Tolak Ranperda Pajak

Omset Warung Rp164 ribu per Hari Kena Pajak

Omset Rp164 ribu per Hari Kena Pajak

zoom-inlihat foto Omset Warung Rp164 ribu per Hari Kena Pajak
Tribunnews Batam / Istimewa/BBM
Menolak Ranperda Kenaikan Pajak.
laporan sihat manalu wartawan tribunnewsbatam

TRIBUNNEWSBATAM, BATAM - Pembahasan Ranperda Pajak-pajak Daerah sudah mulai masuk
ke pembahasan materinya. Satu diantaranya yang dibahas adalah masalah pajak
restoran dan rumah makan. Dalam pembahasan itu, rumah makan yang punya omset
Rp60 juta per tahun atau Rp5 juta per bulan akan dikenakan pajak sebesar 10
persen.


Sekretaris Pansus Irwansyah mengkritisinya dan meminta supaya dipending dulu
pembahasannya karena bisa berdampak terhadap eksistensi pegadang kaki lima.
Saat ini pedagang emperan pun punya omset berkisar Rp150 ribu per hari. "Saya
minta itu dipending dulu, dan dikaji ulang dengan meminta masukan untuk
eksistensi pengusaha mikro. Selain itu perlu masukan dari UKM. Kami persilahkan
pedagang datang untuk memberi masukan. Para pedagang usaha kecil menengah (UKM)
perlu dibina supaya mereka bisa eksis. Semakin banyak wiraswasta tentu akan
semakin kokoh perekonomian bangsa. Jika pedagang kecil ini dikenakan pajak,
tidak tertutup kemungkinan mereka bisa kolaps," kata Irwansyah, Jumat
(11/03/2011).


Irwansyah mengatakan apabila para pedagang kaki lima dikenakan pajak sebesar 10
persen bisa melukai rasa keadilan. Secara teknis belum tahu seperti apa sistem
penarikan pajak rumah makan di warung tenda dan warung pinggir jalan. Pengelola
warung itu tidak punya pembukuan ini akan sulit pengenaan pajaknya.


Sesuai Ranperda itu warung nasi yang punya omset Rp164 ribu per hari akan
dikenakan pajak sebesar 10 persen. Sebagai gambaran rata-rata pedagang warung
kaki lima mempunyai omset penjualan yang bervariasi berkisar Rp150 ribu per
hari bahkan ada diatasnya. Mereka tidak punya pembukuan. Lain halnya dengan
kafe dan live musik punya pembukuan yang lengkap.


Uni, salah satu pedagang warung nasi padang yang ditemui di pinggir jalan Seraya
mengatakan dirinya selama ini berjualan penghasilannya tak tentu kadang dalam
satu hari Rp100 ribu kadang juga Rp180 ribu. "Tergantung mood, kalau lagi banyak
yang makan dalam satu hari bisa Rp300 ribu. Tapi kalau lagi sepi hanya Rp80 ribu
per hari. Jika pemerintah mengenakan pajak sebesar 10 persen, tentu kami
keberatan, karena akan berdampak kepada orang yang makan, harga nasipun akan
naik," kata Uni.

Sementara pedagang nasi di Jodoh mengatakan merasa keberatan apabila dikenakan
pajak. "Kami pedagang nasi disini punya penghasilan sekitar Rp150-Rp200 per
hari. Kalau kami dikenakan pajak tentu akan berdampak ke masyarakat yang makan.
Jika ini diterapkan kami pun bingung. Mau menaikkan harga nasi, sekarang ini
saja sudah sepi. Lagi pula kami tidak punya pembukuan," kata Erni.

Pembina UKM Lusi Fitriana mengatakan, apabila dikenakan pajak untuk rumah
makan, maka UKM akan semakin sulit berkembang. Untuk bisa sukses saja sangat
sulit apalagi dikenakan lagi pajak, akan semakin membebani masyarakat. "Perlu
pemerintah berpikir dua kali untuk mengenakan pajak ini kepada pedagang yang
punya omset Rp164 ribu per hari. Para pedagang UKM ini untuk meminjam ke bank
pun sangat sulit. Pedagang nasi dan warung makan ini termasuk usaha mikro yang
perlu dibantu. Kalau dikenakan pajak sama saja membuat mereka semakin terhimpit,
apalagi saat ini pihak bank tidak memberi pinjaman untuk tambahan usaha mereka,"
kata Lusi.


Lusi pun mempertanyakan seperti apa teknis penarikan pajak itu kepada warung
nasi. Selama ini rumah makan pinggir jalan tidak punya pembukuan. Lalu
bagaimana menghitung pajak mereka. "Saya melihat sulit mengenakan pajak untuk
warung, karena jarang ada pembukuannya. Misalnya warung pecel lele, tidak
punya pembukuan, bagimana menghitung pajaknya. Saya melihat ini seperti
dipaksakan," katanya.


Dewi Koriati, pengelola Mega Wisata Ocarina mengatakan dengan pengenaan pajak
ini akan berdampak kepada usaha kuliner. "Saat ini saja lebih mahal makan di
Batam dibanding di Johor Malaysia. Kalau dikenakan lagi pajak tentu akan semakin
tinggi harga nasi. Yang merasakan ini tentu masyarakat. Mereka akan berpikir
untuk makan karena harganya yang mahal. Mestinya pemerintah melihat dampaknya
apabila ini dinaikkan," kata Dewi.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved