TRIBUNBINTAN.COM, BINTAN-Pukul 03.00 WIB. Speaker di sudut dek kapal perintis KM Sabuk Nusantara kembali bergema. Isinya pemberitahuan bahwa waktu sahur sudah dimulai.
Kesibukan di ruang dek tempat penumpang bersesekan di kamar kamar yang disediakan mulai terasa.
Baca: Keluhkan Bau Mulut saat Jalankan Ibadah Puasa? Jangan Panik, Ikuti Saja 4 Tips Kesehatan Gigi Ini!
Baca: Mengejutkan! Inilah 7 Cara Ampuh Hilangkan Rasa Kantuk Saat Jalani Puasa! Mau Mencoba?
Baca: Menyegarkan! Inilah Es Susu Kurma, Tantangan Baru Buka Puasa! Begini Bikinnya!
Sejumlah penumpang saling membangunkan untuk memberitahukan bahwa waktu sahur di mulai.
Diantara penumpang, ada Yono (42), yang hendak mudik ke Sambas, Kalimantan Barat. Yono tidur di ranjang yang lokasinya pas dekat pintu masuk ruang dek.
Ia dikeliling tumpukan dus yang diikat erat. Isi dus macam macam, diantaranya oleh oleh buat anak istrinya di kampung halaman.
Di sebelahnya, ada rombongan keluarga yang hendak mudik di Pulau Tiga. "Di dalam ada baju buat anak anak, serta oleh oleh buat istri di rumah,"katanya.
Ini adalah tahun kedua Yono mudik dengan kapal perintis milik Pelni. Pekerja proyek pemerintah pusat di Kepri ini selalu memilih mudik dengan kapal.
Alasannya kata dia harga tiket kapal ke Pontianak relatif terjangkau dan kedua, pengalamannya beda. Harga tiket penumpang dewasa ke Pontianak misalnya hanya Rp 46.000. Anak anak hanya Rp 39.000.
Sebagai perbandingan dengan pesawat, tiket paling murah berdasarkan pantauan Tribun di situs situs penjualan tiket online per tanggal 28 dan 29 Mei,
rute Tanjungpinang-Pontianak ditawarkan dikisaran Rp 600 ribuan sampai sejutaan. Bahkan ada yang sudah menembus Rp 1,6 juta.
Namun meski mahal untuk sebagian kalangan, jarak tempu pesawat tentu tidak sebanding dengan kapal.
Bila Yono memilih pesawat, cukup tiga sampai empat saja ia mungkin sudah tiba di kampung halaman.
Sementara dengan kapal Pelni, ia harus berada seharian di lautan. Bahkan kapal tidak langsung ke Pontianak, harus menyinggahi dulu Tambelan.
Sebagai gambaran, dari Tanjungpinang atau Kijang ke Tambelan ditempu dengan waktu 22 jam. Itu belum lagi ke Pontianak.
Tapi bagi dia, itu bukan problem. Ada nuansa mudik yang tidak akan dirasakan di pesawat selain harganya yang sangat murah. Itu adalah pengalaman.
"Pulang pakai kapal itu pengalamannya beda apalagi kalau lagi saat suasana mudik begini, ada kayak seni seninya begitu,"kata dia sambil tertawa.
Berlayar berjam jam di kapal tentu kadang membosankankan. Untuk mengusir rasa bosan, penumpang seperti Yono terkadang memilih naik ke anjungan berdekatan dengan sekoci.
Di anjungan, matanya leluasa menatap laut yang nyaris tak berujung. "Ya hanya laut dan bintang bintang kalau malam, sama ditambah suara mesin kapal,"katanya.
Pengalaman ramadan di lautan tentu tidak hanya dirasakan penumpang seperti Yono. Pun demikian dengan para anak buah kapal (ABK).
Kapten kapal KM Sabuk Nusantara Narto selalu menyempatkan untuk berpuasa termasuk melaksanakan ibadah tarwih berjamaah dengan penumpang di kapal.
Para awak kapal di ruang navigasi saling berbagi tugas mengontrol jalannya kapal sehingga tidak mengganggu kegiatan berpuasa.
Tugas terbagi antara mualim 1, mualim 2 dan mualim 3. Pun dengan masinis atau ABK mesin yang berbagi tugas dengan masinis 1, masinis 2, dan masinis 3.
"Kalau sudah waktu tarwih, kita juga tarwih bersama penumpang di tengah laut. Ada musola di bagian atas yang bisa menampung beberapa jamaah,"katanya.
Pria asal Jakarta namun sudah menetap di Tanjungpinang ini merasakan, bekerja sambil menjalankan ibadah ramadan membuatnya tambah bersemangat.
"Kita tambah bersemangat bekerja. Makin fokus bekerja membawa kapal, hal utama kami adalah menomor satukan keselamatan penumpang di atas kapal,"katanya.
Amatan Tribun, di ruang navigasi atau kemudi tempat para perwira mualiam bekerja dilengkapi dengan sejumlah kaleng biskuit. Beberapa berupa kaleng biskuit khongguan. Makanan tersebut adalah selingan saat berbuka puasa dan sahur.(*)