Historia
Bikin Merinding! Inilah Kisah Menegangkan Dokter Militer Saat Pembebasan Irian Barat!
Bikin Merinding! Inilah Kisah Menegangkan Dokter Militer Saat Pembebasan Irian Barat!
Kami diberi petunjuk, harus mendarat sekian derajat dari titik awal. Maka berdayunglah kami -ke arah sasaran di darat.
Jarak 2 mil laut itu kami tempuh dalam waktu dua jam, karena harus melawan ombak, menghindari kelompok ikan hiu dan pantai yang curam sehingga harus sedikit mengubah haluan.
Ketika kami mendarat di pantai, di sana telah menunggu anggota pasukan yang datang lebih dulu. Bersama dengan mereka kami lalu menyusup ke perkampungan penduduk.
Penduduk yang kami jumpai ternyata tidak bersikap bermusuhan. Laki-lakinya berkulit hitam, bertelanjang dada, berambut ikal dan mengunyah sirih.
Mereka sukar diajak berkbmunikasi dalam bahasa Indonesia. Belakangan baru kami ketahui bahwa kami hanya didaratkan di Pulau Ternate sebagai latihan akhir.
Giliran waktu pendaratan yang sesungguhnya, kami disambut oleh pesawat Neptune Belanda yang dilengkapi dengan bom antikapal selam.
Setiap kali kami akan mendarat, selalu tertangkap radar Belanda dan pesawat Neptune segera datang. Kelak kami ketahui bahwa pulau yang dipakai sebagai check point dilengkapi dengan radar.
Setiap diburu Neptune, kami melarikan diri ke perairan bebas. Sehingga dengan sendirinya selama berjam-jam kapal kami tidak dapat menyembul untuk mengganti udara bersih.
Dalam keadaan demikian, sebagai sumber oksigen digunakan suatu alat yang bisa menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen.
Alat ini hanya bisa bertahan selama tiga jam dan sesudah itu harus diganti dengan yang baru.
Namun, alat itu tidak bisa membersihkan karbon dioksida secara tuntas. Akibatnya setelah menyelam sepuluh jam kadar karbon dioksida menjadi demikian tinggi sampai dua orang anggota pasukan kami pingsan.
Itu terjadi pada waktu kami dikejar Neptune dan terpaksa berhenti dengan mematikan mesin agar tidak terdeteksi oleh musuh.
Beberapa hari setelah pendaratan, tiga orang anggota pasukan tertawan pihak marinir Belanda. Di antaranya seorang mantri kesehatan, seorang sarjana sosial politik yang disiarkan oleh Radio Australia sebagai doktor kerakyatan.
Akibatnya, keluarga saya dan teman-teman di Jakarta menyangka saya ikut tertawan. Untunglah, diplomasi di PBB berhasil dan gencatan senjata dapat dilaksanakan segera.
Bayi ditukar babi
Selama masa Trikora kesibukan yang luar biasa nampak di Indonesia bagian Timur. Mulai dari Ujungpandang, Bitung, Morotai sampai Ambon.
Pasukan dan kapal perang dikerahkan ke sana. Ada sebuah kapal yang dipersiapkan sebagai rumah sakit berjalan dan juga membawa peti mati di geladaknya.
Selama di Irian Jaya, saya bertugas di Kota Baru (sekarang Jayapura), P. Biak, dan terakhir di Sorong. Selain di rumah sakit tentara, saya juga bertugas di rumah sakit umum dan mengajar di SMA Negeri, yang saat itu baru sampai kelas satu.
Sebagai dokter muda di Rumah Sakit Sorong, saya mendapat bantuan yang sangat berharga dari mantri kepala dan juga putra daerah, dalam menangani kasus-kasus gawat darurat akibat perkelahian manusia dengan manusia, manusia dengan binatang buas atau ikan.
Kalau tidak cepat diselesaikan perkaranya, entah apa jadinya saya ini. Ceritanya begini. Suatu hari saya kedatangan seorang wanita yang mengalami kesulitan bersalin karena bayinya melintang.
Dia datang dari suatu pulau yang memakan waktu dua hari perjalanan dengan perahu. Akhirnya, bayi dapat dilahirkan dengan jalan operasi tapi sudah meninggal. Sedangkan ibunya selamat.
Tapi persoalan belum beres sampai di situ. Timbul salah paham antara keluarga pasien dengan pihak rumah sakit.
Dalam hal ini saya sebagai dokter yang menangani persalinan itu, dianggap sebagai penyebab kematian bayi tadi.
Tuntutan mereka itu yang bikin saya keder: nyawa harus dibayar dengan nyawa. Untung saja persoalan ini bisa diselesaikan secara damai oleh mantri kepala dan seorang pendeta, setelah pihak rumah sakit memberikan seekor babi kepada si pasien.
Lampu biru nyaris bikin buta
Ini pengalaman unik lain lagi, ketika kami baru saja mengambil alih rumah sakit tentara dari pihak Belanda.
Seorang anggota pasukan mengambil lampu berwama biru sebagai lampu tidur. Esok harinya anggota tersebut bersama teman sekamarnya datang ke rumah sakit dengan kedua matanya sembab.
Ternyata kedua orang ini tidur dengan lampu ultraviolet, untung tidak sampai buta.
Sebelum mengakhiri tugas di Irian Jaya, saya bersama pengganti saya, Kapten dr. Aryoko, mengumpulkan dan mengidentifikasi jenazah para pahlawan Trikora yang dimakamkan oleh penduduk setempat di berbagai lokasi yang terpencar di mana-mana.
Ada kalanya dengan mudah kami mengenali "jenazah" mereka, karena penduduk menyimpan benda-benda yang terdapat di pakaian mereka.
Ada pula yang dikebumikan berikut baju loreng, sepatu dan kopel rim yang biasanya bertuliskan nama dan golongan darah yang bersangkutan.
Umumnya kopel rim dan sepatu masih utuh, walaupun jenazah sudah tinggal tulang belulang saja.
"Jenazah-jenazah" ini dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Sorong yang diresmikan pada 10 November 1963.
Saya dipulangkan ke Jakarta bulan Januari 1964. Beberapa saat kemudian saya mendapat berita duka, Kapten dr. Aryoko gugur di medan tugas.
Untuk mengenang jasa-jasanya rumah sakit tentara di Jayapura sekarang diberi nama RST Dokter Aryoko. (Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1992)
Berita ini telah tayang di Intisari.grid.id dengan judul Kisah Dokter Militer yang Ditugaskan dalam Misi Trikora untuk Membebaskan Irian Barat: Pernah Harus 'Menukar' Bayi dengan Babi