Berkah Hidup dengan Wakaf
H Syamsul Ibrahim
Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kota Batam
Setiap kita pasti mengharap bisa menjalani hidup dengan penuh makna, mengharap hidup yang manfaat dan berkah. Manfaat dan keberkahan yang tidak saja melimpah kepada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain bahkan orang banyak.
Rasulullah SAW menyatakan “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni). Dalam hadits yang lain Nabi SAW menjelaskan “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” (HR. Muslim)
Memberi kemanfaatan kepada orang lain itu bisa menjadi sebab keberkahan dalam hidup. Hidup hanya sekali dengan durasi yang sangat singkat. Namun kita bisa melakukan investasi amal yang memberi manfaat jangka panjang. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa salah satu amal yang tidak putus (kemanfaatannya) meskipun pengamal itu telah tiada (meninggal dunia) adalah Shodaqoh jariyah (HR. Muslim).
Sa’ad bin Ubadah, seorang hartawan Madinah yang juga sahabat Nabi SAW berkata “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, di saat aku sedang tidak di sisinya. Apakah akan bermanfaat baginya sekiranya aku bersedekah atas namanya? Nabi SAW menjawab “ya”. Maka Sa’ad bin Ubadah berkata “saksikanlah wahai Nabi, kebunku yang penuh buah-buahan ini aku sedekahkan (wakafkan) atas nama ibuku”.
Apa yang dilakukan oleh Saad bin Ubadah inheren dengan Firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu bisnis yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih, yaitu kalian beriman kepada Allah dan Rasul Nya, dan berjuang di jalan Allah dengan harta kalian dan diri kalian, itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui”. (QS. Ash-Shaf 10-11).
Pada surah lainnya Allah berfirman “dan orang-orang yang menginfaqkan (mewakafkan) hartanya di jalan Allah, seperti menanam sebutir biji, lalu tumbuh menjadi 7 tangkai dan pada setiap tangkai itu berisi pula 100 biji, dan Allah melipatgandakan pahala Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan adalah Allah Maha Luas karunia Nya dan Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah 261). Ayat ini menegaskan bahwa modal amal yang kita investasikan akan berkembang menjadi 700 kali lipat, bahkan balasan yang tidak terhingga.
Ketika Umar bin Khattab menerima bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) berupa sebidang kebun kurma yang sangat subur, Beliau langsung menemui Rasulullah untuk meminta petunjuk tentang kebunnya itu:
“Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang kebun di Khaibar, sedang belum pernah aku memiliki asset (kekayaan) yang lebih baik dari pada ini. Apa petunjukmu kepadaku tentang kebun ini? Rasulullah menjawab “jika engkau mau, engkau tahan pokoknya dan engkau sedekahkan hasilnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Umar kemudian mengangkat pengelola yang akan mengurus kebunnya itu dan berpesan “kebun ini tidak boleh dijual, dikurangi, diwariskan atau dihibahkan. Hasilnya disalurkan kepada fakir miskin, kerabat, hamba sahaya, fisabilillah, ibnu sabil, dan untuk belanja menjamu tamu. Tidak mengapa pula jika yang mengelola mengambil sebagian untuk ia makan dan untuk membantu kerabat dan rekan-rekannya dengan cara yang ma’ruf”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Apa yang dilakukan oleh Umar ini menjadi model bagi generasi sesudahnya. Warisan monumental yang ditinggalkan oleh Nabi saw ini kemudian dipraktikkan oleh umat islam dari setiap generasi. Di negeri-negeri muslim saat ini praktik wakaf terus dikembangkan. Seperti Saudi Arabia, Mesir, Qatar, Turki, Malaysia, dll.
Di Indonesia wakaf sudah menjadi hukum positif dengan keluarnya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya UU ini merupakan rekomendasi Workshop Internasional Ekonomi Islam Tahun 2002 di Asrama Haji Batam yang diikuti oleh 16 negeri muslim di dunia. (*)