TRIBUNBATAM.id, BATAM - Dua pria warga Batam di kecamatan Sei Beduk memalsukan uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu sebanyak Rp 6 juta dan mengedarkannya di sejumlah wilayah di Batam.
Setelah mencetak uang palsu tersebut, keduanya lantas menukar uang palsu dengan uang asli saat membeli makanan atau kebutuhan sehari-hari.
Dua pelaku pencetakan uang palsu tersebut yakni Usman (43) dan Sarifuddin (38).
Keduanya melakukan aksi tersebut di rumah kos mereka di Kampung Tower blok D nomor 09 RT 01/RW 08, Kelurahan Muka Kuning, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, Provinsi Kepri.
Kedua pelaku diamankan Polsek Sei Beduk, setelah mendapat laporan warga yang yang menemukan uang palsu di Kampung Aceh Muka Kuning Batam.
Kedua pelaku diamankan Selasa (25/6/2019) di rumah kosnya bersama barang bukti satu unit printer merk Canon, pensil warna dan sisa uang yang belum diedarkan sebanyak Rp 5.250.000 ribu rupiah.
Kapolsek Sei Beduk AKP Joko Purnawanto mengatakan penangkapan kedua pelaku setelah mendapat laporan dari warga yang menjadi korban.
• PPDB Sistem Online Tapi Verifikasi Berkas Offline, Ketua Komisi lV DPRD Kepri: Menyusahkan Orangtua!
• Coaching Clinic Kesehatan Ikan hingga Goes to Market, Ini Rangkaian Bulan Bakti BKIPM Tanjungpinang
• Tumpukan Sampah Beracun hingga Banyaknya Pengidap HIV, Berikut 4 Poin Penting Hasil Reses DPRD Kepri
• Bolehkah Daftar Sekolah Pakai Surat Keterangan Domisili yang Baru Diurus? Ini Kata Kadisdik Kepri
"Ada warga yang melapor, laporannya kita kembangkan,"kata Joko.
Dari hasil pengembangan pelaku melancarkan aksinya baru empat minggu di Daerah Kampung tower.
"Jadi pelaku ini pindah - pindah untuk menghilangkan jejaknya,"kata Joko.
Untuk proses pencetakan uang palsu pecahan Rp 100 ribu rupiah dan pecahan Rp 50 ribu, pelaku terlebih dahulu melakukan scan uang asli, selanjutnya hasil scan diprint.
Untuk proses akhir pelaku menggunakan pensil warna untuk menebalkan huruf maupun angka yang kurang jelas, begitu juga dengan gambar yang ada di dalam uang tersebut.
Modus yang dilakukan pelaku untuk melancarkan aksinya adalah menukar uang palsu dengan membeli makanan atau kebutuhan sehari-hari.
Lantas, bagaimana cara membedakan manakah uang palsu dan uang asli?
Dikutip dari Tribunpontianak, Kasir 1 Bank Indonesia Kalbar, Trisno Sumaryadi mengatakan, khususnya bagi masyarakat awam untuk membedakan uang asli dengan palsu dengan menerapkan 3D yakni dilihat, diraba, dan diterawang. Tidak menggunakan alat, tetapi dengan panca indera yang kita miliki.
Pertama, dengan melihat gambarnya. Kalau uang asli itu warna uang terlihat terang dan jelas. Tidak ada tinta-tinta yang meleber. Kemudian ada yang namanya ovi. Ovi adalah cetakan khusus tepat di sudut kanan bawah lambang Garuda.
"Apabila digoyang ke arah berlainan, warnanya akan berubah dari kehijauan menjadi kuning keemasan. Sementara yang palsu, tidak terjadi peubahan warna," katanya.
Benang pengaman pada uang asli ditanam atau dianyam pada kertas uang dan tampak sebagai suatu garis melintang.
Pada pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu, benang pengaman dapat berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda dan tulisan BI seratus ribu untuk pecahan Rp 100 ribu.
Kalau uang palsu seperti ada, tetapi tidak ada. Kabur tulisannya, tidak jelas seperti uang asli. Selain itu, tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen tertentu, juga dapat dilihat dari sudut pandang tertentu.
Cetakan berupa garis-garis lurus dalam bidang tertentu, yang apabila dilihat dari sudut pandang tertentu akan menimbulkan efek warna pelangi. Kedua, dengan diraba. Pada tulisan angka 100 ribu, gambar utama, Lambang Burung Garuda, tulisan nominal dan Bank Indonesia akan terasa kasar.
"Ada juga istilahnya blind code (kode tuna netra) untuk mengenal jenis pecahan bagi tuna netra di sudut bawah kiri yang terasa kasar bila diraba," katanya.
Untuk pecahan uang Rp 100 ribu berbentuk bulat berjumlah dua, pecahan Rp 50 ribu berbentuk segitiga, pecahan Rp 20 ribu berbentuk kotak berjumlah dua.
Kemudian, dengan diterawang. Bila diterawangkan ke cahaya, terlihat tanda air di sudut kanan samping gambar Dr Mohammad Hatta untuk pecahan Rp 100 ribu.
Selain tanda air, ada rectoverso (gambar saling isi) akan membentuk huruf BI. Sementara yang palsu tidak ada.
Selain dengan cara 3D, untuk membuktikan uang palsu, bisa dengan alat bantu sinar ultraviolet dan kaca pembesar.
Yang dilihat melalui ultraviolet untuk pecahan Rp 100 ribu asli dari nomor seri uang. Di mana warna merah akan berubah menjadi kekuningan, sementara kode warna hitam, berubah menjadi hijau.
"Ada tulisan nominal Rp 100 bagian belakang gambar utama, berlatar belakang warna kuning kehijauan. Pada gambar kepulauan Indonesia, gambar akan memendar (bercahaya)," kata Trisno.
Sementara bila dilakukan dengan bantuan kaca pembesar untuk melihat tulisan mini teks di sudut kanan atas lambang Burung Garuda terlihat tulisan Bank Indonesia.
Untuk mikro teksnya di tepian kanan kiri uang bagian depan dan belakang, akan terlihat tulisan Bank Indonesia dalam beberapa warna.
Pada bagian samping kanan gambar utama Dr Mohammad Hatta, gambar bunga teratai akan terlihat tulisan BI yang banyak. Sementara untuk yang palsu akan kabur. Tidak jelas terbaca. Tidak ada tanda dari BI.
Harga alat-alat tersebut masih terjangkau dan bisa dimiliki masyarakat. Untuk alat sinar ultraviolet sekitar Rp 35 ribuan satu buahnya. Sementara untuk kaca pembesar seharga Rp 15 ribuan tanpa lampu. Kalau dengan lampu Rp 75 ribu.
Kepada masyarakat apabila menemukan uang palsu yang diragukan segera melapor ke kepolisian, perbankan, atau ke BI. Kalau dari BI akan langsung ditangani, akan diberitahukan uang asli atau palsu.
"Kalau uang terbukti palsu, akan diproses dan diserahkan ke kepolisian dan diambil. Setiap uang yang terbukti palsu akan diambil dan tidak ada penggantian," katanya.
Tidak dikembalikannya uang tersebut mengacu pada ketentuan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2011 pasal 26.
Di mana setiap orang dilarang memiliki, membawa, menyimpan, mengedarkan, dan membelanjakan uang yang diduga palsu untuk tujuan tertentu yang dianggap uang asli.
"Itu sebagai dasar kenapa uang tidak bisa di ganti. Kalau kita melakukan penggantian kita sendiri menyalahi aturan," kata Trisno.
Selain itu, juga untuk menghindari kecurangan. Jangan sampai nanti setiap orang melakukan pemalsuan dan meminta klarifikasi serta penggantian, padahal bisa jadi dia mencetak sendiri. (tribunbatam.id/ian sitanggang/tribunpontianak.co.id)