BERITA SINGAPURA

Masyarakat Singapura Frustasi Pasca Kasus Covid -19 Kembali Melonjak

Frustasi masyarakat Singapura muncul setelah pemerintah setempat kembali memberlakukan pengetatan karena melonjaknya angka Covid-19 di negeri Singa te

(Roslan RAHMAN / AFP)
SINGAPURA - Orang-orang berjalan di sepanjang jembatan penyeberangan di kawasan bisnis keuangan di Singapura pada 25 Juni 2021.(Roslan RAHMAN / AFP) 

TRIBUNBATAM.id, SINGAPURA - Pandemi Covid-19 tak hanya menghantam sektor ekonomi dan financial, namun juga berdampak pada mental manusia.

Banyak yang merasa frustasi dan tak berdaya menghadapi pandemi yang tak kunjung selesai dan belum jelas kapan berakhir.

Seorang psikiater di Nobel Psychological Wellness Clinic, Thong Jiunn Yew mengatakan, masyarakat Singapura merasa frustasi menghadapi pandemi Covid-19.

Frustasi masyarakat Singapura muncul setelah pemerintah setempat kembali memberlakukan pengetatan karena melonjaknya angka Covid-19 di negeri Singa tersebut. 

Sebelum ada pengetatan kembali, pemerintah Singapura sempat melonggarkan pembatasan.

Di saat pelonggaran tersbebut, masyarakat mulai merencanakan perjalanan, dan sektor bisnis mulai meningkatkan operasionalnya.

"Perubahan seperti itu menyebabkan kekecewaan, dan orang mungkin merasa frustrasi dan tidak berdaya," papar Thong Jiunn Yew, dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (5/8/2021).

"Mereka mungkin juga merasa hilang kendali, beberapa merasa bahwa dengan mematuhi aturan pun, klaster masih akan tetap muncul, dan jumlahnya (kasus) terus meningkat," sambungnya.

Singapura kembali memasuki pembatasan fase 2, yakni kategori Peringatan Tinggi sejak 22 Juli lalu hingga 18 Agustus setelah muncul klaster Pelabuhan Perikanan Jurong. Klaster ini terbesar di negara itu, dengan catatan 1.097 kasus pada Selasa (3/8/2021) lalu.

Baca juga: DERETAN Mobil Baru Murah Mulai Rp 100 Jutaan di Bulan Agustus 2021

Singapura sebelumnya juga mencatat kluster karaoke plus-plus dan sistem transportasi perkotaan di mana Covid-19 menginfeksi para sopir bus.

Thong menekankan, banyak orang yang mungkin akhirnya merasa tidak yakin dengan masa depan mereka dan langkah selanjutnya yang harus diambil di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.

"Saya melihat ini terjadi pada banyak pasien yang tidak dapat memutuskan rencana pendidikan atau karir yang akan mereka ambil," terangnya.

"Ketidakpastian ini telah menyebabkan kecemasan yang signifikan. Pada individu dengan gangguan kecemasan, perubahan ini bahkan meningkatkan ketakutan dan kecemasan," tambahnya.

Peringatan peneliti China varian baru mematikan

Sementara itu, peneliti terkenal di laboratorium Wuhan, China, Shi Zhengli memperingatkan varian Covid-19 yang lebih mematikan akan segera muncul bersamaan dengan penyebaran virus corona yang tak kunjung usai.

Wanita berjuluk 'perempuan kelelawar' karena dedikasinya meneliti virus pada hewan itu selama 16 tahun terakhir tersebut menjadi satu ilmuwan ternama yang menemukan puluhan jenis virus corona di dalam goa kelelawar.

Namanya dikenal karena menjadi sosok pertama yang membongkar genome SARS-Cov-2, ketika pertama terdeteksi di Desember 2019.

Dalam wawancara terbaru, Shi memperingatkan dunia bisa kembali dihantam varian Covid-19 yang lebih mematikan.

"Karena jumlah kasus infeksi terlalu besar, memungkinkan corona untuk bermutasi," katanya kepada media China People's Daily.

Baca juga: Berlibur Seru di Harris Resort Barelang Batam, Ada Kejutan Bagi yang Berulang Tahun di Bulan Agustus

"Varian baru akan terus bermunculan," lanjut Shi, sebagaimana diberitakan Daily Mirror pada Kamis (5/8).

