TRIBUNBATAM.id, PONTIANAK - Kasus dugaan pengeroyokan siswi SMP di Pontianak sudah dilimpahkan ke kejaksaan setelah upaya diversi di tingkat kepolisian gagal.
Namun, pihak kejaksaan juga akan mengupayakan diversi atau proses di luar pengadilan mengingat tiga tersangka pelaku dan korban sama-sama masih di bawah umur.
AU, siswi SMP yang menjadi korban pengeroyokan sendiri, pada Sabtu siang sudah meninggalkan rumah sakit.
Penyelesaian kasus penganiayaan tersebut juga melibatkan berbagai unsur.
Pemerintah Kota Pontianak menggelar rapat koordinasi lintas sektor dalam menangani kasus ini yang dipimpin langsung oleh Wali Kota Pontianak, Edi Ruadi Kamtono.
Dilansir TribunBatam.id dari Tribun Pontianak, hadir dalam rakor tersebut Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pihak kepolisian, kejaksaan, pihak KPPAD Kalbar, organisasi perangkat daerah terkait, Pemprov Kalbar, pakar hukum, pihak rumah sakit yang menangani AU, serta stakeholder terkait lainnya.
Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak, Refli menjelaskan, berkas perkara memang sudah dilimpahkan Polresta Pontianak ke kejaksaan.
Ia sendiri sudah membaca berkasnya.
"Dari awal memang itu sudah menjadi keinginan saya di Kejaksaan untuk dilakukan diversi. Sebab begitu berkasnya saya baca, langsung saya melihat dibagian diversinya. Diversi yang dilakukan pihak Polresta tidak terlaksana, karena semua pihak sama-sama ngotot," ucap Refli kepada wartawan seusai rapat.
"Memang tujuan saya kalau sudah tahap dua akan dilakukan diversi lagi. Ini adalah kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH). Bagaimanapun, suka tidak suka, mau tidak mau harus dilakukan diversi," ujarnya.
Bahkan andai kata gagal juga di tingkat kejaksaan, Refli menambahkan bahwa di tingkat pengadilan pun, hakim bisa memutuskan diversi kasus ini.
"Makanya saya berharap ketika dilangsungkan Rakor ini, semua pihak memberikan pandangan dan sepakat terkait diversi karena ini kasus ABH (Anak berhadapan dengan Hukum-red)," tegasnya.
Dijelaskannya dilihat dari mata hukum, efek dari kejadian ini tidak apa-apa, hanya di medsos yang isunya terlalu dibesar-besarkan sehingga memunculkan eforia dan komentar netizen yang tidak benar dan tidak berdasarkan fakta hukum.
"Inikan tidak benar, berdasarkan hasil visum semua tidak ada. Ini tidak seperti yang digulirkan pada Medsos," jelasnya.
Pandangan Pakar Hukum
Menurut Sofian, Undang-undang yang dapat dipakai dalam menyelesaikan kasus ini adalah UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian UU 35 tahun 2014 revisi atas UU Perlindungan Anak.
Ketiga adalah UU nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bisa juga dipakai UU nomor 6 tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Empat UU menghendaki hal yang sama ketika terjadi konflik antara anak dengan anak, maka yang perlu dilakukan adalah mendamaikan kedua belah pihak, keluarga dan masyarakat agar konflik yang ada tidak dibawa kepengadilan. "Itulah yang disebut diversi," katanya.
Diversi itu, ruhnya mendamaikan situasi konflik sosial yang terjadi antaranak dengan anak.
"Akibat apa? Akibat dari salah menggunakan media sosial itu tadi. Terlalu eforia, terlalu berlebihan menggunakan statement sehingga menimbulkan ketersinggungan."
Sofian menilai bahwa yang terjadi adalah kenakalan yang melampau batas atau melapaui norma (di media sosial) sehingga merela bertengkar dan ingin ketemu didunia nyata dan menyelesaikannya. Sehingga terjadi kontak fisik antarpihak.
Berdasarkan empat UU tersebut, harus ada upaya mendamaikan dalam menyelesaikannya, tidak perlu dibawa dalam sistem peradilan.
Sebetulnya sistem peradilan pidana anak itu dilakukan untuk kejahatan yang melampaui batas atau pidana yang sama dilakukan berulang.
Misalnya membunuh, menganiaya menyebabkan korban terjadi pendarahan, menyebabkan korbannya lumpuh, menyebabkan korbannya cacat.
kemudian pencurian yang berulang-ulang sehingga sifatnya agresif dan tidak membuat efek jera.
"Anak itu merupakan residivis dan ancaman hukumannya sama dengan ancaman hukuman orang dewasa dan dianggap berbahaya kalau tidak dibina di lembaga pemasyarakatan," katanya.
Sofian juga menyebutkan banyaknya fakta-fakta yang diplintir, seolah-oleh benar.
Misalnya, adanya serangan pada bagian vital korban atau alat kelamin tapi bukti visum yang dilakukan dokter tidak ada.
Selain itu, media sosial juga tidak mempunyai kode etik untuk menyampaikan informasi yang ramah anak, tidak seperti media massa yang mempunyai kode etik, diatur oleh UU Pokok pers dan wajib menggali informasi dari berbagai pihak
"Namun disayangkan, publik saat ini justru lebih percaya apa yang dituliskan oleh oknum di media sosial dibandingkan media massa sehingga menimbulkan kegaduhan yang luar biasa," katanya.
Sofian mengatakan, saat ini, baik pelaku maupun korban saat ini sama-sama menjadi korban bully di media sosial oleh netizen sehingga menimbulkan trauma dan mereka tertekan secara psikis.
Menurut Sofian, penyelesaian di luar pengadilan harus dilakukan agar tidak menimbulkan efek dendam dari anak itu sendiri.
Sofian berharap, orangtua masing-masing pihak bisa saling berangkulan sehingga anak-anaknya pun bisa melanjutkan masa depan mereka dengan tenang dan damai.
Artikel ini dirangkum dari tribunpontianak.co.id dalam dua artikel: http://pontianak.tribunnews.com/2019/04/13/babak-baru-kasus-audrey-4-uu-ini-paksa-penyelesaian-kasus-audrey-berakhir-diversi-alias-damai?page=all dan http://pontianak.tribunnews.com/2019/04/13/babak-baru-audrey-banyak-informasi-hoax-di-medsos-kejaksaan-upayakan-tak-sampai-pengadilan?page=all.