TRIBUNBATAM.id - Selasa petang, 26 Oktober 2010, terus dikenang Sukamto sebagai momen yang menggiriskan. Peristiwa sudah berlalu 10 tahun, namun segalanya seperti masih di pelupuk mata.
Yohanes Berman Sukamto, ia kini biasa dipanggil Pakde Kamto, dua kali naik turun Umbulharjo-Kinahrejo, di saat-saat tergenting menjelang letusan eksplosif Merapi.
Menggunakan mobil Toyota Kijang warna merah nopol AB 1927 KZ, Pakde Kamto membantu mengevakuasi warga Ngrangkah hingga Kinahrejo.
Saat naik pertama sesudah pukul 17.00, ia membawa serta Yopi, relawan Satlak Penanggulangan Bencana Sleman.
Berdua, mereka melesat naik hingga pertigaan gerbang pendakian Merapi via Kinahrejo. Di lokasi ini terdapat tower Early Warning System (EWS).
Ada menara besi yang dipasangi sirine bahaya. Yopi menyalakan tombol sirine, beberapa detik sesudah pukul 17.02. Itulah letusan pertama Merapi.
Sesudah sirine meraung-raung, Yopi dan Pakde Kamto turun sembari menyisir serta mengangkut beberapa warga yang bersedia diajak turun.
“Ada yang sudah siap di pinggir jalan. Tapi jumlahnya sudah tidak banyak. Orang tua dan anak-anak serta ibu hamil sudah hari sebelumnya dievakuasi,” kata Pakde Kamto.
Warga Dusun Sumberan, Candibinangun, Pakem, Sleman ini diwawancarai secara khusus di bumi perkemahan Sinolewah, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.
Area perkemahan ini dikelola Sukamto selama bertahun-tahun. Saat Merapi meletus 10 tahun lalu, ia sudah mengurusi lokasi ini.
Karena itu, Sukamto yang pernah jadi agen Koran/majalah terbesar di Pakem ini, sangat akrab dan mengenal baik lereng selatan Merapi.
Kisah Sukamto dan Kijang merahnya sengaja diangkat Tribun, karena foto dan video aksi heroik Sukamto terekam di kamera wartawan Tribun dan divideokan seorang jurnalis televisi.
Sejak peristiwa 26 Oktober 2010, belum pernah ada media manapun yang mengangkat sosok Sukamto dan cerita evakuasi di detik-detik akhir sebelum Merapi menyembur.
“Saya tidak kepikiran apa-apa waktu itu. Mengalir saja, berusaha bantu warga yang bersedia dievakuasi,” kata Sukamto sembari menyebut suasana sore itu seperti biasa saja.
Tidak banyak kendaraan atau motor lalu lalang sepanjang jalur jalan antara pertigaan Balai Desa Umbulharjo hingga Kinahrejo.
Setelah naik dan kemudian turun menurunkan warga di balai desa, Sukamto bersiap kembali naik. Ia mengajak serta seorang pegawainya.
Seorang jurnalis televisi minta izin ikut naik dan duduk di kursi tengah.
“Waktunya mungkin sudah menjelang 17.30 WIB,” kata lulusan SMP dan SPG Kanisius Pakem ini.
Suasana langit mulai redup saat kendaraan bergerak mendaki lereng gunung. Sirine masih meraung-raung. Kamto mendengar lewat radio komunikasi atau HT yang ada di mobilnya.
Suara gemuruh terdengar makin jelas dari arah puncak Merapi.
“Suara gluduk-gluduk, dan abu sudah turun,” kenangnya.
Di pertigaan Dusun Ngrangkah, mobil Kijang merah Kamto berhenti sebentar. Ada truk melaju turun dari arah Kinahrejo. Ada beberapa warga menumpang di bak belakang.
Sejurus kemudian,Kamto melanjutkan perjalanan. Suasana jalan makin gelap, hujan abu menderas. Beberapa kali pegawainya menyiramkan air dalam botol ke kaca depan.
Wiper kaca terlihat berat mengayun.
“Saya waktu itu tidak punya rencana atau target ke Mbah Maridjan,” kata Kamto yang tidak ikut komunitas relawan manapun saat itu.
Mesin mobilnya meraung-raung saat mendaki tanjakan jelang Dusun Kinahrejo.
“Mesin kendaraan tidak ada masalah. Lancar, cuma jalan pelan, kaca buram,” lanjutnya.
Mobil berhenti di pertigaan jalan menuju rumah Mbah Maridjan. Di titik itulah Kamto memutar kendaraannya.
“Sekali putar bisa balik arah. Saya sampe heran, karena jalannya sempit,” ujarnya.
Di sebelah barat rumah itu, Kamto melihat ada sekelompok pria duduk-duduk di teras sebuah rumah. Mereka meriung, menolak saat diajak turun.
Rekaman video yang diunggah akun You Tube Jogja Magazine , memperlihatkan para pria itu tampak enggan dan ingin bertahan menjaga kampungnya.
Kamto yang sudah mendengar informasi di radio komunikasi supaya warga segera turun karena bahaya, meninggalkan mereka.
“Saya segera minta tinggalkan mereka, dan kita turun. Di beberapa titik kita ambil warga yang menunggu di tepi jalan,” ungkapnya.
Sukamto membawa mereka ke Balai Desa Umbulharjo, dan ia bergegas menuju Bumi Perkemahan Sinolewah, mengevakuasi barang-barang miliknya.
“Saya tidak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu, dan hanya mendengar awan panas menyapu Kinahrejo,” ujar Kamto yang pernah membantu warga Turgo terdampak letusan 1994.
Pria berusia 61 tahun itu mengaku bersyukur, lolos dari terjangan awan panas. Andai saja ia terlambat turun, mungkin tidak akan selamat.
Mobil Kijang merahnya juga masih dirawat sangat baik.
“Saya cat ulang, karena habis erupsi itu semua berkarat karena abu vulkanik itu sangat korosif,” ujar Kamto.
Mobil itu terus menemaninya berkegiatan di lereng Merapi, dan ke berbagai tempat karena Sukamto aktif di seni kerawitan. Ia punya sanggar seni di Dusun Pandanpuro, Candibinangun.
Mobil yang sama ditumpangi wartawan Tribun pada 2 Oktober 2020, saat napak tilas jejak usaha penyelamatan yang dilakukan Kamto di sore jelang petang, Selasa, 26 Oktober 2010.