Masjid Agung Al-Hikmah Tanjungpinang Dulu Masjid Keling Dibangun Pedagang India
Tanjungpingpinang merupakan Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini banyak mencatat sejarah, baik budaya Melayu maupun agama.
Penulis: Endra Kaputra | Editor: Agus Tri Harsanto
TRIBUNBATAM.id - Tanjungpingpinang merupakan Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini banyak mencatat sejarah, baik budaya Melayu maupun agama.
Salah satu bangunan bersejarah di Tanjungpinang adalah Masjid Al-Hikmah yang sekarang statusnya menjadi Masjid Agung.
Posisinya terletak di Jalan Masjid nomor 1, Kelurahan Tanjungpinang, Kecamatan Tanjungpinang Kota.
Dari Pelabuhan Sri Bintan Pura (SBP) Tanjungpinang, hanya butuh waktu sekitar 5 menit saja menggunakan kendaraan menuju masjid.
Rutenya, saat keluar pelabuhan, langsung belok kiri. Jalan lurus melewati satu persimpangan.
Setelah itu ada simpang tiga dan Anda langsung belok kanan. Terus mengikuti jalan utama sekitar 150 meter, menara masjid akan sudah terlihat pada posisi sebelah kanan.
Masjid ini memiliki sejarah panjang. Berdasarkan situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dulunya masjid tersebut bernama Masjid Keling.
Namun kini tinggal nama dan sejarah. Soalnya, bentuk fisik Masjid Keling ini tak ditemukan lagi.
Sejak tahun 1956, di atas lahan Masjid Keling, dibangun masjid baru bernama Masjid Al Hikmah.
Masjid Keling diperkirakan dibangun abad ke-19. Saat pendeta (misionaris) Eberhard Rottmann Rottge dari Belanda datang ke Tanjungpinang tahun 1834 mengantikan Pendeta Dirk Lenting, ia sudah melihat keberadaan Masjid Keling ini.
Selain masjid, juga ada kelenteng yang lokasinya berdekatan. Saat itu belum ada gereja yang lokasinya juga berdekatan.
Namun dalam peta 1860, ada tiga bangunan rumah ibadah di lokasi yang berdekatan. Masjid Keling, kelenteng serta Gereja Protestan yang kini dikenal dengan Gereja GPIB atau sering juga disebut Gereja Ayam –karena di puncak gereja ada patung ayam.
Sejarah keberadaan Masjid Keling ini erat kaitannya dengan komunitas perantau dari Anak Benua India (India Subcantinetnt) di Tanjungpinang.
Mereka terdiri dari orang keling, coromandel, benggali, bombai dan sikh.
Di Tanjungpinang pada abad ke-19 , semua penduduk yang berasal dari Anak Benua India ini disebut orang keling. Orang Tanjungpinang biasanya menyapa mereka dengan panggilan “bai” yang berarti saudara.
Nama panggilan ini biasanya disandingkan dengan jenis profesi yang mereka geluti. Oleh karena itu dulu di Tanjungpinang di kenal bermacam- macam bai.
Sejarawan Aswandi Syahri menyebut, imigran asal India yang singgah di Tanjungpinang pada abad 19 itu bukan untuk menetap.
Mereka hanya berdagang kain, roti, rempah-rempah, dan obat-obatan.
Setelah beberapa waktu menetap di Tanjungpinang, sekumpulan orang keling ini pun bersepakat membangun satu rumah ibadah.
Orang-orang keling saat itu, ketika beribadah masih menggunakan ritual-ritual islam ala India.
Aswandi meyakini Masjid Keling dibangun setelah vihara dan lebih dulu dari Gereja Ayam.
Taksiran Aswandi ini merujuk pada arsip laporan pembangunan Gereja Ayam, yang menyebutkan, pendeta mengeluhkan ketiadaan gereja di Tanjungpinang.
Bila benar demikian, masjid yang terletak di jantung kota ini diperkirakan sudah berusia lebih dari satu abad.
Namun, tak satu pun dari masjid ini bangunan asli. Ihwal bentuk Masjid Keling yang juga disebut Masjid Kuala Sungai itu, kata Aswandi, juga tidak diketahui, karena tak ada satu pun foto dokumentasinya. Namun, diperkirakan bangunan asli Masjid Keling ini berbentuk panggung.
Perkiraan Aswandi ini berpulang pada ingatannya mengunjungi sebuah pameran sejarah ketika perayaan ulang tahun Kota Tanjungpinang 6 Januari 1987 silam di Gedung Olahraga Kacapuri.
Ada orang yang memamerkan lukisan sketsa Masjid Keling yang masih berbentuk rumah panggung.
Hal ini sebuah kemungkinan yang lazim.
Pasalnya, di abad 19 silam, arsitektur khas bangunan di Tanjungpinang adalah berbentuk panggung meski bangunan itu jauh dari laut.
Keberadaan Orang Keling di Tanjungpinang tak bertahan lama. Rombongan kecil para pedagang asal India itu meninggalkan Tanjungpinang di pertengahan 1950-an.
Kebanyakan mereka memilih pergi ke Singapura atau Medan, sebagai basis besar orang keling terdekat dari Tanjungpinang.
Namun, ada pula sebagian kecil orang keling memilih menetap di Tanjungpinang dengan mempersunting orang tempatan.
Bangunan Masjid Al Hikmah telah tiga kali mengalami renovasi sejak tahun 1956 ketika masih Kabupaten Kepuluan Riau.
Bentuk aslinya terbuat dari kayu kapur atau kayu merah. Replika masjid ini sekarang ada di Dabo Singkep yang bernama Masjid Al-Zulfa.
Mimbar masjid dibuat pada tahun 1960-an dengan menggunakan kayu jati. Masjid Al-Hikmah setelah dilakukan penambahan dan perombakan sebanyak tiga kali, luasnya menjadi sekitar 35x30 meter persegi, bisa menampung jamaah antara 3000 hingga 4000 jamaah.
Menara masjid dibangun pada masa Pemerintahan Kabupaten Kepri dulu masih bergabung dengan Provinsi Riau. Waktu itu Bupati Marwanto membangun menara ini setinggi 36 meter.
Menara masjid ini menjadi ikon Kota Tanjungpinang sebagai kota melayu yang menjunjung tinggi adat istiadat yang islami.
Masjid Agung Al Hikmah kini dilengkapi dengan sejumlah fasilitas yang mendukung aktivitas ibadah bagi para pengunjung. Selain ruang salat, perpustakaan, dan aula serbaguna di kompleks masjid ini ada juga Tempat Pendidikan Alquran (TPA), taman bermain, kantor sekretariat, serta area parkir yang cukup luas. (endra kaputra)