Kos-kosan di Natuna Alih Fungsi Jadi Rumah "Seks Bebas"
Namun tak jarang transaksi seks di luar itu berlanjut ke kos-kosan di mana cewek-cewek warung tersebut tinggal.
Laporan Wartawan Tribun Batam, Muhammad Ikhsan
NATUNA, TRIBUN - Selama ini berbagai kafe-kafe dan warung-warung tertentu di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, mempekerjakan wanita pramuria dengan modus sebagai pramusaji makanan di lokasi tersebut.
Di kedai atau kafe mereka memang hanya menemani duduk dan bercengkrama, namun tak jarang transaksi seks di luar itu berlanjut ke kos-kosan di mana cewek-cewek warung tersebut tinggal.
Itu tentu menjadi 'pendapatan langsung tanpa pajak' bagi mereka, di luar pekerjaan sebagai pramusaji. Biasanya, kedok pramusaji memang dilakoni saat menemani tamu di kafe-kafe dan warung-warung itu.
Para wanita ini pun bisa diminta menjadi pramulagu di room karaoke yang memang disediakan pemilik warung.
Nah, di luar jam tersebut mereka biasanya bisa melanjutkan kencan yang terjadi room karaoke tadi ke luar kawasan warung bisa di hotel, namun lebih banyak ke rumah kosan para wanita ini.
Jelas saja tips yang didapat akan lebih banyak di luar gaji mereka sebagai pramusaji dan pramulagu di tempat mereka bekerja tersebut.
Dengan kata lain, pramusaji tadi bermetamorfosis menjadi pramuria yang menawarkan seks. Walau itu tergantung kemauan masing-masing wanita tersebut.
Pemkab Natuna melalui tim Pengendali Penyakit Masyarakat (Pekat) akan meminta pengelola kos-kosan melaporkan data penghuni kos kepada RT/RW setempat.
Data ini dibutuhkan karena banyak kos-kosan yang disinyalir sudah berubah fungsi jadi rumah bordir (tempat prostitusi)
Ketua Pekat, sekaligus Sekda Kabupaten Natuna, Syamsurizon menyebut bahwa sesuai arahan bupati, pihaknya akan memantau semua tempat kos-kosan ini lebih intens.
"Pemilik kos-kosan misalnya kami imbau, untuk menciptakan penginapan yang beretika. Kalau bisa kita akan buat aturan tempat kos cewek atau cowok jangan disamakan. Jadi yang cewek khusus cewek saja, dan kos cowok khusus cowok saja," tegasnya, Kamis (26/6/2014).
Pihak kelurahan dan RT/RW harus pro aktif dalam hal ini. "Harus ada data penghuni kos, fotokopi KTP dan laporan dari pemilik kos ke RT. Jadi jelas dan lengkap data-data penghuni kos tersebut. Dan kalau ada potensi sosial di sebuah tempat kos kita bisa mendeteksi secara dini," ujar Syamsurizon.
Di Ranai banyak pendatang khususnya di sektor pekerja hiburan malam. Biasanya berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat dan Pulau Jawa.
Ada juga yang dari Tanjungpinang dan Batam. Mereka biasanya tinggal indekos. Ada juga yang dijadikan simpanan.
Ini tentu menjadi polemik tersendiri. Beberapa pramuria kafe yang didata pun mengaku punya latar belakang pendidikan rendah dan tidak punya kemampuan khusus.
Bupati Natuna, Ilyas Sabli menyebut hal itu sebagai masalah yang cukup rumit.
"Mereka mengaku tidak ada kerjaan lain dan meminta kita menyediakan pekerjaan. Padahal di Ranai seperti diketahui lapangan pekerjaan cukup minim. Tapi intinya saya melihat karena teori suply dan demand itu. Yakni ada permintaan tentu ada yang menyediakan," ungkap Ilyas.
Di tempat lain, Staf Dinas Kesehatan Dadang Otrismo berkata, pramuria berkedok pramusaji ini memang sudah jadi rahasia umum.
Bahkan Dinkes yang akan melakukan pendataan dan monitoring HIV/AIDS di lokasi warung-warung pun kerap ditolak.
"Kami bahkan ada yang ditolak, mereka mengaku bukan sebagai pekerja seks transaksional, dan mengaku sebagai pramusaji yang menyediakan makanan dan minuman di warung itu. Mereka malah menolak untuk diperiksa kesehatannya," ujar Dadang.
Namun tetap bisa dilihat dengan kasat mata pakaian para pramusaji di kedai-kedai dengan suasana remang-remang itu.
Cukup seksi jika dikategorikan sebagai pramusaji, apalagi mereka bekerja tak hanya menyajikan makanan, namun juga menemani tamu bercengkrama.
Dan disinyalir kuat bersosialisasi lebih dari batas itu dengan para tamunya. Tentu dibutuhkan konsistensi dan kebijakan super dari Pemkab Natuna mengatasi problem sosial yang ada di daerah berjulukan mutiara ujung utara Provinsi Kepulauan Riau ini.