DONALD TRUMP & KIM JONG UN DI SINGAPURA
Pengamat: Donald Trump dan Kim Jong-un Berdamai, yang Menang Adalah China
Ke depan, China tentu akan mengambil peran yang sangat besar dalam modernisasi ekonomi Korea Utara yang posisinya sangat strategis itu.
TRIBUNBATAM.id - Pertemuan bersejarah Presiden Amerika Serikat dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un berakhir dengan jabat tangan yang hangat.
Kedua kepala negara sudah berikrar untuk mendinginkan Semenanjung Korea yang terus bergolak selama 70 tahun terakhir.
Kim secara gambalang menjanjikan akan menghentikan aktivitas nuklir yang membuat banyak negara blingsatan.
Sementara, Amerika Serikat juga berjanji akan menghentikan latihan perang bersama dua sekutunya di kawasan itu, Jepang dan Korea Selatan.
Namun, di balik harapan perdamaian itu, pemenang utamanya menurut pengamat adalah China, satu-satunya "sekutu" Korea Utara saat ini.
Baca: Presiden Trump akan Hentikan Latihan Perang AS-Korsel, Kaum Konservatif pun Meradang
Baca: Usai Tandatangani Dokumen Denuklirisasi Korut, Trump: Kami Sangat Bangga Hari Ini
Sementara teman-teman Amerika, yakni Jepang, dan Korea Selatan, tidak mendapatkan keuntungan dari pertemuan itu karena tidak ada keinginan dua negara itu yang dibahas dalam KTT di Pulau Sentosa itu.
Presiden China Xi Jinping boleh dikata sebagai sponsor utama keberhasilan pertemuan Trump dan Kim.
Dua hal yang dibahas, yakni penghentian latihan militer menghentikan uji coba nuklir adalah model dialog yang dioharapkan China selama bertahun-tahun.
Tidak heran jika Trump menyebut Xi sebagai teman dekat dan berterima kasih kepadanya, meskipun baru sepekan yang lalu, Trump gondok dengan China.
Pada pertemuan KTT G-7 di Quebec, pekan lalu, Amerika Serikat menarik diri dari komunike yang ditandatangani enam negara.
Mereka tidak sepakat dengan ketetapan tarif yang diinginkan AS, melanjutkan ancaman perang dagang yang dihembuskan Trump sejak dua bulan lalu.
Trump bahkan menghina Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sebagai "lemah" dan "tidak jujur" karena mengkritik tarif AS.
"Entah bagaimana Trump bisa begitu cepat melupakannya di Singapura," kata Macolm Davis, seorang analis senior di Australian Strategic Policy Institute seperti dilansir AFP.
"Jika AS siap membuat janji kepada seorang diktator yang brutal, maka seberapa dapat dipercaya dia akan mempertahankan komitmen keamanan kepada sekutunya?"

Bahkan, diplomasi Trump langsung dilanjutkan sehari setelahnya.