3 Poin Keterangan Saksi di Sidang MK, Ungkap Kode Siluman hingga Anggota KPPS Coblos 15 Surat Suara
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Sidang ketiga Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat digelar hari ini, Rabu (19/6/2019).
Mahkamah Konstitusi menjadwalkan pemeriksaan para saksi yang diusulkan oleh Pemohon, dalam hal ini tim hukum paslon Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Sidang dimulai sekira pukul 09.00 WIB dan hingga berita ini diturunkan, sidang masih terus berlangsung.
Hal itu telah diputuskan melalui Rapat Permusyawaratan Hakim.
• Tanggapi Bukti Persidangan Kubu 02, Yusril Ihza Mahendra: Betul Pak Mahfud MD, Sangat Miskin Bukti
• Kecewa Hasil Imbang Imbang Persebaya vs Madura United, Bonek: Kalau Gak Seri Kalah, Menangnya Kapan?
• Umbar Kemesraan hingga Tak Segan Dipangku, Ini Foto-foto Kedekatan Ayu Ting Ting dengan Dedi Mulya
• Fakta Kasus Pasutri Tasikmalaya Suguhkan Hubungan Intim Live, Boleh Direkam hingga HTM Rp 5 Ribu
"Maka Mahkamah memutuskan hanya 13 (saksi) yang dipanggil. Maka 13 itu yang akan memberikan kesaksian," ujar Hakim MK Suhartoyo.
Suhartoyo pun menegaskan bahwa 13 nama tersebut yang dapat memberikan kesaksian, ditambah Said Didu.
Sementara Haris Azhar menolak untuk bersaksi dengan memberikan surat keterangan kepada Ketua MK.
"Ketika dilakukan pemanggilan oleh Ketua Majelis hanya memanggil untuk 13 orang. Secara fisik memang 15 yang hadir. Jadi hanya said didu yang akan dipanggil. Sehingga menjadi 14 saksi," kata Suhartoyo.
Berikut poin-poin pernyataan dari beberapa saksi yang telah memberikan kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim yang dirangkum Tribunnews.com :
1. Saksi Lihat Anggota KPPS Coblos 15 Surat Suara di TPS
Nur Latifah, seorang saksi yang dihadirkan di hadapan Majelis Hakim mengaku melihat ada 15 surat suara di TPS 08, Desa Karangjati, Kabupaten Boyolali yang dicoblos sendiri oleh Petugas KPPS.
"Setahu saya kurang lebih 15. Saya menyaksikan sendiri, saya di TPS-nya," ujar Nur Latifah dalam sidang sengketa pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Rabu (19/6/2019).
Latifah berada di TPS sebagai relawan salah satu kelompok masyarakat yang melakukan pengawasan di TPS.
Dia duduk di jajaran saksi dan mengenakan tanda pengenal. Dia pun mengaku sudah mendapat izin dari KPPS setempat untuk memantau jalannya pencoblosan di hari itu.
Majelis Hakim saat itu sempat bertanya bagaimana dia mengetahui bahwa anggota KPPS melakukan pencoblosan di bilik suara.
Latifah mengatakan dia yakin karena bisa melihat dari samping bilik suara.
Belakangan Latifah mengetahui bahwa ada kesepakatan di dusun tersebut.
Penggunaan hak suara warga yang sudah lansia di dusun tersebut akan dibantu oleh anggota KPPS.
Hakim Konstitusi Suhartoyo kemudian bertanya apakah Latifah mengetahui proses pencoblosan itu lebih lanjut.
Maksudnya, apakah anggota KPPS bertanya dulu kepada warga lansia mengenai siapa yang mau dicoblos.
Latifah pun menjawab bahwa dia tidak tahu soal itu.
Meski demikian, Latifah menyebut perolehan suara antara paslon 01 dengan 02 di TPS tersebut berbeda jauh.
"01 itu 100 (suara) lebih, 02 itu saya ingat betul 6," kata dia.
2. Ungkap Adanya Ancaman
Nur Latifah juga mengaku menyaksikan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 08 Dusun Winosari, Desa Karang Jati, Kecamatan Wono Segoro, Kabupaten Boyolali, menyoblos 15 surat suara saat pemilu 17 April 2019.
Nur mengaku sempat merekam tindakan yang dilakukan anggota KPPS bernama Komri tersebut, menggunakan ponselnya. Menurut Nur, keesokan harinya dia mendapat intimidasi.
"Pukul 11.00 malam, tanggal 11 April 2019, saya dipanggil salah satu warga, ada ketua KPPS, ada anggota KPPS, ada kader partai dan beberapa preman," kata Nur.
Menurut Nur, dia ditanya soal video pencoblosan 15 surat suara yang tersebar di media sosial.
Nur menjelaskan dia bukan orang yang menyebarkan video itu.
Meski demikian, menurut Nur, malam itu tidak ada kalimat atau kata-kata ancaman terhadapnya.
"Mereka bilang saya sama saja menyebarkan rahasia negara," kata Nur.
Keesokan paginya, Nur mengaku diberitahu oleh temannya yang bernama Habib, bahwa dia terancam dibunuh.
"Saya dituduh penjahat politik. Saya diancam dibunuh. Tapi saya tahu dari teman saya," kata Nur.
Setelah itu, pada 21 April 2019, Nur mengaku dihubungi oleh seseorang yang dia duga sebagai kerabat Komri, anggota KPPS yang dia pergoki mencoblos 15 surat suara.
Nur mengaku diminta tutup mulut dan kembali ke Semarang.
Nur juga diancam akan dilaporkan ke polisi jika terjadi sesuatu pada Komri.
Namun, saat ditanya oleh hakim, Nur mengaku tidak pernah melaporkan ancaman dan intimidasi tersebut kepada polisi.
3. Saksi Ungkap Kode Siluman
Konsultan analisis data base Idham Amiruddin menyebut ada 4 jenis rekayasa data kependudukan dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang digunakan dalam pemilihan umum 2019.
Salah satunya, Idham menyebut ada nomor induk kependudukan (NIK) di kecamatan dengan kode siluman.
Hal itu dikatakan Idham saat bersaksi dalam sidang sengketa hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, Rabu (19/6/2019).
Idham merupakan saksi yang dihadirkan tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Idham memberi contoh adanya kode NIK siluman yang ada di kecamatan di Bogor, Jawa Barat.
Menurut Idham, ada pemilih yang terdaftar di daerah pemilihan Bogor.
Namun, setelah dicek, dalam NIK pemilih tersebut tidak terdapat kode kecamatan yang terdapat di Bogor.
"Bogor cuma ada 40 kode kecamatan yang bisa dipilih ketika alamat itu ditentukan," kata Idham.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis kemudian bertanya kepada Idham, mengenai kondisi apabila ada pemilih asal Makassar yang pindah ke Bogor.
Menurut Azis, apabila orang tersebut menggunakan hak pilih di Bogor, seharusnya NIK orang tersebut tidak berubah, termasuk kode kecamatan yang terdapat di NIK.
Idham mengakui bahwa contoh kasus tersebut tidak termasuk NIK siluman yang diistilahkan olehnya.
Namun, Idham tetap berkeras bahwa perbedaan kode kecamatan itu adalah ketidakwajaran.
"Bukan begitu. Digit 5 sampai 6 dalam NIK itu lebih dari 40. Padahal cuma 40 kode kecamatan di Bogor," kata Idham.
"Sekali lagi, saya berdasarkan wilayah. Itu semuanya kode Bogor," kata Idham.
Azis kemudian menanyakan, apakah Idham pernah mengecek langsung ada pemilih siluman yang dia sebut.
Sebab, Idham hanya menjelaskan bahwa dia melakukan analisis menggunakan daftar pemilih tetap (DPT) yang didapat dari DPP Partai Gerindra.
Ternyata, Idham tidak pernah melakukan pengecekan langsung.
"Ya saya berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Kalau ada yang di luar itu, saya katakan tidak benar. Tidak perlu saya verifikasi, karena itu tugas KPU," kata Idham. (Kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Poin-poin Keterangan Sejumlah Saksi di MK, Sebut Ada Ancaman Hingga Kode Siluman