TRIBUNBATAM.id - Hari ini pada tanggal 21 Mei 1998 atau tepatnya 21 tahun lalu, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun berkuasa.
Ini merupakan salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia.
Di mana masyarakat Indonesia menyebutkan era Reformasi dan lengsernya kekuasaan rezim Orde Baru.
Mundurnya Soeharto pun terhitung sejak dia mendapat "mandat" Surat Perintah 11 Maret 1966.
Setelah bercokol selama lebih dari tiga dekade, Soeharto pun dengan tanpa diduga-duga oleh para menteri memilih mengunduran diri pada 21 Mei 1998.
Konon para spiritualis Jawa yang meyakini kepercayaan Kejawen percaya bahwa wahyu keprabon telah meninggalkan Soeharto.
• BERITA PERSIB - Kesan Robert Rene Albert pada Achmad Jufriyanto; Dia Sudah Teruji
• Persebaya vs Kalteng Putra - Amido Balde Main, Osvaldo Haay Janjikan Permainan Terbaik
• 8 Ponsel Android Baru Harga 1 Jutaan, Pas Buat Kamu yang Mau HP Baru saat Lebaran Ini Spesifikasinya
• Jadwal Indonesia vs Denmark di Piala Sudirman 2019, Rabu, 22 Mei 2019 Pukul 17.00 WIB, Live TVRI
Yakni sejak kepergian Ibu Tien, dua tahun sebelumnya pada April 1996.
Bagi penganut Kejawen hal itu meredupkan aura kekuasaan Soeharto.
Bahkan, saat tampil di muka umum, dia tampak renta, tanpa cahaya, sesekali matanya menerawang jauh.
Kekuasaan yang selama ini kokoh didudukinya pun melahirkan gundukan kebencian rakyat yang tak lagi merasa diayomi.
Sebuah kekeliruan juga, para petinggi Golkar berhasil membuainya, membutakan mata Soeharto.
Hingga dia melakukan langkah fatal, bersedia dipilih lagi menjadi presiden keenam kali (1997).
Padahal, alm. Dr. Roeslan Abdulgani, seperti yang diceritakan pada Sulastomo, pernah diminta Ibu Tien untuk membujuk Soeharto agar menolak jika dicalonkan lagi jadi presiden.
Krisis kepemimpinan pada Mei 1998 berdampak terhadap internal kabinet.
• MOTOGP 2019 - Terpaut 23 Poin dari Marc Marquez, Valentino Rossi Enggan Kibarkan Bendera Putih
• Andrea Dovizioso: Kalau Marc Marquez Tidak Ada, Saya Sudah 2 Kali Jadi Juara Dunia
• Jadwal Baru Persib Bandung vs PS Tira Persikabo, Maung Bandung Hadapi Jadwal Neraka Usai Lebaran
Rakyat menginginkan reformasi dan mendesak Soeharto untuk mundur.
Soeharto pun membentuk Kabinet Reformasi, namun ternyata 14 menteri menyatakan untuk tidak bersedia.
Soeharto yang menerima kabar itu pada 20 Mei pun merasa benar-benar terpukul dan ditinggalkan.
Rencananya, pada 21 Mei 1998 Soeharto mengumumkan kabinet itu dan melantiknya pada 22 Mei 1998.
Sekitar pukul 19.30 WIB di Jalan Cendana, Jakarta Pusat, BJ Habibie (wapres) pun menemui Soeharto untuk membahas kabinet itu.
Pembicaraan dengan pimpinan DPR/MPR yang meminta Soeharto mundur akan dilakukan pada 23 Mei 1998.
Sementara Habibie berpikir bahwa Soeharto akan mundur setelah Kabinet Reformasi terbentuk.
Habibie kemudian bertanya mengenai posisinya sebagai wakil presiden.
Soeharto pun dengan mengejutkan menjawab "Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai presiden."
Setelah mencapai kesepakatan tentang pembentukan Kabinet Reformasi, pada pukul 22.30 WIB Soeharto memanggil Saadillah Mursjid untuk menyiapkan segala sesuatu, karena besok Soeharto ingin mundur.
Dia merasa ditinggalkan semua orang kepercayaan.
Kesepian, menjadi satu-satunya teman yang menguatkan putusan itu di tengah huru-hara yang pecah menyelimuti negeri.
