TADARUS RAMADAN

Pengaruh Puasa terhadap Kesahalehan Sosial

Puasa adalah mengatur konsumsi dan mengatur perilaku, berarti suksesnya orang berpuasa adalah adanya perubahan positif pada pola konsumsi dan perilaku

zoom-inlihat foto Pengaruh Puasa terhadap Kesahalehan Sosial
Tribunnews Batam/ Istimewa
Chablullah Wibisono

Pengaruh Puasa terhadap Kesahalehan Sosial

oleh: Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MM

Rektor UNIBA, Waketum MUI Kepri, Ketua Majlis Ekonomi Syariah DMI Kepri, Penasehat PW Muhammadiyah Kepri

=================================================

Puasa adalah mengatur konsumsi dan mengatur perilaku, berarti suksesnya orang berpuasa adalah adanya perubahan positif pada pola konsumsi dan perilaku kesalehan social. Ada hubungan kausalitas antara variable puasa dengan variable kesalehan sosial. Dimensi kesalehan sosial dalam ibadah puasa sangat jelas, yaitu orang yang puasa harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Ini merupakan latihan spiritual agar kita mampu mengendalikan diri dari dorongan syahwat luwamah yang berpusat di perut.

Puasa merupakan sarana agar kita bisa berempati kepada orang-orang miskin. Orang yang selalu kenyang tidak merasakan kepada orang yang lapar. Mungkin itu sebabnya, ketika Malaikat Jibril AS menawarkan kepada Rasulullah SAW kekayaan melimpah (bukit emas), beliau menolaknya, seraya bekata: "Biarlah aku kenyang sehari dan lapar sehari Dari fenomena ini terbukti secara empiris bahwa puasa dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia.

Puasa yang pada proses amaliahnya mengandung pelatihan dan ajaran spiritual serta ekonomi, oleh karena itu agar puasa tidak sekedar menahan haus dan lapar belaka (HR.Ahmad), maka lebih subtantif puasa seharusnya berdampak pada pembangkitan energy spiritual dan kesalehan sosial, serta dijamin sehat wal afiat, kuat dan tidak mudah lelah, energik dan produktif.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.

Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.

Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S.Al Baqarah:183-185)

Dalam bahasa ekonomi puasa dapat diurai dengan mengandung tiga dimensi, yaitu: dimensi fisiologi,
dimensi psikologi dan dimensi spiritual. Dengan demikian, pendekatan yang paling dikedepankan dalam
memahami puasa adalah dengan pendekatan keimanan (spiritual) untuk mencapai target taqwa.

Ditinjau dari segi teknologi modern, ditemukan bahwa penelitian modern mengungkapkan kenyataan bahwa puasa meningkatkan keimanan kepada pencipta dan puasa dapat memperpanjang usia manusia dan menghindarkannya dari sejumlah kelainan fisik dan penyakit. Penelitian gejala puasa di laboratorium ilmiah, para ahli berpendapat bahwa puasa sebagai suatu gejala fisiologi dan bukan semata-mata suatu hasil proses iradah, puasa adalah suatu keharusan hidup dan kesehatan (Al-Fanjari, 1990: 76).

Puasa adalah mengatur perilaku dan konsumsi, mengendalikan nafsu berarti menyimpan energi spiritual yang dilakukan oleh seorang muslim mulai fajar sampai maghrib untuk mendapatkan keshalehan sosial. Jika pelaksanaan puasanya dilakukan secara tepat dan konsisten, maka berpuasa dapat meningkatkan keshalehan sosial.

Penelitian dalam kedokteran Islam (Thaha, 1983:117), terdapat aspek spiritual yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan keshalehan sosial. Mengajarkan cinta kasih antara manusia, memberikan rasa harap, kreatif, dan selalu optimis memandang hidupnya, meresapi arti dan efektifitas ibadahnya, pengabdian yang murni terbuka kepada Allah.

Selain itu, mengajarkan manusia bersabar hati, meningkatkan kewaspadaan dari nafsu jahat, mempelajari manusia cara menabung, memperbanyak amal sosial (kesalehan social) dan shadaqah.

1. Puasa fisiologi.
Puasa yang diberi makna menahan diri dari makan, minum, dan mengeluarkan sperma dari terbit fajar
hingga matahari terbenam, ini adalah puasa fisiologi yang derajatnya masuk kategori rendah, karena hanya fisiknya yang puasa dan hasilnya hanya lapar dan haus belaka. Rasulullah SAW bersabda “ Betapa Banyak Orang berpuasa tapi tidak mendapat (pahala dan kebersihan jiwa) apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar, dan betapa banyak orang yang sholat malam (tarawih) tapi tidak mendapatkan apa-apa selain begadang saja” (HR An-NAsai). Dalil tersebut seharusnya menjadi warning atau peringatan dini bagi kita dalam meniti harihari Ramadhan, agar tidak termasuk golongan yang rugi dalam arti berpuasa tanpa pahala, tanpa capaian derajat keshalehan social.

Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dengan ekonomi Islam dalam aspek konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis sematamata dari pola konsumsi modern. Allah SWT berfirman dalam Surat Al A’raaf ayat 31: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Kementrian Agama, 2013: 225).
Allah SWT berfirman dalam Surat Al Mu’minun ayat 21: “Sesungguhnya pada binatang-binatang ternak,
benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu air susu yang ada dalam perutnya dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu dan sebagian dari kamu makan” (Kementrian Agama, 2013: 528). Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang berhubungan dengan berbagai jenis makanan yang penting bagi makhluk hidup. Manusia pada khususnya dianjurkan untuk memakan makanan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT di muka bumi ini. (Rahman, 1995: 35)

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an Surat Saba’ ayat 15 : “Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadanya” (Kementrian Agama, 2013: 685) Rasulullah menyimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok bagi setiap anggota masyarakat harus tersedia (Rahman,1995: 40-41). Kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, yang perlu bagi peningkatan efisiensi kerja disebut “kebutuhan tepat guna”. Oleh karena itu puasa adalah ibadah yang diajarkan Islam untuk mengatur kebutuhan konsumsi secara tepat guna sehingga menghasilkan dasar-dasar untuk mencapai derajat keshalehan social.

2. Puasa psikologi
Tingkatan shiyam atau shaum yang lebih tinggi lagi adalah: menahan diri dari, qolbu dan pikiran dari
berbagai macam dosa. Allah melengkapi potesi manusia dengan rasio, akal, qolbu, nafsu (ammarah, sopiah, muthmainnah). Dalam Al Qur’an banyak pentunjuk sangat rinci untuk memupuk nilai-nilai keshalehan sosial, tujuannya adalah untuk mengembangkan semua kecakapan, keterampilan, secara terkoordinasi dan bermanfaat.

Apapun yang telah didelegasikan Allah kepada manusia baik kecakapan batin maupun kecakapan lahir harus digunakan semaksimal mungkin dan seakurat mungkin, selektif dan efisien. Pemanfaatan potensi tersebut harus disinergikan dan diatur sesuai sunatullah kalau tidak potensi tersebut tidak lagi merupakan kekuatan moral spiritual. (Mannan, 1992: 358-359) Manusia mempunyai naluri secara alami dan secara sunatullah dapat diubah menjadi sifat-sifat moral melalui pengaturan dan penyesuaian yang tepat dengan menggunakan pertimbangan Al Qur’an, As-sunnah. Puasa tidak semata-mata hanya sekedar menahan makan-minum dan bergaul suami isteri tetapi puasa yang menyertakan instruman psikkologi sehingga dapat mencapai derajat keshalehan sosial.

Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang perjalanan sejarah umat manusia adalah fenomena
religiusitas (Religiosity). Untuk menerangkan fenomena ini secara ilmiah, bermunculan beberapa konsep religiusitas. Salah satu konsep yang akhir-akhir ini banyak dianut ahli Psikologi dan Sosiologi adalah konsep religiusitas rumusan Glock and Stark (1968: 11).

Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya
terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (berpuasa), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan spiritual. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, religiusitas seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak. Ada lima macam dimensi religiusitas yaitu; dimensi keyakinan, dimensi peribadatan atau praktek agama, dimensi penghayatan, dimensi pengamalan, dan dimensi pengetahuan agama (Ancok, 1995: 77).

Keterlibatan akal murni telah dijadikan sebagai standar dan timbangan bagi segala persoalan. Akal itu tidak akan mendapat arah yang benar kecuali dengan bantuan syariah dan syariah tidak akan menjadi jelas kecuali dengan bantuan akal. Jadi akal itu sama dengan pondasi dan syariah sama dengan bangunannya. Pondasi tidak akan lengkap tanpa bangunan, sementara bangunan tidak pernah kuat tanpa pondasi. Akal juga sama dengan penglihatan dan syariah sama dengan sinar. Penglihatan tidak akan lengkap jika tidak ada sinar dari luar dan sinar juga tidak akan memadai jika tidak ada penglihatan (Al Munnawar, 1994: 9).

Teori tersebut juga diperkuat oleh firman Allah SWT dalam Surat Al Maidah ayat 15-16:“Sesungguhnya
telah datang cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orangorang itu dalam gelap gulintang kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya” (Kementrian Agama, 2013: 161).

3. Puasa Spiritual (Rohani)
Naluri alami pada manusia harus diubah menjadi kekuatan moral spiritual (keshalehan sosial) yaitu
dengan menutup (mempuasakan) panca indera untuk tidak menerima rangsangan yang dipantulakan oleh materi menangkap impuls listrik dan disampaikan kepada pangkal otak. Pangkal otak juga berfungsi sebagai pangkal hawa nafsu yang menjadi tempat pengamatan pertama yang mengamati setiap keadaan berjasad atau berwujud benda. Di dalam pangkal otak berlangsung pemindahan implus listrik hidup yang bergerak dari neutron panca indera menuju neutron pangkal otak. Tempat pemindahan impuls-impuls listrik hidup dinamakan synapses.

