Operasi Tangkap Tangan KPK
Bambang Soesatyo Bilang OTT Walikota Tegal pengalihan Isu, Aktivis: Itu Hoax DPR
Menurut peneliti di Indonesian Legal Rountable (ILR), politikus seperti Ketua Komisi III DPR adalah pihak-pihak yang punya perspektif melemahkan KPK
BATAM.TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Walikota Tegal Siti Mashita Soeparno sebagai pengalihan isu.
"Menurut saya ini kan mengembangkan opini publik. Kami sudut pandang politik saja. Setiap ada peristiwa pasti ada OTT," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/8/2017).
Ia menambahkan hal itu sama seperti saat mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar melaporkan KPK ke Panitia Khusus Angket KPK karena merasa dikriminalisasi.
Syarifuddin menerima Rp 100 juta dari KPK sebagai biaya ganti rugi atas penyitaan yang dilakukan KPK.
Penyerahan uang dilakukan di ruang rapat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tak lama setelah Syarifuddin menerima ganti rugi, petugas KPK kemudian menangkap panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi.
Tarmizi diduga menerima suap sebesar Rp 400 juta dari seorang pengacara.
"Menurut saya ini keseimbangan, mereka menjaga itu. Ketika ada hakim yang menerima pergantian dari KPK di selatan, OTT di selatan. Biasalah itu," kata politisi Partai Golkar itu.

Namun, pernyataan Bambang ini dikecam oleh pegiat antikorupsi Erwin Natosmal Oemar.
"Menurut saya, itu adalah hoax yang dikembangkan oleh Komisi III," ujar Erwin Natosmal Oemar kepada Tribunnews.com, Rabu (30/8/2017).
Menurut peneliti di Indonesian Legal Rountable (ILR), politikus seperti Ketua Komisi III DPR adalah pihak-pihak yang dari dulu punya perspektif melemahkan KPK.
Karena itu, kata dia, publik tidak usah terlalu terkejut.
Apalagi bagi Pansus KPK, keterangan koruptor yang sudah divonis bersalah oleh pengadilan dianggap lebih valid dari putusan pengadilan.
"Apalagi dalam kasus Miryam, Bambang Soesatyo merupakan salah satu aktor yang diduga kuat ikut merintangi upaya penegakan kasus E KTP yang dilakukan oleh KPK," katanya.
Meski demikian, menurutnya, harus ada mekanisme publik untuk menghukum anggota-anggota parlemen yang berbicara tanpa berpijak pada fakta. Salah satunya dengan melakukan referendum.