Batam Terkini

Siswa MTsN Batam yang Jadi Korban Pengeroyokan Masih Terbaring, Hasil Rontgen Buat Panik

Selain kondisi fisik, korban juga punya rasa trauma ke sekolah. Apalagi ketika di sekolah harus bertemu pelaku yang memukulinya saat itu. 

Penulis: Beres Lumbantobing | Editor: Eko Setiawan
Beres
Orang tua korban memperlihatkan hasil rontgen terbaru, tulang bahu korban bergeser. 

TRIBUNBATAM.id, BATAM – Korban dugaan penganiayaan, siswa kelas 7 MTsN 1 Batam, VP (12) tahun ini hanya bisa terbaring di rumahnya. Ia belum dapat melakukan banyak aktivitas. Lengan bahu masih bengkak. 

Selain kondisi fisik, korban juga punya rasa trauma ke sekolah. Apalagi ketika di sekolah harus bertemu pelaku yang memukulinya saat itu. 

"Kondisinya masih belum pulih, sudah bisa duduk. Tapi lebih banyak terbaring. Makanya belum bisa masuk sekolah, kadang kami bawa berobat rumah sakit, kadang berobat kampung," ungkap Rosi, ibu kandung korban, Jumat (30/5). 

Rosi menyebutkan, pagi tadi pihaknya baru menerima hasil ronses dari RS Awal Bros. Hasil rekam medik memperlihatkan kondisi tulang bahu VP terpisah. 

"Tadi pagi kami baru terima hasil ronses dari RS Awal Bros. Sedih mendengarkan, kondisi tulang bahu anak kami masih terpisah. Sekarang dia masih sering merintih kesakitan di rumah," kata Rosi dengan suara lirih. 

Rosi tak menahu apa yang harus diperbuat oleh keluarganya. Sebab, sudah satu bulan berlalu biaya perobatan menjadi beban tambahan keluarga. 

Disisi lain, Rosi menilai tak ada niat baik dari pihak pelaku menemui keluarga korban untuk menyelesaikan persoalan itu. Bahkan, menajamen sekolah juga turut meminta korban agar segera mengikuti pembelajaran. 

"Saya tidak mengerti kalau hal seperti ini dihadapkan pada keluarga mereka. Sangat sakit hati ini rasanya," ucap Rosi geram. 

Rosi lantas menahan rasa amarah, menurut dia kebenaran akan terungkap. Ia mengaku peristiwa ini menjadi cobaan bagi keluarganya. 

"Kami sudah dua kali dipanggil ke Polresta untuk dimintai keterangan," katanya. 

Sebelumnya, penganiayaan yang dialami VP (12) yang terjadi di MTsN 1 Batam pada Selasa (22/4 lalu telah menjadi momok bagi dunia pendidikan di Batam. 

Apalagi, korban harus mengalami luka fisik, setelah diduga dianiaya kakak kelasnya, LK (15). 

Bahu kanan Vanza patah. Harapannya sebagai anak sekolah berubah menjadi trauma berkepanjangan.

Tuduhan pihak sekolah, dugaan penganiayaan dipicu karena korban menmbuly adik pelaku justru memperdalam luka bagi keluarga korban. 

Ibunda VP, Rosi, membantah keras tudingan anaknya melakukan perundungan yang memicu aksi kekerasan tersebut. 

"Tidak benar itu. Anak saya dipukuli hingga patah tulang. Ini bukan salah paham biasa, ini sudah penganiayaan berat," ungkap Rosi saat itu. 

Atas kejadian itu, keluarga korban mengaku menunggu itikad baik dari keluarga pelaku sehingga kasus tersebut dapat diselesaikan. 

"Saya ibundanya vanza. Kami menunggu itikad baik pelaku menemui kami sekeluarga untuk meminta jalan keluar baik-baik empat mata, tidak pakai perwakilan manapun," ujar Rosi. 

Sebab, belakang ini pengakuan Rosi upaya perdamaian justru mendatangkan pihak, RT, RW, TNI, polisi. 

"Mereka ini datang jam 1 malam, tidak bisa kami didamaikan. Kemudian melaporkan kami ke 2 anggota dewan, kebetulan kami semua satu perumahan. Satu perumahan mengintimidasi kami," ungkapnya. 

Korban mengaku, secara tidak langsung para perangkat dan petugas tersebut memaksa kami mencabut laporan polisi, dengan uang Damai 5 juta. Katanya ini demi kenyamanan perumahan. 

"Kami korban seharusnya dapat perlindungan, kini kesabaran sudah habis, anak hancur. Kami hancur. Kami terpaksa bawa ke media," katanya. 