Disinilah semua daya listrik dirinci dan dijadikan kemauan untuk menjadikan amal perbuatan. (Suryadipura, 1994 : 253-255) Apabila kita sedang tidur semua panca indera tidak mengalirkan actiesstroom yang datang dari panca indera. Maka tepat apa yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah (Al Hadist). Tetapi hadits ini jangan diplesetkan orang yang berpuasa menjadi tidak produktif karena lebih memilih tidur (malas) dari pada berproduksi, pendangan ini menyalahi hakekat puasa itu sendiri.

Tata cara puasa yang benar adalah tetap mengatifkan panca indera untuk tetap berproduksi secara relegius (keshalehan sosial) namun dapat mengendalikan panca indera dengan penuh kesadaran agar tidak tergoda dengan pantulan alam materi yang memang sangat menggoda, maka daya listrik hidup di dalam otak tidak mempunyai hubungan lagi dengan dunia luar.

Keadaan ini menjadi otonom, daya listrik yang hidup tidak bergantung kepada panca indera. Dalam keadaan seperti ini tumbuhlah pikiran yang abstraheerend. Pikiran semacam ini tumbuh di dalam
pusat akal pada waktu pikiran yang bergantung berubah menjadi tidak bergantung atau disebut abstraheerend.

Pikiran semacam ini tumbuh di dalam pusat akal pada waktu pikiran yang bergantung berubah menjadi tidak bergantung atau disebut abstraheerend tadi, dengan demikian muncullah suatu nafsu untuk mendapatkan ketenangan batin, inilah yang dinamakan nafsu mutmainah (keshalehan sosial) yang pangkalnya berada pada bagian belah dahi otak dimana pusat pangkal akal berada.

Setelah pikiran orang yang berpuasa terbebas dari godaannya dengan alam materi maka meningkatlah
pikiran itu ke dalam badan pikiran dan kemudian mengalami perubahan, mula-mula menjadi intuisi-infraintelektual yang kemudian mengalami perubahan, mula-mula menjadi intuisi-infra-intelektual yang dapat beresonansi dengan alam angan-angan (imaginasi), oleh karena itu pikiran menjadi ideatif-kreatif, kemudian masuk ke dalam prilaku untuk berubah menjadi pikiran yang normatif dan akhirnya mencapai puncak peningkatan yang dapat meninjau secara langsung hakekat tiap-tiap sesuatu dan hakekat terakhir.

Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa aliran materialism, sekularisme dan positivism tidak mungkin dapat membebaskan penganut-penganutnya dari ikatannya dengan materi untuk memperoleh kehidupan spiritual (keshalehan sosial).

Adalah suatu kebohongan besar apabila aliran materialisme mengatakan bahwa umat manusia harus dijamin keputusan materialnya terlebih dahulu untuk dapat memperoleh keshalehan sosial. Pikiran materialisme adalah pikiran yang tidak bebas yang selalu menghambakan dirinya kepada nafsu. Dengan membebaskan diri dari keinginan nafsu jahat maka pangkal Mutmainnah. Pikiran yang bebas dari pengaruh pangkal otak dengan sendirinya menjadi ideatif-kreatif dan mutmainnah (keshalehan sosial).

Kesimpulan

Puasa dalam bulan Ramadhan apa bila dilaksanakan secara integral (kaffah) sesuai Sunnah akan
menghasilkan fisiologi yang sehat, dan psikologi dengan basis intelektual yang cerdas serta spiritual (rohani) yang cerdas, ehingga akan membuahkan perilaku keshalehan sosial. Hasil akhir dari semua proses ke–Islaman yang utuh adalah mu’amallah, dan mu’amallah yang dibutuhkan saat ini adalah keshalehan sosial, bukan keshalehan individu yang mengekspresikan egoisme spiritual, seolah hanya ingin masuk Syuga sendirian.

Prinsip seperti ini tidak ada dalam ajaran Islam, karena Islam memerintahkan untuk berdakwah, agar semua umat manusia bisa bersama-sama masyuk Syurga karena puasanya telah memproduksi keshalehan sosial secara berjama’ah, Wallahu a’lam bisshowab

Daftar Pustaka
Kementrian Agama RI, 2013. Mushaf Al -'Azzam, Qur’an, dan Terjemah, Solo: PT Triad Pustaka Mandiri -
Indonesia
Manan MA, 1995. Teori dan Praktek Ekonnomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Suryadipura, R.Paryana, 1994, Manusia Dengan Atomnya, Penerbit Jakarta Bumi aksara.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved