TRIBUN WIKI

Biografi PK Ojong, Sosok Gigih dan Sederhana Dibalik Lahirnya Kompas Gramedia

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong.

Editor: Widi Wahyuning Tyas

TRIBUNBATAM.id - PK Ojong, salah satu pendiri Kompas, bisa dibilang bukanlah orang sembarangan.

Dedikasinya pada dunia jurnalisme Indonesia terwujud dengan lahirnya sejumlah media besar yang tetap eksis hingga kini.

Bersama Jakoeb Oetama, ia mendirikan majalah Intisari yang menjadi cikal bakal harian Kompas pada tahun 1963.

2 tahun setelahnya, harian Kompas lahir sebagai harian nasional Indonesia.

PK Ojong adalah seorang jurnalis yang terkenal kritis.

Beberapa kali dirinya menulis artikel-artikel tajam yang mengkritik pemerintah.

Hari ini, Sabtu (25/7/2020) genap 100 tahun usianya.

Kendati telah berpulang 40 tahun silam, sosoknya masih tetap dikenang hingga kini.

Mengenal sosok P.K. Ojong

PK Ojong memiliki nama lengkap Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng Koen.

Pria keturunan Tionghoa ini lahir di Bukittingi, 25 Juli 1920 dari seorang ibu bernama Njo Loan Eng Nio dan ayah bernama Aue Jong Pauw.

Semasa kecil, Ojong sering dijuluki Si Kepala Gede, lantaran saat lahir sulit keluar dari rahim ibunya.

Konon, kepala besarnya lah yang menjadi penyebabnya.

Setelah lahir, Ojong dibawa pulang ke rumah ayahnya di Jalan Lundang di Payakumbuh.

Ojong merupakan sulung dari 4 bersaudara.

Ia memiliki satu adik perempuan dan dua adik laki-laki.

Selain gemar membaca dan belajar, Ojong juga punya kecintaan lebih pada tumbuh-tumbuhan.

Dalam buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia: P.K. Ojong (2014) karya Helen Ishwara, di gambarkan sosok P.K. Ojong yang sangat teladan, disiplin, sederhana, dan gigih.

Meskipun lahir dari keluarga pengusaha dan orangtuanya berkecukupan, Ojong menjauhi gaya hidup berpesta.

Daripada menghamburkan uang untuk berpesta, Ojong lebih suka membantu sesama yang membutuhkan bantuan.

Ia juga terkenal dengan gaya hidup yang sederhana.

Bahkan, Ojong tak malu mengenakan baju yang telah dijahit berkali-kali.

PK Ojong sosok multidimensi.

Selain sebagai jurnalis, ia juga seorang cendekiawan dan usahawan.

Sebelum terjun ke dunia jurnalistik dan usaha, Ojong memang meniti kariernya diawali sebagai guru.

Bahkan ia juga satu di antara pendiri Universitas Tarumanagara. 

Pendidikan PK Ojong

Pada saat itu, sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda dikotak-kotakkan menurut golongan.

Ada Hollandsch Inlandsche School (HIS) untuk pribumi, Hollandsch Chineesche School (HCS) khusus anak-anak Tionghoa, dan Europeesche Legere School (ELS) untuk golongan Eropa.

Anak pemuka golongan pribumi, Tionghoa, atau Arab bisa diterima di ELS dengan jumlah yang sedikit.

Bertepatan dengan Peng Koen atau Ojong masuk sekolah, dibuka sebuah HCS yang diasuh oleh biarawati-biarawati Franciscanes.

Peng Koen pun belajar di sekolah tersebut.

Sejak sekolah, Ojong dikenal sebagai murid yang pandai dan tidak nakal.

Bahkan dirinya dinilai sangat disiplin dan memiliki kemauan yang keras.

Karena ingin meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah setingkat SMP) dan di Payukumbuh belum ada MULO, Ojong pindah sekolah ke Padang.

Hal ini supaya mudah meneruskan ke MULO Katolik yang diasuh oleh Frater Nicander dan Frater Servaas.

Mulai kuartal II Kelas VII, Ojong pindah ke HCS Katolik di Padang yang letaknya sekompleks dengan MULO.

Kemudian menjadi murid Fraters MULO pada 1934-1937.

Ia melanjutkan jenjang berikutnya ke Sekolah Guru Atas Negeri di Jatinegara dari tahun 1937 hingga 1940.

6 tahun kemudian atau pada 1946, Ojong mengambil program strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada 1951.

Terpikat senyuman Chaterine

Pertengahan 1947, dalam suatu acara pertemuan orang-orang muda, Ojong melihat seorang gadis yang senyumnya sangat manis.

Ojong yang saat itu masih muda kemudian langsung terpikat.

Seorang teman Ojong yang mengenal gadis tersebut, kemudian memberitahu nama gadis itu, Chaterine.

Gadis Magelang yang belum lama tinggal di Jakarta.

Ojong memang gigih dan tidak setengah-setengah kalau melaksanakan sesuatu, apalagi dalam usaha merebut hati gadis pujaannya.

Setelah mendapat restu dari orangtua Chaterine, mereka bertunangan resmi pada 4 April 1949 dan menikah di Catatan Sipil tanggal 6 Juli 1949.

Ojong dan istrinya dikarunia enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan.

Si kutu buku pecinta tanaman

Ojong sangat suka membaca.

Ada satu yang bisa membuat perhatiannya teralih, yaitu tanaman.

Bahkan pada 1952-1853, ia mencanangkan perlunya penghijauan Kota Jakarta.

Dirinya sangat kesal ketika pohon-pohon di sepanjang Jalan Kebon Dirih, Jakarta ditebangi.

Bahkan ketika aktif menulis di Kompasiana, dirinya sempat menulis dua artikel bertemakan pohon.

Menjadi wartawan

Sekitar 1946, Ojong menjadi penulis lepas di Keng Po atau Star Weekly, sebuah majalah mingguan.

Khoe Woen Sioe yang saat itu menjabat sebagai pendiri Star Weekly tertarik melihat sikap disiplin, rajin, teliti, berpengetahuan luas, dan semangat untuk maju di dalam diri Ojong.

Hal ini membuatnya tak ragu mengangkat Ojong sebagai wartawan Kengpo/Star Weekly.

Karena kiprahnya yang luar biasa di jurnalistik, Ojong kemudian diangkat menjadi Redaktur Pelaksana Star Weekly.

Sembari menjadi wartawan, Ojong juga kuliah di Rechts Hoge School atau RHS (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum yang sejarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Salemba.

Semenjak saat itu, hari-hari Ojong sangat sibuk.

Hari-harinya diisi dengan membaca dan mempelajarinya buku-buku ilmu hukum.

Bahkan sampai adik-adiknya tak berani untuk mengajaknya bergurau.

Hanya dengan sang ibu, Ojong bisa sesekali bercanda.

Pada 1961, Keng Po dan Star Weekly kemudian dibredel pada masa pemerintahan Sukarno.

Setelah pembredelan itu, Ojong mendirikan PT Saka Widya yang bergerak di bidang penerbitan buku.

Menjabat sebagai direktur di PT Saka Widya, Ojong mulai bekerja sama dengan Jakoeb Oetama.

Dua orang tersebut kemudian merintis sebuah majalah Intisari bersama Irawati dan J. Adisubrata.

Intisari berisi macam-macam tema terkait ilmu pengetahuan dan sejarah.

Kemudian lahirlah Kompas pada 28 Juni 1965, dua tahun setelah Intisari berjalan.

Setelah koran dan majalah mereka punya nama, bisnis Ojong dan Jakoeb merambah ke bidang percetakan dengan berdirinya Gramedia Printing pada 1972.

Percetakan ini ditunjukan untuk mencetak terbitan mereka sendiri.

Setelah percetakan, akhirnya penerbit Gramedia lahir pada 1974.

PK Ojong wafat pada 31 Mei 1980, tanpa didahului sakit yang menyiksa diri dan meninggal dengan benda kesayangannya, yaitu buku di sampingnya.

Untuk mengenang jasanya, patung Ojong didirikan di halaman Bentara Budaya Jakarta, suatu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.

*Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Pribadi P.K. Ojong".

Berita Terkini