Tiga Kejadian Tak Biasa yang Dialami Soeharto Jelang Wafatnya Ibu Tien
Soeharto mengalami sejumlah hal yang tak biasa menjelang wafatnya Ibu Tien. Hal ini dikisahkan oleh seorang pengelola restoran bernama Hioe Husni Wirajaya dalam buku "Pak Harto, The Untold Stories" terbitan Gramedia Pustaka Utama (2011).
Saat itu Soeharto mengalami peristiwa yang tidak biasa menjelang wafatnya sang istri, Bu Tien
Dalam buku tersebut, Hioe mengaku pernah menemani Soeharto mengunjungi Pulau Tunda, pada 26 April 1996.
Saat itu, Soeharto baru saja selesai menjalankan salat Jumat.
Begitu sampai di Pulau Tunda, Soeharto langsung memancing saat sore hari.
Beberapa saat kemudian, Soeharto berhasil mendapatkan dua ekor kakap merah berukuran besar.
Namun, tiba-tiba saja muncul hujan yang disertai angin kencang, dan cuaca pun gelap.
Seketika mereka menghentikan kegiatan memancing itu.
"Pada saat itu arus bawah laut juga deras, sehingga dari kapal Lemuru yang beliau gunakan memancing, Pak Harto pindah ke Kapal Madrim yang lebih besar, dan saya ikut bersamanya,"kata Hioe.
Namun, peristiwa yang tidak biasa kembali terjadi.
Saat akan mandi, Soeharto tiba-tiba kehabisan air.
"Pak Harto tidak marah, beliau hanya meminta diberi air Aqua untuk melap tubuh. Saya menduga ada yang tidak sengaja atau lupa mematikan keran wastafel ketika mencuci tangan pada saat Bapak sedang memancing tadi,"ujar Hioe.
Tidak hanya itu, saat akan makan malam bersama para pejabat lainnya, termasuk Kepala Desa Tunda, genset di kapal tersebut tiba-tiba mati.
Sedangkan, saat itu juga terjadi hujan, dan angin semakin menjadi-jadi.
Akibatnya, kapal itu pun harus ditambatkan ke kapal Baracuda.
Dalam suasana seperti itu, diam-diam Hioe memperhatikan Soeharto.
"Saya melihat pandangan mata beliau tampak kosong. Saat itu juga Pak Harto memutuskan batal memancing di hari Sabtu besok karena memperkirakan arus masih akan sangat kuat hingga keesokan harinya," kata Hioe.
Pada hari Minggu, Hioe pun mendapatkan kabar duka.
Saat itu, istri Soeharto, Bu Tien meninggal dunia.
Hioe kemudian teringat lagi tiga peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Soeharto saat memancing sebelumnya.
"Saya tercenung dan menduga-duga, apakah tiga peristiwa dalam waktu berdekatan itu diantarkan alam semesta kepada Pak Harto, sebagai isyarat duka bagi beliau yang akan kehilangan istri terkasih untuk selamanya?"tanya Hioe.
Soeharto amat terpukul atas meninggalnya Bu Tien
Hal ini diungkapkan oleh Satyanegara, dokter ahli bedah saraf yang juga anggota Tim Dokter Kepresidenan, dalam buku "Pak Harto, The Untold Stories" terbitan Gramedia Pustaka Utama (2011)
Meski Soeharto sebagai sosok yang tegas dan tangguh, Satya ingat Soeharto dalam keadaan sangat sedih saat Bu Tien meninggal
"Ketika itu 28 April 1996, saya mendapat kabar bahwa Ibu Tien meninggal dunia," ucap Satya.
Ketika itu jenazah Ibu Tien dibaringkan di ruang tamu. Satya masuk untuk menyampaikan belasungkawa.
"Pak Harto memeluk saya, kemudian berkata sangat perlahan, 'Piye to, kok ora iso ditolong...? (Bagaimana, kok tidak bisa ditolong?)'," tutur Satya.
Satya tidak mampu mengucapkan satu kata pun. Sosok yang dikenal sebagai "The Smiling General" itu beberapa kali mengusapkan tetesan air matanya dengan sapu tangan.
"Saya hanya tertegun, turut merasakan dalamnya kepiluan di hati Pak Harto," tutur pria yang mendapat gelar doktor bidang neurologi dari Universitas Tokyo pada 1972 itu. (*)