TAHUN BARU ISLAM
1 Muharram 1440 H: Istilah 1 Suro Cukup Fenomenal. Ini Sejarahnya dalam Budaya Jawa
Sejumlah kraton dari Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon punya tradisi merayakan 1 Suro
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Tahun baru Islam 1 Muharram 1440 Hijriyah akan jatuh pada Selasa (11/9/2018). Dalam budaya atau adat Jawa, tahun baru Islam ini juga diperingati atau dikenal dengan istilah 1 Suro.
Sejarah malam 1 Suro dalam pandangan sebagian masyarakat Jawa dianggap punya makna mistis dibanding hari-hari biasa.
Pada malam 1 Suro para penganut Kejawen (kepercayaan tradisional masyarakat jawa) akan menyucikan dirinya berikut benda-benda yang diyakini sebagai pusaka.
Sejumlah kraton dari Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon bahkan punya tradisi masing-masing untuk merayakan 1 Suro.
Baca: Begini Makna Momen Sakral 1 Muharram atau Suro Bagi Pura Mangkunegaran Solo
Baca: Ini Dia 24 Kata Mutiara Sebagai Ucapan Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1440 Hijriyah
Baca: 1 Muharram 1440 H - Bolehkah Berpuasa pada 1 Muharram? Ini Dalilnya
Kraton Surakarta misalnya. Pada malam 1 Suro biasanya akan menjamas (memandikan) pusaka-pusaka kraton termasuk mengirab kerbau bule, Kiai Slamet.
Nama lain malam 1 Suro adalah malam 1 Muharram dalam penanggalan Hijriyah atau Islam.
Ihwal ini tak terlepas soal penanggalan Jawa dan kalender Hijriah yang memiliki korelasi dekat.
Khususnya sejak zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).
Penanggalan Hijriyah memang di awali bulan Muharam. Oleh Sultan Agung kemudian dinamai bulan Suro.
Kala itu Sultan Agung berinisiatif mengubah sistem kalender Saka yang merupakan kalender perpaduan Jawa asli dengan Hindu.
Sultan terbesar Mataram tersebut lantas memadupadankan kalender Saka dengan penanggalan Hijriyah.
Hal ini memang sangat unik mengingat kalender Saka berbasis sistem lunar atau Matahari sementara Hijriyah pergerakan Bulan.
Kalender Hijriyah banyak dipakai oleh masyarakat pesisir yang pengaruh Islamnya kuat, kalender Saka banyak digunakan oleh masyarakat Jawa pedalaman.
Rupanya Sultan Agung ingin mempersatukan masyarakat Jawa yang pada waktu itu agak terpecah antara kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam). Dalam kepecayaan Kejawen, bulan Suro memang dianggap istimewa.
Muhammad Sholikhin dalam buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawamenjelaskan, penganut Kejawen percaya bulan tersebut merupakan bulan kedatangan Aji Saka ke Pulau Jawa.