Sebulan berlalu, kasus dugaan penganiayaan terhadap siswa kelas 7 MTs N 1 Batam, Vanza Prayoga (12) masih terus berlanjut. 

Bahkan, kasus ini telah mengulir di ranah hukum. Orang tua korban telah melaporkannya ke Polresta Barelang, berharap adanya keadilan.

Hingga kini, upaya mencari keadilan belum kunjung menemukan titik terang. Terbaru, pihak keluarga menilai keterangan manajemen sekolah justru menyudutkan korban. 

Rosi menerangkan singkat awal mula kronologis kejadian versi keluarga korban. 

Peristiwa itu dimulai dari sebuah obrolan ringan antara Vanza dan temannya, Hadad, pada Senin, 21 April 2025, saat jam kosong pelajaran. 

Obrolan itu tidak lebih dari candaan soal sosok ayah seorang teman sekelas. Namun candaan itu terdengar oleh adik pelaku utama, Jihan, yang kemudian merasa tersinggung.

Esok harinya, Jihan mendatangi Vanza dan Hadad dengan emosi dan sapu di tangan. Ucapan kasar hingga ancaman dilontarkan. Masalah kecil itu kemudian menjalar seolah jadi pemicu api yang membakar habis batas kewajaran.

Selasa sore, 22 April 2025, Vanza dan Hadad dipanggil ke kamar asrama oleh salah satu siswa kelas 9. Tanpa tahu rencana apa yang menanti, mereka masuk ke ruangan yang ternyata telah dipenuhi oleh 16 siswa kelas 9 termasuk pelaku utama, Lukman, kakak kandung Jihan.

Eksekusi terjadi. Vanza dan Hadad diminta jongkok di depan lemari, lalu dipukuli membabi buta oleh Lukman dan disoraki oleh teman-temannya. 

Tidak ada perlawanan. Tidak ada kesempatan untuk menjelaskan. Puncaknya, Lukman menendang bahu kanan Vanza hingga terdengar suara retakan dan teriakan kesakitan.

“Vanza patah, cok!” teriak salah satu siswa lain dalam ruangan itu. Mereka lalu kabur bersamaan dengan adzan ashar berkumandang, meninggalkan Vanza dan Hadad terkapar di lantai.

Keesokan harinya, Vanza mengalami demam tinggi. Bahunya bengkak, ia tak bisa tidur karena kesakitan. Namun saat sekolah memberi penjelasan, yang diterima keluarga justru narasi bahwa ini hanyalah “perkelahian siswa”.

Ibunda Vanza meminta pertanggungjawaban. Namun bukan mediasi yang diterima, justru tekanan dari berbagai pihak. 

"Kami didatangi malam-malam, jam 1 pagi, oleh RT, RW, bahkan TNI dan polisi. Mereka bukan datang memberi simpati, tapi memaksa kami mencabut laporan polisi dengan tawaran uang damai Rp5 juta. Demi kenyamanan perumahan katanya," ujar Rosi dengan nada getir.

Kondisi Vanza terus memburuk. Ia dibawa ke RS Budi Kemuliaan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hasil rontgen menunjukkan tulang selangka (clavicula), Vanza patah dan bengkok.

Dokter menyarankan segera dilakukan operasi. Vanza menangis histeris saat mendengar itu.

“Anak saya hancur, kami hancur. Tidak ada jalan lain, kami bawa ini ke media. Karena kami korban, tapi malah ditekan,” tegas ibunya.

Pada malam Kamis, 25 April 2025, keluarga Vanza menuntut kebenaran dan memaksa sekolah menggelar pertemuan. Di hadapan pihak sekolah, orang tua pelaku, dan para saksi, akhirnya pengakuan keluar: "pengeroyokan memang terjadi" Lukman dan teman-temannya membenarkan kejadian versi Vanza dan Hadad.

Namun, kebenaran itu tidak serta-merta diikuti oleh keadilan. Keluarga Vanza merasa sekolah tidak transparan sejak awal dan lamban dalam bertindak.

Akhirnya, pada 25 April 2025, keluarga Vanza secara resmi melaporkan kasus ini ke Polresta Barelang dengan harapan hukum berpihak pada korban.

"Kami ingin keadilan. Anak saya tak hanya dipukuli, tapi juga dirampas martabat dan rasa amannya,” katanya. 

Rosi mengaku, siang ini ia bersama keluarga kembali menghadiri panggilan pemeriksaan saksi di kantor Polresta Barelang Batam. (TribunBatam.id/bereslumbantobing)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved