Kisah Inspiratif Antoni, Walau Hanya Bisa Gerakkan Kepala dan Tangan Tetap Mampu S3 di Australia
Pada 2018 ini, Antoni Saputra genap menghabiskan empat tahun untuk menuntut ilmu di Griffith University Queensland, Australia.
TRIBUNBATAN.id, BRISBANE — Pada 2018 ini, Antoni Saputra genap menghabiskan empat tahun untuk menuntut ilmu di Griffith University Queensland, Australia.
Antoni merupakan penerima beasiswa Australia Award.
Yang membanggakan, dia meraihnya di tengah keterbatasan kondisi fisiknya.
Dia terlahir sebagai difabel jenis physical impairment dengan specific congenital muscular dystrophy.
"Saya hanya bisa menggerakkan kepala dan gerakan jari yang terbatas," ujar Antoni.
Meski begitu, Antoni tidak menjadikan keterbatasannya sebagai penghalang.
Sejak jenjang S-1 hingga S-3, dia langganan meraih beasiswa.
Ketika S-1, Antoni berkuliah di Universitas Andalas, Padang, dengan beasiswa Bung Hatta.
Kemudian S-2 hingga doktoral, dia menempuhnya di Griffith University Queensland dengan beasiswa disability package dari Pemerintah Australia.
Baca: WANITA Cantik Peraih 12 Beasiswa Ini Berbagi 4 Tips Jitu Lulus Beasiswa dan Kuliah di Luar Negeri
Baca: Jadi Pemasok Barang Mewah Ilegal ke Korut, Dua Perusahaan Singapura Jadi Sorotan Dunia
Digentong teman naik dan turun kursi roda
Semua perjuangan yang dilaluinya memberikan tantangan tersendiri, khususnya ketika S-1, kampusnya tidak mempunyai akses untuk difabel seperti dirinya.
"Untungnya, saya mendapatkan banyak teman yang mau membantu. Mereka membopong saya di atas kursi roda, naik turun tangga ke ruang kuliah," kenang Antoni.
Kebaikan teman-temannya acap dibalas dengan dia mengajari mereka seputar materi perkuliahan.
Tantangan selanjutnya saat menempuh S-2 adalah meyakinkan orangtuanya.
Antoni terutama harus meyakinkan sang ibu yang begitu khawatir dengan tinggal jauh meski dia ditemani ayahnya, Effendi.
Kondisi Antoni memang tidak memungkinkan melakukan kegiatan sehari-hari sendirian meski di kampus terdapat akomodasi berupa teknologi di berbagai fasilitas umum dan moda transportasi bagi penyandang disabilitas.
Menginjak S-3, bantuan yang didapatkan Antoni kini tidak hanya dari ayahnya, tetapi juga sang istri, Yuki Melani.
Antoni mengaku mengenal Yuki lewat media sosial. Mereka berdua memutuskan menikah pada 2011.
Antoni melanjutkan, ketika dia sudah merampungkan program doktoralnya, Antoni bakal kembali ke Padang dan mengabdi sebagai staf di Dinas Sosial.
Ada kisah menarik bagaimana Antoni bisa menjabat sebagai abdi negara.
Saat masih kuliah S-1, dia membuka les bahasa Inggris dengan uang bulanan hanya Rp 5.000.
Salah satu orangtua murid kemudian memberi tahu ada program Wali Kota Padang untuk mempekerjakan difabel di pemerintah kota.
Antoni mengiyakan tawaran tersebut karena ingin menunjukkan, penyandang disabilitas juga bisa bekerja di bidang lain.
"Ada justifikasi yang beredar, pengguna kursi roda cocoknya jaga warung atau reparasi elektronik, tukang pijat, dan lainnya," beber Antoni yang berangkat dari pegawai honorer kemudian diangkat tujuh tahun berselang itu.
Selain itu, Antoni bermimpi untuk membangun pusat penelitian disabilitas di Indonesia.
Dalam pandangannya, Indonesia sebenarnya sudah banyak kemajuan untuk pemenuhan dan perlindungan hak difabel.
Namun, kondisi masyarakat difabel di Indonesia, terutama dari kalangan akar rumput, masih jauh dari apa yang disebut dalam ungkapan living a good life.
Kaum difabel di Indonesia masih harus berpikir sendiri bagaimana caranya bisa terus berjuang di tengah lingkungan dan masyarakat yang masih memandang dengan sebelah mata.
"Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara serius itu perlu. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam berbagai jenjang pembangunan di Indonesia," tukas Antoni.
(kompas.com/Kontributor India, Dinda Lisna Amilia)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Antoni, Difabel Asal Indonesia yang Menempuh S-3 di Australia"