Pernyataan Shi itu muncul setelah beredar klaim varian terbaru akan membunuh lebih dari sepertiga yang terpapar.

Dokumen yang dipublikasikan Scientific Advisory Group for Emergencies (SAGE) menyatakan, galur virus corona di masa depan bisa seperti MERS.

Panel yang menjadi penasihat di kala pandemi itu mengatakan, mutasi tersebut dimungkinkan jika virusnya beredar luas.

Adapun, WHO melalui Komite Darurat juga sempat memperingatkan, varian baru Covid-19 yang lebih berbahaya diperkirakan akan menyebar ke seluruh dunia, sehingga lebih sulit untuk menghentikan pandemi.

"Pandemi belum selesai. Kemungkinan kuat munculnya dan penyebaran global varian baru, mungkin lebih berbahaya dari yang dikhawatirkan, bahkan bisa lebih menantang untuk dikendalikan," kata komite itu, dikutip dari AFP.

"Pandemi tetap menjadi tantangan secara global, dengan negara-negara menavigasi tuntutan kesehatan, ekonomi, dan sosial yang berbeda," lanjut Komite Darurat WHO.

"Negara-negara dengan akses lanjutan ke vaksin dan sistem kesehatan yang memiliki sumber daya yang baik berada di bawah tekanan untuk membuka kembali kehidupan masyarakat mereka sepenuhnya. Di sisi lain, Negara-negara dengan akses terbatas ke vaksin mengalami gelombang infeksi baru, melihat tergerusnya kepercayaan publik, (dan) meningkatnya kesulitan ekonomi, serta dalam beberapa kasus meningkatkan kerusuhan sosial."

WHO : tren varian baru mengkhawatirkan

Ketua Komite Darurat WHO, Didier Houssin mengakui, tren baru-baru ini mengkhawatirkan. "Selama 1,5 tahun setelah WHO pertama kali menyatakan Darurat Kesehatan Masyarakat Perhatian Internasional (PHEIC) sebagai tingkat kewaspadaan tertinggi, kami masih mengejar virus ini dan virus masih mengejar kita," ucapnya.

Untuk saat ini, empat varian Covid-19 mendominasi pandemi global, yaitu Alpha, Beta, Gamma, dan terutama varian Delta yang menyebar cepat. Akan tetapi, komite memperingatkan, yang lebih buruk bisa terjadi di depan.

Para ahli mengatakan, sebagai akibatnya banyak negara menerapkan kebijakan yang semakin berbeda dalam menangani kebutuhan nasional, sehingga menghambat pendekatan yang selaras untuk respons penanganan global.

"Penggunaan masker, menjaga jarak, menjaga kebersihan tangan, dan peningkatan ventilasi ruang dalam ruangan tetap menjadi kunci untuk mengurangi penularan."

Para pakar juga menekankan kebutuhan memvaksinasi setidaknya 10 persen dari populasi setiap negara pada September, dan pembagian vaksin antara negara kaya dan negara miskin.

"Banyak negara sekarang telah memvaksinasi populasi prioritas mereka, direkomendasikan bahwa dosis harus dibagi dengan negara-negara yang memiliki akses terbatas sebelum memperluas program vaksinasi nasional ke kelompok berisiko rendah."

Baca juga: Bisa Pesan via GoFood, Chatime Beri Potongan Harga untuk Menu Favorit

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus sempat menyatakan, angka kematian pandemi yang memburuk dan tingkat infeksi yang cepat didorong oleh varian Delta yang sangat menular, yang dianggap lebih mematikan daripada jenis virus corona asli.

Menurut dia, varian Delta sejauh ini terdeteksi di setidaknya 132 negara, dan telah meningkatkan infeksi covid-19 secara global sebesar 80 persen dalam empat minggu terakhir pada Juli.

Tedros menyebut distribusi global vaksin tidak adil. WHO bahkan menyerukan moratorium suntikan booster vaksin covid-19 setidaknya hingga akhir September 2021.

Melansir Al Jazeera, rencana itu dimaksudkan untuk memungkinkan setidaknya 10 persen dari populasi setiap negara di dunia divaksinasi.

“Saya memahami kepedulian semua pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari varian Delta. Tetapi kami tidak dapat menerima negara-negara yang telah menggunakan sebagian besar pasokan vaksin global dan menggunakan lebih banyak lagi," ucap Tedros. (*)

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved