News Analysis

Dijuluki ‘Kota Denda Dunia' Satu Alasan Singapura Tinggi Infeksi Tapi Minim Kematian Akibat Corona

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - KOTA DENDA, kaus jenaka inilah julukan untuk penegakan hukum di Kota Singapura.

Itupun usia pasien yang meninggal rerata diatas 70 tahun. Ini Berbanding terbalik dengan Kepri yang justru mayoritas usai produktif, dibawah 60 tahun. Bahkan, seakan “mengejek” negara lain, awal April lalu, pasien yang meninggal berusia satu abad lebih, tepatnya 103 tahun.

TRIBUNBATAM.ID, BATAM — Ibarat anak tangga, kurva data kematian pasien Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Singapura berundak-undak.

Seminggu satu, sepekan satu. Dan tren ini sudah berlangsung hampir 60 hari, sejak catatan kematian perdana, 18 Maret 2020 lalu.

Bandingkan dengan negara di Eropa, Amerika, dan Indonesia yang data kasus kematiannya spike; Melonjak. Menanjak laiknya naik ke gunung.

Sejak  Selasa (21/4) lalu, angka kematian pasien pandemi ini masih 14 mayat. 

Selasa (28/4) pagi ini, tercatat 799  kasus baru. Dua pasien yang meninggal pun berusia 82 tahun.

Selama sepekan pula,  Negeri Singa ini ‘mempertahankan’ sebelas kematian dalam 8 hari, sejak 16 April 2020.

Padahal, di periode yang sama, angka kasus positifnya justu melayang tajam dari 3.210 kasus menjadi 14,423 kasus per 28 April 2020 pagi ini.

Angka ini menjadikan Singapura sebagai negara dengan kasus terbanyak ketujuh di Asia, dan menduduki 'klasemen' pertama di antara 11 negara Asia Tenggara lainnya.

Di Asia, Singapura sama ‘beruntungnya dengan Qatar di Timur Tengah; 11.244 kasus namun 10 kematian dalam dua bulan. Ya, sebelas dua belas dengan Singapura.

Kenapa dalam 90 Hari; Hanya 11 Jenazah Corona di Singapura, Indonesia 590 Jenazah

 Justru, dibandingkan provinsi tetangga di Indonesia, Kepri dan Kota Batam, dari 86 kasus positif, ada delapan pasien yang meninggal.

Dua tetangga terdekat Singapura, Indonesia dari 9.096 kasus positif ada 765 kematian dan Malaysia dari 5,820 kasus ada 99 kematian.

Itupun usia pasien yang meninggal rerata diatas 70 tahun.

Berbanding terbalik dengan Kepri yang justru mayoritas usai produktif, dibawah 60 tahun

Kematian pasien kasus 1071, 21 Aperil lalu, adalah wanita berusia 84 tahun.

Kementerian Kesehatan Singapura, mengidentifikasi wanita yang meninggal di Khoo Teck Puat Hospital ini adalah tertua kelima.  Si almarhumah 1071  meninggal Selasa (21/4) pekan lalu, setelah 19 hari dirawat intensif dengan isolasi ketat.

Bahkan, seakan “mengejek” negara lain, awal April lalu, pasien yang meninggal berusia satu abad lebih, tepatnya 103 tahun.

ILUSTRASI _ Peta Batam diantara rakasasa ekonomi dunia, China dan Singapura sebagai Kota Jasa dan hub city terbesar di Asia Tenggara, dan kawasan laut China Selatan (courtesy_www.etowa.com)

Mengapa negara kota berpenduduk 5,8 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk urutan keempat di dunia ini, ‘bisa mengatur’ angka kematian akibat COVID-19, laiknya anak tangga?

Professor Jeremy Lim, dari National University of Singapore’s Saw Swee Hock School of Public Health, menyebut tingginya kasus positof di Singapura, bukan ditularkan dari 2300-an warganya, melainkan ditularkan dari oleh pekerja asing, dari Asia Selatan.

Ada sekitar 323.000 pekerja migran yang tinggal di asrama khusus di Singapura. 

Para pekerja ini dilibatkan resmi di proyek konstruksi, pemeliharaan taman, dan simbol kota, industri kecil dan manufaktur. 

Pada tanggal 1 April, asrama ini hanya menyumbang 19 infeksi. Pada hari Minggu, 26 April, mereka menyumbang hampir 11.419 kasus.

Namun, pekan ini, Menteri Dalam Negeri Lawrence Wong, memprediksi dua pekan kedepan, akan menjadi masa paling kritis. 

Dilansir SCMP, Jeremy menyebut, kunci pemerintah negaranya bisa menekan laju kematian, laiknya angka kematian reguler, karena sejak awal, otoritas setempat mengetatkan aturan lock down, atau di Singaoura diistilahkan dengan Circuit Break measure. 

Ilustrasi Kota singapura; Oleh WHO, Singapura dicatat sebagai kota yang sukses menekan angka kematian akibat corona (whereis)

Kebijakan ‘memutus sekring’ virus ini dengan mudah dipatuhi warga, karena sistem data kependukan dan data jaminan kesehatan terus terpantau.

Jumlah pasien yang dirawat di ICU COVID-19 sempat naik jadi 32 orang pada 10 April 2020, namun turun menjadi 22 dalam sepekan.

Disamping itu, otoritas kesehatan dan polisi sipil, begitu ketat memberlakukan “contact-tracing,’ pagi warga yang pernah kontak dengan pasien posotif.

Pemantauan hari demi hari ini, dimonitor dengan CCTV.

Para warga berstatus orang dalam pengawasan, bahkan seolah dipasangi ‘chip’ yang akan memantau gerakan mereka dalam radius 10 meter sekalipun. Dan semuanya terekam.

Kebijakan karantina dan travel restrictions, membuat ketakutan akan datangnya gelombang kedua virus, yang kambuh dari pasien yang setelah sembuh, juga teratasi.

Disisi lain, kebijakan yang tak kalah ketatnya adalah pemerintah memperbanyak swabbing test (uji air lendir) dan rapid test dengan pengambuilan sampel darah.

Dengan tradisi penegakan hukum, membuat warga Singapura juga takut keluar rumah, tanpa masker, atau hanya sekadar hang out.

Toh, sebagai negara tujuan wisata modern dunia, Singapura juga dikenal dengan julukan “the Fine City”  atau kota seribu denda. 

Sejak kasus pertama, 23 January 2020, World Health Organisation (WHO), memang memuji upaya sistematis pemerintah Singapura menegakkan hukum “social distancing’

Kota Singapura memiliki 0,85 kematian per 1.000 infeksi. Itu dibandingkan dengan 17 per 1.000 di Malaysia dan 84 per 1.000 di Indonesia. 

Secara global, rata-rata sekitar 70 kematian per 1.000 infeksi. 

Tingkat kematian Belgia adalah yang tertinggi di hampir 153 per 1.000, sementara Amerika Serikat dan Cina memiliki sekitar 56 kematian per 1.000 infeksi. 

Jumlah kematian di Singapura juga jauh di bawah 1.305 kematian yang tercatat di Meksiko dan 372 di Jepang, keduanya memiliki jumlah infeksi yang serupa walaupun memiliki populasi yang jauh lebih besar.

Singapura memiliki sekitar 5,7 juta penduduk, sementara Jepang dan Meksiko keduanya memiliki sekitar 126 kematian.

Jeremy menyebutkan, kini tugas pemerintah adalah  "membuat semua orang Singapura mengerti bahwa setiap orang sebenarnya ada di garis depan". dalam penanganan COVID-19.

Pada 29 Februari, hanya 6 kluster infeksi lokal. Dia awal April menjasi 20, di antaranya dari  studio pengantin, asrama pekerja, dan sebuah panti jompo dengan 11 kasus.Ini sudah termasuk seorang wanita berusia 102 tahun. 

Kluster infeksi yang mengejutkan di awal Maret adalah Mustafa Centre, lokasi belanja populer bagi penduduk dan turis di distrik Little India, ada 11 kasus infeksi.

"Tentunya, kita semua harus khawatir tentang gelombang kedua," kata Associate Professor Jeremy Lim dari program kesehatan global di Sekolah Kesehatan Publik Saw Swee Hock. Dia mengemukakan dua alasan;

Pertama, sebagian besar kasus baru Singapura adalah orang-orang muda, sebagian besar terdiri dari pekerja migran yang tinggal di asrama besar.

Kedua, orang lanjut usia dengan kondisi kronis yang paling rentan telah mendengarkan saran pemerintah untuk tinggal di rumah untuk mengurangi kemungkinan infeksi mereka.

Lebih dari 90 persen kasus baru-baru ini di Singapura adalah pekerja asing dengan upah rendah yang tinggal di asrama khusus. Usia mereka pun relatif masih muda.

 Sementara kementerian kesehatan bulan ini berhenti memberikan rincian usia pasien, pihak berwenang telah menekankan bahwa sebagian besar masih muda dan banyak yang memiliki gejala ringan atau tidak sama sekali.

Leong Hoe Nam, seorang spesialis penyakit menular, mengatakan kasus-kasus seperti itu telah “melemahkan” angka kematian negara itu. (thamzil thahir)

Berita Terkini