuliskan, PPN dapat dikenakan tarif berbeda-beda tergantung jenis barang/jasa.
Hal ini pun mengafirmasi adanya skema multitarif PPN yang dirancang pemerintah.
Tarif yang berbeda bisa daja dikenakan pada penyerahan barang/jasa kena pajak tertentu, impor barang kena pajak tertentu, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu, dan pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar/dalam daerah pabean.
"Tarif berbeda sebagaimana dimaksud dikenakan paling rendah 5 persen dan paling tinggi 25 persen," bunyi draf tersebut.
Pemerintah juga menetapkan tarif PPN sebesar 0 persen untuk ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
Meski baru pembahasan, kenaikan tarif pajak 12 persen mendapat sorotan dari pelaku industri.
Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, kenaikan tarif pajak mencapai 12 persen perlu momentum yang tepat. Pasalnya, kenaikan tarif akan menaikkan biaya operasional perusahaan, yang notabene sudah sulit saat menghadapi pandemi Covid-19.
Biaya operasional yang dimaksud adalah pembelian bahan baku yang terkena PPN. "Kenaikan bahan baku akan menaikkan harga produk. Dampaknya bisa daya beli masyarakat berpotensi menurun dan akan menyumbang inflasi," kata Sarman, Selasa (8/6/2021).
PPN yang ditanggung konsumen ini dinilai perlu menjadi pertimbangan pemerintah. Sebab saat ini, konsumsi rumah tangga masih tumbuh minus meski kenaikan PPN hanya 2 persen.
"Kondisi ekonomi kita masih di zona resesi perlu pertimbangan matang pemerintah. Perlu pertimbangan dan kehati-hatian," beber Sarman
Memang kata Sarman, ketika ekonomi pulih pemerintah perlu menggenjot penerimaan negara dengan menaikkan jumlah wajib pajak atau membuat kebijakan baru. Namun, momentum kenaikan tarif PPN ini perlu dipertimbangkan lagi secara matang.
"Menurut hemat kami momentumnya harus tepat sehingga efektivitasnya dapat dirasakan oleh pemerintah. Dan pelaku usaha tidak terbebani dengan kewajiban membayar pajak, di satu sisi kondisi ekonomi kita masih posisi resesi," ucap Sarman.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo berkata, barang-barang kebutuhan masyarakat kemungkinan akan dikenakan tarif pajak kurang dari 10 persen. Yustinus menuturkan, kenaikan PPN dengan skema tersebut merupakan cara pemerintah mengurangi distorsi dan menciptakan asas keadilan.
Menurut Yustinus, kenaikan tarif PPN atas barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas membuat pemerintah memberikan fasilitas pajak secara lebih tepat sasaran. Yustinus lantas menyebutkan, kebijakan ini bisa saja baru diimplementasikan pada 1-2 tahun ke depan.
Saat ini, pemerintah masih merancang payung aturan agar lebih komprehensif.
"Kita ingin justru memberikan dukungan bagi akses publik terhadap barang-barang yang dibutuhkan, yang selama ini mungkin dikenai pajak 10 persen, nanti bisa dikenai pajak 5 persen atau 7 persen," kata Yustinus dalam diskusi Infobank secara virtual, Kamis (3/6/2021). (*)